Ada satu komunitas muda-mudi di mana mereka dapat bersosialisasi selama tidurnya, dapat berinteraksi di alam mimpi. Mereka bercerita tentang alam bawah sadarnya itu pada orangtua, saudara, pasangan, juga ada beberapa yang bercerita pada teman dekat atau orang kepercayaannya.
Namun, hal yang menakjubkan justeru ada pada benda yang mereka tunjukkan, lencana keanggotaan tersebut persis perbekalan milik penjelajah waktu, bukan material ataupun teknologi dari peradaban Bumi. Selain xmatter, ada butir-cahaya di mana objek satu ini begitu penting.
Mereka tidak mempertanyakan tentang mimpi yang didengar, melainkan kesulitan mempercayai dan memahami mekanisme di balik alam bawah sadar mereka semua, kebingungan dengan sistem yang melatari sel dan barang canggih yang ada.
Dan di sini pun, Giziania tak begitu tertarik dengan konflik yang sedang viral di Komunitaz selain menemani ratunya melatih defender.
note: konflik?
- chapter 20
- chapter 35
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Juhidin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chap 30 Hen Hen si Fobian
"Dendam gimana sih, Han? Emang lo pernah ketemu langsung sama Hen Hen non tmask (asli)?"
Jihan cepat menggeleng, kemudian menelan kunyahannya.
"Belum. Sssh.."
"Lima menit lagi teng jam sembilan."
Jihan mengisi kembali gelasnya dengan air galon. Entah kenapa tekniknya masih klasik, menekan knop kran di era jari gesek ini hanya demi gravitasi efek.
Cerrrh..!
Jihan meneguk. Bibirnya sudah basah dan cerah memerah.
"Gue baca-baca grup Telkin rata-rata pada setuju sama Lena. Kemungkinan gue juga bakal nyebut remote jadi telwave. Ngehargain dia aja. Lagian santet tuh praktek dukun bukan praktek telekinetis."
"Ssssh.. Selama pake garis Ray, telwave aman-aman aja buat manusia." Jihan langsung beralih ke payment. "Biasa, tagih sama Waras sarapan gue, Pril. Kali dua."
April sudah tak mendapati bungkusan kedua di meja, ketoprak milik Ira.
"Kali dua apaan? Lo makan semuanya, Han."
"Ntar jadi basi kupatnya, Pril. Ya udah kali tiga. Gue yakin Ira masih rapid eye movement sampe ashar. Kalo udah bangun.. Terserah dia mau sarapan apa. Ssssh.. Jam magrib tukang ketoprak ada yang buka deket Hanmart lam alif."
Jihan sendawa, beranjak dari duduknya.
"Iya. Sana kerja."
Jihan berjalan agak cepat meninggalkan meja dan April. Di pinggir jalan yang mati, Jihan masuk ke halaman rumah Ira.
Di kamar perawan SMA, Jihan menutup kembali pintu yang dibukanya. Dia yang sudah berseragam ini melangkah ke tengah kamar, merapikan ranjang semalam, menaruh bantal-bantal ke tempatnya dengan terburu-buru dan kepedasan.
"Ssssh.. Huh..! Mantap. Sssshh."
Jihan usap-usap sprai dengan kedua tangan. Lalu turun dan mengulang aksi untuk sprai yang berkerut hasil lutut kakinya.
Jihan tinggalkan ranjang. Langkahnya lebar karena mengenakan celana panjang hitam, melewati lubang dinding segiempat.
Melalui cermin lemari, Jihan yang berkaca kembali merapikan kemeja putihnya dapat melihat Ira. Jihan lalu membuka lemari dan mengambil kain celemek.
Di kasur, dengan celemek di bahu..
"Ra..?" tepuk Jihan pada pipi Ira, keukeuh membangunkannya.
Sedari dipindahkan, posisi Ira belum berubah dan masih memeluk guling.
Chupp..! Jihan mengecup kening hingga basah bibirnya terjejak di kulit mulus itu dengan sedikit warna gincu yang tertinggal.
Jihan turun dan langsung mengenakan kain ungu. Beres menalikan celemek di tengkuk leher, Jihan mengambil ponselnya yang tergeletak di meja lampu, lalu bergerak meninggalkan kamar sambil memasukan HP.
Jihan berjalan, Ira dibiarkannya pulas. Dan saat sampai di pintu, Jihan melirik lemari.
"Eghh..!"
Drrtth! Bunyi yang Jihan geser sekenanya.
