Leon Harrington seorang hakim yang tegas dan adil, Namun, ia berselingkuh sehingga membuat tunangannya, Jade Valencia merasa kecewa dan pergi meninggalkan kota kelahirannya.
Setelah berpisah selama lima tahun, Mereka dipertemukan kembali. Namun, situasi mereka berbeda. Leon sebagai Hakim dan Jade sebagai pembunuh yang akan dijatuhkan hukuman mati oleh Leon sendiri.
Akankah hubungan mereka mengalami perubahan setelah pertemuan kembali? Keputusan apa yang akan dilakukan oleh Leon? Apakah ia akan membantu mantan tunangannya atau memilih lepas tangan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 27
Keesokan harinya.
Leon duduk dengan wajah serius di ruang rapat kecil kantor Departemen Kepolisian. Dua detektif, Kian dan Cindy, telah berkumpul bersamanya. Di atas meja, berserakan foto-foto dan berkas penyelidikan yang telah ia dan Selena kumpulkan selama beberapa minggu terakhir.
Cindy menatap salah satu foto dengan alis berkerut. Ia menunjuk ke satu lembar laporan medis yang tampak mencurigakan.
"Tuan Hakim, foto ini dan lampiran medis ini Anda dapat dari mana?" tanyanya dengan nada penuh rasa ingin tahu.
"Aku meminta rekanku ke luar negeri untuk menyelidiki semua teman dekat Jane Valencia. Dan... inilah hasil mengejutkan yang dia dapatkan," jelasnya sambil meletakkan dokumen tambahan ke atas meja.
Wajah Leon berubah tegang. Matanya menyapu seluruh ruangan sebelum akhirnya ia menatap Kian dan Cindy tajam.
"Cari orang ini sekarang juga! Jangan sampai dia menemukan Jade Valencia!" perintahnya lantang, penuh tekanan.
Kian mengangguk cepat, lalu memandang laporan medis itu sekali lagi.
"Kalau aku tidak tahu ada laporan medis ini, aku pasti sudah salah mengenal orang," gumamnya pelan, seolah berbicara pada diri sendiri.
Leon menghela napas pelan, kemudian bertanya dengan suara rendah namun serius.
"Saat ini siapa yang melindungi Jade?"
"Ada rekan kami yang sedang mengawasi dari luar," jawab Kian dengan cepat.
Leon bangkit dari kursinya, lalu melangkah mendekati jendela. Suara langkah sepatunya menggema di ruangan hening itu.
"Hubungi rekan kalian, dan perintahkan: siapa pun yang datang, tidak diperbolehkan mendekat. Termasuk diriku!" titahnya tajam, membuat Cindy menoleh kaget.
Kian menegakkan tubuhnya, memahami sepenuhnya betapa genting situasi ini.
"Aku akan segera melakukannya, kita sudah memiliki foto ini, jadi tidak sulit untuk mengenal tersangka yang paling dicurgai," ujarnya sebelum bergegas keluar dari ruangan, meninggalkan ketegangan yang belum usai.
Malam hari.
Apartemen.
Malam tampak begitu mencekam. Angin bertiup kencang, membuat tirai balkon di beberapa unit apartemen berkibar liar. Lampu jalan berkelap-kelip tertutup kabut tipis, menambah kesan suram di sekitar gedung tinggi itu. Beberapa penghuni terlihat keluar masuk seperti biasa, seolah tak menyadari bahaya yang sedang mengintai.
Sementara itu, di dalam sebuah mobil hitam yang terparkir tak jauh dari lobi, dua detektif duduk dalam diam, memperhatikan setiap gerak-gerik.
"Tidak ada yang mencurigakan. Mereka semua tinggal di apartemen ini," ucap salah satu polisi sambil mengintip melalui binokular, memastikan setiap wajah yang masuk dan keluar dari gedung.
Namun, di sisi lain gedung, tepat di salah satu koridor lantai delapan yang sepi dan remang, seorang pria bertopi dengan masker hitam menempelkan tubuhnya ke dinding. Ia melangkah pelan, nyaris tanpa suara. Dari balik topengnya, matanya menyapu sekitar, memastikan tidak ada satu pun kamera atau saksi yang memperhatikannya.
Tanpa ragu, pria itu mendekati salah satu pintu apartemen—unit tempat Jade tinggal. Ia menekan tombol angka pada keypad digital.
