Judul buku "Menikahi Calon Suami Kakakku".
Nesya dipaksa menjadi pengantin pengganti bagi sang kakak yang diam-diam telah mengandung benih dari pria lain. Demi menjaga nama baik keluarganya, Nesya bersedia mengalah.
Namun ternyata kehamilan sang kakak, Narra, ada campur tangan dari calon suaminya sendiri, Evan, berdasarkan dendam pribadi terhadap Narra.
Selain berhasil merancang kehamilan Narra dengan pria lain, Evan kini mengatur rencana untuk merusak hidup Nesya setelah resmi menikahinya.
Kesalahan apa yang pernah Narra lakukan kepada Evan?
Bagaimanakah nasib Nesya nantinya?
Baca terus sampai habis ya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Beby_Rexy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26
Malam itu hujan turun rintik-rintik ketika Nesya tiba di halaman depan rumah ibunya, Evan tengah berbicara dengan Kinan namun Nesya tak mendengar apa yang mereka bicarakan sebab dirinya memilih untuk masuk ke dalam rumah. Ketika sudah berada di ambang pintu, dia pun menoleh ke arah belakang dan mendapati Evan yang tengah menatap dirinya dalam diam. Sejenak, keduanya saling memandang dari kejauhan, wajah Evan selalu saja tampan di setiap moment yang Nesya lihat. Dalam balutan setelan jas yang pas dengan bentuk tubuh atletisnya, di mata Nesya lelaki itu sangat sempurna kecuali kepribadiannya yang menyebalkan, beberapa saat kemudian Evan bergerak melepas tatapan keduanya dan segera masuk ke dalam mobil. Mobil itu pun bergerak menjauh menjadi pertanda perpisahan Nesya dan Evan untuk selamanya.
“Mari masuk, di luar sedang hujan dan banyak angin yang tidak sehat.”
Nesya tersadar ketika Kinan menegur dirinya yang masih berdiri di ambang pintu, setelah menganggukkan kepalanya Nesya segera menurut untuk masuk kedalam rumah dan Kinan menutup pintunya.
Ibunya Nesya tersebut menangkap raut wajah yang berbeda dari sang putri bungsu, namun alih-alih bertanya tentang perasaan Nesya, Kinan memilih untuk memberikan waktu agar putrinya itu bisa istirahat dan menenangkan dirinya.
“Selamat datang kembali ya, sayang. Ibu bahagia sekali melihatmu berada dirumah ini, apakah kamu ingin istirahat sekarang?” Tanya Kinan dengan senyum lembutnya, wanita berdaster lusuh itu sejenak memberikan pelukan hangat kepada Nesya yang juga membalasnya.
“Apakah Nesya boleh tidur bersama ibu?”
“Tentu saja,” jawab Kinan tersenyum senang.
Seperti yang sudah sering Nesya lakukan, yaitu tidur bersama sang ibu jika Sifa tidak menginap disana, maka malam itu dia dan Kinan pun tidur diatas ranjang yang sama. Sekali lagi, Kinan tak ingin bertanya perihal apapun bahkan tentang bagaimana kehidupan Nesya selama bersama Evan.
Sedangkan Nesya pun tak berniat intuk bercerita pada saat itu, setelah merebahkan diri dia berusaha mengatur napas dengan baik, kemudian memejamkan kedua matanya yang terasa lelah. Nesya tak langsung tertidur sebab dirinya masih terbayang-bayang kenangan singkatnya ketika tinggal di villa dan tidur di menara.
Dalam keadaan terpejam itu Nesya tersenyum getir, mentertawakan dirinya yang dalam waktu dua minggu sudah kembali menjadi upik abu. “Selamat tinggal, Nyonya Nesya Maris.”
***
Evan menyandarkan kepalanya pada sandaran kursi sambil terus fokus mengemudikan mobilnya. Wiper kaca mobil bergerak cepat karena air hujan turun semakin deras, ponselnya berdering dan segera dia sambungkan ke layar televisi mini di mobil tersebut.
“Ya.” Evan menerima panggilan dari Farrel.
“Apakah kamu benar-benar melakukannya? Membawa Nesya pulang kerumah ibunya?” Pertanyaan dari Farrel itu membuat Evan berdecih, Evan yakin Farrel sangat merasa senang saat itu namun tidak akan dia biarkan.
“Lakukan perintahku, perbanyak jumlah penjagaan di rumah itu dan mulai sekarang fokus pada Baskara dan Arjun saja,” titah Evan dengan tegas, dia tak lagi menyebut ayah tirinya itu dengan panggilan ayah setelah mulai mendapatkan titik terang dari pelaku kematian Erwin dan itu semua bisa dia dapatkan malah melalui Nesya.
Farrel diam sejenak, sepertinya masih memikirkan keputusan Evan yang telah memulangkan Nesya tadi. “Ya, sudah aku lakukan, orang-orang ku sudah berjaga disana sambil bersembunyi. Mengenai perintahmu untuk mengecek rekam medis Paman Baskara juga sudah aku dapatkan melalui orang kita di rumah sakit itu.”
“Bagus, temui aku di villa sekarang,” ucap Evan.
“Di saat hujan deras begini?” Farrel jadi malas keluar jika sedang turun hujan, apalagi anginnya cukup kencang di luar sana.
“Ck, tidak usah manja. Beritahu juga kepada Ian agar menyiapkan orang bayaran kita untuk menyekap Arjun.” Tanpa menunggu jawaban dari Farrel lagi, Evan memutus panggilan telepon mereka secara sepihak.
