Nadira Elvarani yakin hidup pahitnya akan berakhir setelah menerima lamaran Galendra, lelaki mapan yang memberinya harapan baru.
Tapi segalanya berubah ketika ia terlibat skandal dengan Rakha Mahendra—anak bos yang diam-diam menginginkannya—menghancurkan semua rencana indah itu.
Di antara cinta, obsesi, dan rahasia, Nadira harus memilih: hati atau masa depan yang sudah dirancang rapi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon itsclairbae, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27 — Antara Tatap dan Peluk yang Menenangkan
Nadira tidak mengatakan apa-apa, tidak menunjukkan raut marah. Namun, tatapan matanya berbeda—tidak seperti biasanya. Rakha yang melihat itu merasa seperti seseorang yang telah melakukan kejahatan besar.
“Maaf, aku terlambat pulang,” ucap Rakha pelan, berharap bisa mengubah tatapan Nadira terhadapnya.
Namun, tatapan itu tetap sama. Nadira bahkan langsung membalikkan badan, memunggungi Rakha begitu saja.
“Sudah makan?” tanya Nadira tanpa sedikit pun menoleh ke arah Rakha. Hanya punggungnya yang menghadap lelaki itu.
Baru saja Rakha membuka mulut untuk menjawab, suara perutnya sudah lebih dulu mewakilinya. Ia memang belum makan—terakhir kali makan tadi siang, bersama Nadira.
“Belum,” cicit Rakha, tetap menjawab pertanyaan Nadira meski suara perutnya sudah lebih dulu berbicara.
Nadira tidak bertanya Rakha habis dari mana, mengapa belum makan, atau pertanyaan-pertanyaan semacam itu. Ia hanya melangkah pergi tanpa sepatah kata pun. Tanpa perlu diperintah, Rakha langsung mengikutinya.
“Kamu marah?” tanya Rakha, masih mengikuti dari belakang, hingga mereka tiba di ruang makan yang penuh dengan hidangan di atas meja.
Sepertinya, Nadira menyiapkan semua itu untuk Rakha. Namun, Rakha—dengan sikap kekanak-kanakannya—malah memilih merenung sendiri di parkiran apartemen.
“Maaf...” ucap Rakha begitu melihat hidangan di atas meja.
Meski Nadira tidak mengatakan bahwa dirinya marah, meski tidak menyalahkan Rakha atas keterlambatannya, lelaki itu tetap merasa bersalah kepada istrinya.
“Makanlah,” ucap Nadira tanpa menanggapi permintaan maaf tadi.
Rakha hanya bisa menuruti. Ia menarik salah satu kursi dan duduk. Nadira, yang biasanya duduk di sampingnya saat mereka makan bersama, kini memilih duduk di kursi seberang. Dan saat itu Rakha benar-benar sadar: istrinya memang marah, hanya saja tidak diungkapkan dengan kata-kata.
“Sayang...” Rakha hendak memprotes karena Nadira tidak duduk di sampingnya. Namun, nyalinya ciut saat mata Nadira menatapnya.
“Iya, aku makan,” ucap Rakha cepat-cepat, lalu mengambil nasi dan beberapa lauk dari meja.
Siang tadi, Nadira yang menghidangkan makanan ke piringnya. Tapi malam ini, Rakha melakukannya sendiri.
Rakha diam-diam memperhatikan Nadira. Perempuan itu tidak makan, tetapi ia tidak berani bertanya. Ia hanya menyimpulkan bahwa Nadira mungkin sudah makan lebih dulu.
Suasana di meja hening untuk beberapa waktu. Hanya terdengar suara dari piring dan alat makan yang digunakan Rakha. Sampai akhirnya Nadira bersuara pelan,
“Aku tidak marah,” ucap Nadira.
Namun, ia tidak terlihat seperti orang yang benar-benar tidak marah—lebih menyerupai seseorang yang telah bergulat dengan egonya sendiri, dan menang.
“Aku tahu, anak muda sepertimu pasti masih suka main. Tapi, paling tidak kabari kalau memang ingin main sampai malam, atau tidak pulang sama sekali,” lanjut Nadira, masih tanpa menoleh sedikit pun ke arah Rakha.
“Aku tidak main!” sangkal Rakha cepat. Ia memang tidak main—hanya pergi ke perusahaan mantan tunangan istrinya, lalu menggalau sendirian di parkiran apartemen.
“Mau pergi ke mana pun, setidaknya kabari,” tegas Nadira, suaranya tenang tapi tidak memberi ruang untuk alasan apa pun.
Perempuan yang tadi siang begitu manis, bahkan sempat membelai dirinya dengan lembut, kini terasa berubah hanya karena Rakha telat pulang ke rumah.
