Karena sebidang tanah, Emilia harus berurusan dengan pemilik salah satu peternakan terbesar di Oxfordshire, yaitu Hardin Rogers. Dia rela melakukan apa pun, agar ibu mertuanya dapat mempertahankan tanah tersebut dari incaran Hardin.
Hardin yang merupakan pengusaha cerdas, menawarkan kesepakatan kepada Emilia, setelah mengetahui sisi kelam wanita itu. Hardin mengambil kesempatan agar bisa menguasai keadaan.
Kesepakatan seperti apakah yang Hardin tawarkan? Apakah itu akan membuat Emilia luluh dan mengalah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Komalasari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 21 : Seamless
Emilia yang tengah kebingungan, segera merapikan diri. Ekspresi terkejut tak dapat disembunyikan dari paras cantiknya, yang lusuh karena baru bangun tidur. “Se-selamat pagi. Aku ….”
“Apakah Anda Nyonya Emilia Patricia?” tanya wanita paruh baya, yang baru masuk ke sana.
Emilia mengangguk ragu.
“Namaku Madeline. Aku biasa membersihkan rumah ini setiap hari.”
Emilia tersenyum kaku. Dia agak bingung. Namun, Emilia berusaha terlihat biasa di hadapan Madeline, agar wanita dengan penutup kepala warna putih itu tidak curiga. “Aku … um …. Tuan Rogers memberikan rumah ini sebagai ganti rugi untuk ibu mertuaku. Aku kemari untuk melihat keadaan di sini. Jadi ….”
Madeline mengangguk sopan, diiringi senyum hangat. “Tuan Rogers sudah memberitahuku, Nyonya.”
“Lalu, di mana dia sekarang?” tanya Emilia, agak salah tingkah.
“Tuan Rogers sudah berangkat ke Yorkshire beberapa saat yang lalui.”
Emilia sedikit terperangah, tak menyangka Hardin benar-benar pergi ke sana. "Yorkshire," gumamnya.
“Iya. Permisi, Nyonya. Aku harus membersihkan rumah ini, sebelum Anda pindah kemari,” pamit Madeline.
Emilia mengangguk. “Aku juga harus pulang. Terima kasih, Nyonya.”
“Panggil saja Madeline.”
Emilia kembali mengangguk. Dia bergegas keluar rumah. Ternyata, sepeda yang semalam ditinggalkan di dekat gerbang kayu peternakan, telah terparkir di halaman rumah itu.
Tanpa banyak berpikir, Emilia segera mengendarainya. Di sepanjang jalan, wanita itu terus merutuki diri karena bangun kesiangan. Entah jawaban apa yang akan diberikan kepada Meredith dan Blossom.
“Ya, Tuhan. Apa yang sudah kulakukan?” gumam Emilia dalam hati. Pikirannya tak menentu, membayangkan ekspresi sang ibu mertua.
Beberapa saat kemudian, Emilia telah tiba di depan rumah Meredith. Perhatian wanita itu langsung tertuju pada tiga pria, yang tengah berbincang tak jauh dari kediaman sang ibu mertua. Emilia yakin, mereka pasti orang-orang yang bekerja pada Hardin Rogers.
“Astaga, Millie. Dari mana saja kau?”
Suara Meredith membuat Emilia langsung tersadar. Dia menoleh, mendapati sang ibu mertua sudah berdiri di ambang pintu.
Emilia segera tersenyum. “Maaf, Bu,” ucapnya. Dia turun, kemudian berjalan memasuki pekarangan sambil menuntun sepeda. “Tadi, aku melihat-lihat rumah yang akan Tuan Rogers berikan sebagai ganti rugi.”
Ekspresi aneh ditunjukkan Meredith, setelah mendengar penjelasan Emilia. Sorot matanya menyiratkan keraguan, meskipun berusaha mempercayai itu. “Jam berapa kau pergi?” tanya Meredith penuh selidik.
“Um … aku .… Aku pergi pagi-pagi sekali, Bu. Aku sengaja. Maksudku, hari ini Tuan Rogers berangkat ke Yorkshire. Dia berangkat pagi. Jadi, aku pergi ke sana sebelum dia berangkat,” jelas Emilia bohong.
“Begitu rupanya. Pantas saja aku tidak melihatmu sejak tadi. Beruntung karena Blossom belum bangun.”
Emilia agak kikuk. Dia tidak terbiasa berbohong. Ada rasa berdosa dalam hatinya. Namun, tak mungkin mengakui bahwa dirinya telah menghabiskan malam bersama Hardin.
“Maafkan aku, Bu. Aku tidak sempat berpamitan padamu karena mengira kau masih tidur.”
Meredith tersenyum, diiringi anggukan pelan. “Ya, sudah. Ayo, masuk. Ceritakan bagaimana keadaan rumah itu,” ajaknya lembut.
“Rumah itu sangat nyaman, Bu. Halamannya luas.” Emilia masuk sambil bercerita dengan antusias.