Jihan meninggalkan benda yang didorong dan di balik lemari tersebut tampak seruas celah dari ruangan lain.
Tapi entahlah, kenapa Jihan malah meninggalkan lemari dorong begitu saja. Bahkan di luar, Jihan langsung mengunci Ira di kamar. Clekh!
Apa Jihan sengaja tiap harinya ber-olahraga abstrak seperti itu?
Entahlah. Nama Sorrow saja dia baca sebagai kata Waras.
Yang dibicarakan datang hingga seseorang berbisik pada temannya yang juga duduk di kursi bar. Jihan cuek menyentuh kaca-kaca lemari botol minuman. Glith! Glith..! membuka bar dan tempat kerjanya.
"Gimana malemnya, Han?"
"Terbang ke surga," jawab Jihan dengan lengkapnya, mengambil dua cangkir gelas.
Jihan segera sibuk memasukkan bubuk minuman, tak mempedulikan gelak yang berdengus di meja panjang.
"Kocak gue bilang khan..?"
"Hh, hh! Koplak yang bener, Wid," bisik gadis piyama putih ini pada yang didempetnya.
"Sori Guys. Gue telat lagi, ya.. Ssshh.. Kebelet nyarap," beritahu Jihan.
Jihan menaruh dua gelas moka di meja dengan perlahan. Lalu ada sumber suara di meja kafe..
"Han. Wisky..!"
"Beer! Tujuh puluh persen Han!"
"Gue kopi kemaren Giz! Meja lima! Hoamm.. Ck! Pegel anjay. Gue bangun dalem boks. Ada kasur. Malah ditaro dalem lemari. David b*ngsad."
Pagi ini ada 15 orang sudah bersantai di kafe basecamp. Pada wajah mereka masih terbekas vibes tidur, rambut-rambut yang belum disiram air mandi. Tapi begitulah hidup para lusid sekalipun mereka bisa apapun di dunia mimpi, rasa lelah dan kebutuhan tidur tetap bawaan alaminya.
Situasi kafe berbeda dengan siskon di siang ini, sudah banyak orang. Sekitar 40-an pengunjung. Rata-rata datang dari lorong dapur dan membawa makanan. Begitulah, tempat ini hanya tempat duduk bukan resto berkoki.
"Oke. Vanila gue dateng," ucap gadis ini, lalu.. "Makasih Sorrow yach.."
"No kasbon."
"Kagak anjer. Sotoy."
Si karyawati pergi meninggalkan tamunya. Sesampainya di bar, dia menaruh nampan kayu yang dipegang. Dipunggung kemeja putihnya terbaca: SORROW.
"Meja mana nih?"
"Sudut, Ras. Nomer enam puluh."
Tanpa protes, Sorrow pergi membawa gelas kosong dan sebotol beer.
Jihan lanjut menonton tayangan ponselnya, duduk di temani air susu dingin. Dalam siaran live tersebut ada Seha dan Hen Hen sedang dialog. Keduanya berada di rakit yang sudah diperlebar seluas garasi, entah dirubah siapa.
Di lokasi..
"Gue bakal usahain. Emang kalo lempeng Bumi udah gini bisa dibalikin?"
Lawan bicara membalikkan karton yang dibentangkan, terbaca BISA, DONG. MAKANYA GUE NGONTEK LO, SAR.
"Kenapa lo gak suar aja ke bang Medi? Maenan dia planet, Kak. Gue masih tulalit, bidangnya game terus. Tau dikit soal geologi."
Hen Hen yang masih di mode stealth, sosok hitam yang botak, membalikkan karton, terbaca; GUE GAK TAU NOMER MEDIUM. LO BISA BANTU GUE NERUSIN PESAN KE DIA.
"Yup. Ntar gue keluhin ke bang Medi pemandangan ini, Kak. Gue kurang potensial. Tapi kalo mau curhat gue siap dengerin, Kak. Yaa Itung-"
Set! Kertas karton dibalikkan, terbaca; MAKASIH, SAR. LAGI MENDESAK. NANTI GUE CURHAT LAGI KOK.
"Maksud gue.. Ng, kak Helen sama Nana libatin. Potensi lo makin komplit bareng mereka. Gue denger ada isu kalo kak Helen mau pulkam."
Set! Pada karton terbaca; TAI. EMANG UDAH LEBARAN? PLIS, MAESAROH. MENDESAK BANGET.
"Ya udah okelah gue bawain nih akte ke Pregister. Pokoknya gagal atau fail, kami belum bisa ngejamin, Kak."