"Iya," Rakha mengangguk pelan. Tidak ada lagi pembelaan, hanya kepasrahan mengikuti perkataan istrinya.
***
Setelah selesai makan, Rakha dan Nadira pergi bersama ke kamar. Tidak banyak percakapan terjadi. Nadira hanya berbicara jika Rakha lebih dulu membuka suara, itu pun sekadarnya.
Rakha yang tidak menyukai suasana dingin itu langsung memeluk Nadira dari belakang, tepat saat mereka baru saja memasuki kamar.
"Aku benar-benar tidak main, Sayang. Suamimu sudah lama berubah," bisik Rakha pelan. Barangkali Nadira masih mengira dirinya masih sama seperti saat SMA—berandalan dan suka main-main.
Nadira menghela napas pelan. Pelukan itu membuat emosinya sedikit mereda—bahkan menghilang. Ia selalu lemah jika sudah dipeluk seperti ini, apalagi oleh lelaki yang dicintainya.
"Besok aku akan beli ponsel baru," ucap Nadira, tanpa menanggapi langsung perkataan Rakha. Ia hanya menawarkan solusi atas masalah di antara mereka.
Ia tahu dan menyadari bahwa alasan Rakha tidak mengabarinya karena tidak memiliki ponsel. Ponsel lamanya sudah rusak dan tidak bisa digunakan lagi.
"Iya, nanti aku belikan ponsel baru," ucap Rakha, lega karena menyadari nada bicara Nadira telah kembali seperti biasa.
"Tidak usah, aku beli sendiri. Kamu cukup antar aku," ucap Nadira sambil melepaskan pelukan Rakha, lalu membalikkan tubuhnya menghadap lelaki itu.
"Kamu suamiku sekarang, tapi ponsel itu barang pribadi. Jadi, biar aku yang beli sendiri," lanjutnya, seakan tahu Rakha tidak akan setuju dirinya membeli ponsel sendiri, mengingat status mereka.
"Kamu cukup belikan aku produk perawatan, atau bayar kalau aku mau perawatan, dan membeli bahan makanan untuk kita," tambahnya, seperti menyampaikan prinsip—tanpa menyentil harga diri suaminya.
Rakha tersenyum. Nadira baru saja menunjukkan sesuatu yang membuatnya kembali jatuh hati—lagi dan lagi.
"Baiklah. Tapi, kapan waktunya kamu beli produk perawatan dan pergi perawatan?" tanya Rakha sambil mengacak rambut istrinya. Gemas, karena barusan Nadira hampir membuatnya kena serangan jantung—dan kini berubah total.
“Yang pasti bukan sekarang, karena sekarang sudah waktunya tidur,” jawab Nadira, membuat Rakha semakin gemas.
Istrinya ini memang selalu punya cara sendiri untuk membuatnya jatuh hati. Kini, kekhawatiran Rakha tentang kemungkinan Nadira kembali pada Galendra perlahan memudar.
“Kamu kalau marah serem, ya. Tapi kalau sudah begini, aku jadi gregetan mau gigit kamu,” ucap Rakha sambil bersiap-siap seolah benar-benar ingin menggigit Nadira.
“Aku diam saja tadi. Siapa bilang aku marah?” Nadira balik bertanya, menyangkal bahwa dirinya sempat marah.
Padahal memang benar, tadi ia marah. Tapi, begitulah perempuan—seberapa pun dewasa mereka, selalu ada ego yang sulit ditembus saat berhadapan dengan lelaki yang dicintainya.
“Oke, kamu tidak marah,” ucap Rakha dengan nada meledek.
Ucapan itu langsung disambut pukulan ringan dari Nadira di lengannya. Bukan karena marah, tapi karena kesal diledek.
Rakha hanya tertawa, lalu segera menarik Nadira ke dalam pelukannya. Ia mulai paham, istrinya akan lebih mudah luluh jika sudah berada dalam dekapan seperti ini.
Pelukan itu tidak berlangsung lama. Rakha memberi sedikit jarak, lalu menatap wajah Nadira dalam-dalam. Ia tidak akan rela jika istrinya direbut kembali oleh mantan tunangannya. Dalam hati, ia berjanji akan melakukan apa pun agar Nadira tetap berada di sisinya.
Nadira membalas tatapan Rakha. Dan dari sorot mata mereka, keduanya tahu bahwa cinta itu nyata—mereka saling memiliki dan saling mencintai.
Suasana yang mendukung tidak disia-siakan oleh Rakha. Ia mendekatkan wajahnya ke wajah Nadira, dan ciuman di antara mereka pun tidak terhindarkan.