Sementara itu, Hardin sudah tiba di Yorkshire. Rencananya, dia akan menginap semalam di sana, berhubung jadwal pertemuan dengan perwakilan dari Mama Qucha adalah nanti sore.
Lelah, Hardin memilih mampir ke rumah makan untuk beristirahat sejenak. Sambil menunggu pesanan datang, pria itu membuka pesan masuk. Namun, tak ada satu pun yang dibalas. Hardin justru beralih ke galeri, membuka beberapa foto yang tersimpan di sana.
Seulas senyuman tersungging di bibir pria 37 tahun itu, saat memandangi foto Emilia yang tertidur lelap dengan selimut sebatas dada. Emilia terlihat sangat kelelahan, setelah bercinta hampir semalam suntuk dengannya.
"Kau sangat cantik, Emilia," gumam Hardin teramat pelan. Embusan napas berat dan dalam meluncur dari bibir pria itu, kala teringat kembali pada apa yang terjadi semalam.
Bercinta bukanlah hal baru bagi Hardin. Namun, entah mengapa kali ini terasa berbeda. Apakah karena dia baru pertama kali melakukannya dengan seorang janda? Hardin menggeleng tak percaya sambil tersenyum kecil. Dia seperti orang gila karena memikirkan hal itu.
“Pesanan Anda, Tuan.” Seorang pramusaji menghidangkan makanan di meja. “Apakah Anda ingin yang lain?” tawarnya sopan.
“Tidak. Terima kasih,” tolak Hardin penuh wibawa. Untuk sesaat, dia harus melepaskan bayangan indah tentang percintaan semalam.
Setengah jam kemudian, Hardin berniat melanjutkan perjalanan. Namun, panggilan masuk dari seseorang dengan nama kontak Jonathan Bradley, membuatnya tak jadi menyalakan mesin mobil.
“Aku sudah meninjau lokasi pembangunan.”
“Bagaimana menurutmu, John?”
“Lokasinya sangat bagus. Idemu untuk membangun penginapan di sana benar-benar tepat. Kita hanya perlu merevisi beberapa bagian, agar sesuai dengan keadaan tempat itu.”
“Seberapa banyak?”
“Hanya sedikit penyesuaian. Sebagian besar hasil rancanganmu sudah sempurna. Akan kubuat lebih spektakuler lagi dengan sentuhan Jonathan Bradley.”
Hardin tersenyum simpul mendengar candaan Jonathan, yang merupakan teman lamanya. “Kau memang luar biasa, John. Selalu jadi yang terbaik.”
“Sudahlah. Aku tidak membutuhkan sanjunganmu. Aku hanya merasa heran dengan rumah yang masih tersisa di dekat danau.”
“Abaikan saja. Mereka akan segera pindah.” Hardin melihat arloji di pergelangan kiri, yang sudah menunjukkan pukul 12.30. Masih ada sisa dua jam hingga waktu pertemuan tiba.
“Ya, sudah. Aku harus melanjutkan perjalanan menuju hotel. Sampai bertemu besok, John.”
Seperti itulah cara Hardin dalam berkomunikasi dengan siapa pun. Dia tak pernah berbincang terlalu lama.
Hardin menyalakan mesin kendaraan, kemudian melanjutkan perjalanan hingga tiba di hotel, di mana Ethan sudah memesankan satu kamar untuknya.
Setelah berada di kamar hotel, Hardin langsung membasuh muka, lalu menatap pantulan wajah di cermin wastafel. Dia tersenyum kecil karena teringat akan sesuatu.
Setelah mengeringkan wajah menggunakan handuk, Hardin keluar dari kamar mandi, kemudian meraih jaket kulit yang dikenakan tadi. Dari dalam saku jaket itu, dia mengeluarkan sesuatu yang tak lain adalah pakaian dalam Emilia.
“Astaga,” gumam Hardin, seraya menggenggam pakaian dalam seamless berbahan ice silk itu. Entah mengapa, tiba-tiba ada dorongan kuat dalam dada, yang membuat dirinya bagai kehilangan akal sehat. Hardin mencium pakaian dalam yang digenggamnya erat, menghirup aroma khas dari sana. Seketika, ingatan pria tampan tersebut kembali pada pergumulan panas semalam. Hardin jadi gelisah.
Bersamaan dengan itu, terdengar dering panggilan dari Ethan. Hardin tersadar, lalu segera meraih telepon genggam yang diletakkan di meja.
“Apakah Anda sedang sibuk, Tuan?”
“Tidak. Aku baru tiba di hotel.”
“Perwakilan dari Mama Qucha memajukan jadwal pertemuan jadi pukul 13.00. Apakah Anda bersedia?"
"Kenapa begitu?"
"Entahlah, Tuan. Mereka hanya mengatakan ada acara mendadak."
"Baiklah. Aku akan bersiap-siap."
Aku mikirnya jauh ya
upss..kok cacingan sih..