Setibanya di villa, hujan masih betah membasahi bumi, Evan berdiri menatap keluar dari jendela kaca kamarnya yang ternyata pas menghadap ke menara. Rupanya dari sana Evan bisa mengawasi Nesya saat masih menempati menara itu, dan dari sana juga dia dapat melihat keakraban Farrel dan Nesya di suatu hari saat mereka berdua bertemu.
Aroma kopi yang baru saja diantarkan oleh pelayan langsung menguar di dalam kamarnya, hawa dingin di tubuhnya akibat terkena hujan di luar tadi langsung berubah hangat setelah kopi panas itu mulai mengisi lambungnya.
Sekali lagi ia menengokkan kepala ke arah menara itu sambil duduk untuk menikmati kopinya, bayangan wajah Nesya yang selalu terlihat kesal padanya nyatanya tak bisa hilang seiring Nesya yang sudah hilang dari sana.
Tak dapat di pungkiri, Evan mulai mengagumi sosok Nesya karena keberaniannya yang malah berhasil mengungkap misteri kematian Erwin yang bagi Evan sudah terlihat aneh sejak awal. Dia memang menaruh curiga pada orang-orang terdekat Erwin, akan tetapi karena kesulitan mencari bukti tak pernah bisa menuntunnya ke arah sosok Baskara sabagai dalangnya.
Evan kembali menyeruput kopinya, sejak kemarin ia sudah menugaskan Farrel untuk menyelidiki dua orang calon tersangka itu. Dia juga sudah menyelidiki Kiki yang selama ini menjadi kepala pelayan kepercayaan sang ibu, hingga dia telah mengetahui perselingkuhan Kiki dan Baskara tepat beberapa saat sebelum Nesya membawa Kiki ke rumah sakit. Hal itu lah yang membuat Evan bergegas menjemput Nesya ke rumah sakit, dan keputusannya untuk memulangkan Nesya adalah demi keamanan sang istri, karena di villa tersebut sudah terdekteksi ada banyak mata-mata dari Baskara.
Suara ketukan di luar pintu kamar itu menyadarkan Evan dari lamunannya, sejenak ia melirik kearah jam dinding dan baru menyadari bahwa ia sudah duduk disana selama hampir satu jam.
Wajah Farrel langsung terlihat ketika Evan membuka pintu kamarnya, setelah mempersilakan orang kepercayaannya itu untuk masuk, Evan berjalan lebih dulu lalu duduk setengah berdiri di sandaran sofa.
Farrel melangkah masuk ke ruangan, matanya menangkap sosok Evan yang sedang duduk di posisinya, tampak terpaku. Ada sesuatu yang berbeda dari teman baiknya itu. Farrel menghela napas, kemudian duduk di sebelah Evan.
"Kamu benar-benar sudah memulangkan Nesya ke rumah ibunya, Evan?" Tanya Farrel sekali lagi dengan suara serius. Dia menatap Evan, mencari kepastian dalam tatapan itu.
Evan menoleh lalu berdecak, memandang Farrel sejenak namun akhirnya mengangguk perlahan. "Ya, aku sudah memulangkannya," jawabnya. Suaranya tenang, namun ada sedikit getaran di dalamnya yang tidak luput dari perhatian Farrel.
Farrel seharusnya merasa senang. Dia sudah lama menyukai Nesya, bahkan sebelum Nesya menjadi istri Evan. Kini, dia mendapat kesempatan untuk mendekati Nesya lagi. Namun, melihat ekspresi wajah Evan yang berubah, Farrel tahu ada sesuatu yang berbeda.
"Evan..." Farrel memulai, ragu. "Kamu... apa kah kamu sudah jatuh hati pada Nesya?"
Evan terdiam, matanya menatap jauh ke depan. Wajahnya tampak serius, dan ada sedikit kerutan di dahi. Dia menarik napas dalam-dalam, seakan mencari keberanian untuk menjawab pertanyaan Farrel. Sebenarnya seorang Evan paling anti membicarakan masalah perasaannya tentang wanita kepada siapapun termasuk Farrel, namun entah mengapa dia menjadi terpancing.
"Ya," jawab Evan akhirnya, suaranya hampir tidak terdengar. "Aku rasa... aku sudah jatuh hati padanya. Dan kamu tak bisa memiliki kesempatan." Pada akhirnya dia tetap menyindir.
Farrel menatap Evan, terkejut namun sekaligus paham. Dia menghela napas, kemudian memandang ke depan, membiarkan hening mengisi ruangan. Dia tahu, pertemanan mereka akan menghadapi ujian yang berat. Tapi dia juga tahu, mereka akan melewatinya bersama. Karena itulah yang selalu mereka lakukan.
𝚜𝚞𝚊𝚖𝚒𝚗𝚢𝚊 𝚔𝚊𝚗 𝚙𝚎𝚖𝚋𝚒𝚜𝚗𝚒𝚜 𝚍𝚒 𝚒𝚖𝚋𝚊𝚗𝚐𝚒 𝚍𝚒𝚔𝚒𝚝 𝚌𝚎𝚠𝚛𝚔𝚗𝚢𝚊 𝚜𝚎𝚍𝚒𝚔𝚒𝚝 𝚋𝚊𝚍𝚊𝚜 𝚝𝚑𝚞𝚛