"Kalau bukan karena aku pura-pura tinggal di sini dan setiap hari aku mengintai gadis itu, mana mungkin aku bisa tahu passwordnya dan mengelabui dua polisi itu," batinnya dengan suara dingin, penuh rasa puas.
Bunyi klik halus terdengar saat pintu terbuka. Ia menahan napas, lalu mendorongnya perlahan.
Ruangan di dalam tampak gelap dan sunyi. Cahaya samar dari luar hanya cukup menerangi siluet furnitur di ruang tamu.
Langkahnya pelan, seolah menyatu dengan kegelapan. Udara di dalam apartemen terasa dingin, namun ia tetap melangkah mantap, mengabaikan rasa takut dan bersiap menjalankan niatnya.
Pria misterius itu berjalan perlahan menyusuri lorong apartemen, langkahnya nyaris tanpa suara di atas lantai yang berkarpet. Di tangannya, ia menggenggam pisau tajam yang memantulkan kilatan cahaya redup dari lampu lorong. Ia tiba di depan kamar Jade dan meraih kenop pintu dengan hati-hati. Suara klik pelan terdengar saat pintu kamar terbuka perlahan.
Cahaya bulan menyusup lewat celah tirai, memperlihatkan sosok gadis muda yang tertidur pulas di atas ranjang. Wajahnya tertutup sebuah majalah, napasnya tenang. Ia tampak tak menyadari ancaman yang sudah begitu dekat.
Pria itu menyeringai di balik masker hitamnya.
"Gadis bodoh ini... harus mati," gumamnya perlahan sambil mengangkat pisau berkilau di tangannya.
Langkahnya mantap saat ia mendekati tempat tidur. Matanya menatap dingin ke arah gadis yang terlelap.
"Jade Valencia... jangan salahkan aku. Aku hanya menurut perintah Damien Lennox," ucapnya lirih, sebelum ia bersiap mengayunkan pisaunya ke arah tubuh Jade.
Namun, tepat saat pisau itu hendak turun, Jade tiba-tiba membuka mata dan melempar bantal ke wajah pria itu, membuatnya mundur satu langkah dan kehilangan keseimbangan.
Dengan refleks cepat, Jade bangkit dari ranjang dan menendang perut pria itu sekuat tenaga.
Bruk!
Tubuh pria bertopeng itu terhuyung ke belakang, menabrak meja kecil hingga lampunya jatuh dan pecah.
Dengan sigap, Jade melompat dan memutar tangan pria itu ke belakang, menahannya dalam posisi terkunci.
"Siapa yang mengutusmu?!" tanya Jade tajam, napasnya memburu, penuh amarah dan ketakutan yang bercampur jadi satu.
Pria itu mengerang pelan, namun tertawa kecil di sela-sela desahannya.
"Siapa pun dia, kau tak akan bisa lolos juga. Jangan berharap para polisi di luar sana bisa melindungimu. Aku rasa... mereka pasti sudah tidak sadarkan diri saat ini," katanya licik.
Jade terdiam sejenak, lalu perlahan tubuhnya melemas. Pandangannya mulai kabur, dan ia pun terjatuh ke lantai, menggeliat lemah.
"Kau... apa yang kau lakukan padaku?" tanya Jade dengan suara yang nyaris tak terdengar.
Pria itu membungkuk mendekat, tatapannya penuh kepuasan.
"Apa kau tak mencium aroma wangi dari tubuhku? Itu adalah sejenis obat pelemah yang akan melumpuhkanmu perlahan. Kali ini, tidak akan ada siapa pun yang bisa menyelamatkanmu," ucapnya sembari membungkuk untuk mengangkat tubuh Jade yang nyaris tak berdaya.
Ia memanggul tubuh gadis itu di bahunya dan melangkah menuju pintu utama dengan percaya diri.
Namun saat ia baru saja menginjak ambang pintu, sebuah suara keras menggema dari arah luar.
"Turunkan dia!"
Pria itu tersentak dan mendongak—di hadapannya berdiri seorang pria tegap dengan sorot mata membara.
Leon.
Tangannya mengepal, tubuhnya berdiri kokoh, siap bertarung demi menyelamatkan Jade dari bahaya yang mengancam nyawanya.