Set!
GUE UDAH ITIKAD. PENGEN RUBAH DIRI. KALO VISUAL PLANET GAGAL DIBALIKIN, FIX AKTE GUE, NOW INI, FAKE. BUKAN PREGISTER DARI KOMUNITAS. GUE DATENGIN HENPAR.
"Apapun aku bakal denger kamu. Ada potensi dalam dirimu."
Set!
KENAPA LO NGEDADAK MESRA? STOP CURHAT. GUE BUKAN LAGI NYANDERA NASABAH SINARBANK.
Seha menaikan kedua bahu. Dia jongkok menaruh plat glowing warna emas ke koper khusus. Seha tutup dan menekan jepit perangkat, mengunci dan menutup pancaran isinya. Ceklik..!
"Oke. Gue pergi Kak."
Jihan menghela nafas. Banyak urusan yang harus dituntaskannya. "Hhh.. Hadeh. Gimana kalo gagal, kalo aktenya malah jadi matahin rakit."
"Han, jahe merah. Nih."
Seorang anak laki-laki datang menaruh uang kertas coklat, senilai 5 ribu rupiah.
"Jajang.. Lo kena kopid ke berapa sih, pesen jahe?"
"Gue ketiban salju, Hani. Masih di rank bawah."
"Ooh game over lagi," timpal Jihan sambil memukuli umbi pesanan. "Jang.. Lo bakar diri aja biar anti longsor ngadepin saljunya."
"Ahh. Trik lama.. Han. Udah ketahuan dev. Tuh panggung udah ditinggikan."
Bukh..! Bukh! Bukh..!
Pukul 14:34, kafe sudah sepi. Meja-meja telah kosong. Sementara di tempat lesehan, sepertiganya kafe, ada tiga perempuan. Mereka rebahan sambil memanteng ponsel.
Melihat kekosongan ini Sorrow turun dari kursi bar.
"Boss..! Gue balik nih. Lapar."
"Iya."
Wetth..!!
Jihan yang sedang merapikan kursi-kursi, membiarkan Sorrow menyusut masuk ke dalam ponselnya yang tergeletak di meja bar itu.
Jihan mengelap-lap meja yang baru dibereskannya. Selesai bersih-bersih di situ, Jihan bergerak ke meja sebelah, membuang bekas kemasan dan camilan ke polibag yang dibawanya.
GIZIANIA. Di pintu ini tergantung papan nama pemilik kamar.
Di dalam kamar, tampak April duduk menyandari pinggiran ranjang membaca bukunya. Kali ini dia tidak sedang mengecas perutnya, melainkan tengah menunggui kebo.
Posisi Ira menekuk bersama gulingnya. Selimut yang ada kini hanya menutupi kaki, tanda Ira sudah bergerak selama tidur dan betah dengan bantal panjang tak terlepaskan itu. Zzzz.. Zzz..
Setelah semua meja dibereskan, sampah sudah dikumpulkan, di muka bar Jihan duduk menunggu telepon diangkat. Sedetik kemudian..
"War, gue minta info final Hen Hen. Tiketnya."
"Oke. Tunggu, Han."
5 detik kemudian..
"Udah ceklis semua, Han. Tapi nih file kok ditahan sama Nana. Aneh deh. Kapan ya, dia masuk kantor gue? Dia yang enkrip. Eh, trus harusnya nih udah bunyi kemaren-kemaren. Duh. Tunggu ya, Han.. Untung lo ngontek gue."
". . ."
Jihan tak menjawab apa-apa selain berdebar dada, berdecak dan tampak gamang. Pasalnya, Hen Hen sudah memenuhi syarat untuk pergi ke final, bisa pergi kapan saja dari Komunitaz sebagaimana Melan.
"Han, ini gue."
"Duh, Len.. Gimana nih? Valid niatnya. Kalo akte gagal kebaca gi-"
"Slow Han. Apa owner gue lagi di situ? Kalo ntar my lord nampakin diri, galakin aja udah. Anggap itu gue. Itu yang kami tungguin sebenernya."
"Bukan nanya itu, gue nanya akte timeline. Gimana?"
"Kalo mau ikut ngawal Seha, ya udah. Lo gabung kami. Nah kalo visual planet gagal direset, lupain. Gak usah kita pusingin."
"Tanggung jawab lo ya?"
"Iya. Gue yang nanggung hukuman."
.... TBC
ak mampir ya 😊