Mengejar mimpi, mencari kebahagiaan untuk mendapatkan apa yang diinginkan, Raka harus menghadapi keadaan pahit atas dosa-dosa sosialnya, juga konflik kehidupan yang tak berkesudahan.
Meski ada luka dalam duka, ia harus tetap bersabar. Demi bertemu kemanfaatan juga kebahagiaannya yang jauh lebih besar dan panjang.
Raka rela mengulang kembali mimpi-mimpinya. Walaupun jalan yang akan dilaluinya semakin terjal. Mungkinkah semesta akan mengamini harapannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rurri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kontras
"Raka, sini, kemari ... yang lain tunggu dulu di luar," suruhnya Lurah blok bawah.
Aku memasuki ruangannya, nampak banyak fasilitas di sini, seperti bukan di dalam penjara.
"Apa kamu sudah tahu, aturannya di sini," ucapnya Lurah.
"Belum." Aku langsung duduk di atas kursi sofa tanpa dipersilakan olehnya.
"Di sini, aturannya gampang." Menyodorkan kaleng minuman dingin. "Setiap warga komplek B, kalau dalam waktu satu bulan nggak bisa menghasilkan uang, terpaksa, aku akan menyuruh orang untuk memindahkan kalian ke komplek A." Terangnya Lurah tanpa berbasa-basi.
Aku sudah bisa menebak kalimat berikutnya yang akan diucapkan.
"Nanti, kondisikan juga teman-temannya kamu," ucapnya Lurah bersamaan dengan gumamku dalam hati.
"Selain itu, apakah ada aturan lainnya?" tanyaku pada Lurah blok bawah.
"Nggak ada." Membukakan minuman kaleng untukku. "Silakan di minum dulu." Menyenderkan badannya di kursi sofa.
Aku mengambil minuman tersebut, mendongakkan kepala sedikit ke atas, pandanganku menelisik ke dinding di depanku bersamaan mengalirnya air dingin ke dalam tenggorokanku yang sedang kering.
"Jumlah kamu dan temanmu, semuanya ada empat belas orang, kan?" tanyanya sembari memegang alat tulis, siap untuk mencatat nama-nama kami.
Aku mengiyakan dan mendikte nama mereka satu per satu kepada Lurah blok bawah.
"Sekarang tanggal berapa?" tanyanya Lurah.
"Dua puluh dua, juni, dua ribu tiga belas," sahutku.
"Kalian mau bikin kartu kreditnya bagaimana? Satu orang satu, atau ... ."
Aku memotong. "Nanti, aku bicarakan sama yang lainnya dulu."
"Oke ... ," responnya Lurah.
"Kalau boleh tahu? Minimal dan maksimalnya, membuat kartu kredit harus di isi berapa?"
"Minimal, satu orang, lima ratus ribu, dan untuk maksimalnya, nggak ada batas. Bebas!" serunya Lurah.
Aku menelan ludah, menebak-nebak jumlah keseluruhan warga komplek B. Ada dua puluh kamar, masing-masing kamar di huni oleh lima belas narapidana. Berarti, lurah blok bawah bisa mengumpulkan emas kisaran tiga ratus gram tiap bulannya, dan itu pun masih minimalnya.
"Besok lusa, aku tunggu kalian di sini. Sekarang sudah selesai, kamu dan teman-teman kamu boleh pergi dari sini," ucapnya Lurah blok bawah sesederhana itu.
Aku beranjak dari tempat duduk.
"Besok lusa, jangan lupa." Mengulangi.
Aku tersenyum masam, keluar meninggalkan Lurah blok bawah.
"Bagaimana?" tanya Tegar padaku.
"Registrasi," celetukku.
"Hanya itu saja." Supri berpikir di tempat.
Kami berlalu meninggalkan halaman rumahnya lurah blok bawah. Iya, tempat tersebut tak pantas sebagai ruangan sel tahanan.
"Raka, tunggu ... ." Supri mengejar.
Sepintas aku menengok, sambil terus berjalan.
"Kita di panggil hanya untuk registrasi saja," Supri bertanya kembali.
Aku mengangguk.
"Apakah nggak ada hal yang lainnya." Memaksa minta jawaban lain.
Aku menyahuti. "Ada, satu bulan lagi, kita akan di pindah ke komplek A." Aku menunjuk ke bangunan tersebut.
"Loh, kenapa?" Tangannya meraih pundakku.
Aku terus berjalan menuju ruang tahanan nomor delapan. "Kita bicarakan nanti, di kamar."
"Ada masalah yah," celetuk Aryanto tertular penasaran.
Aku menggelengkan kepala. Sekilas melihat warga komplek B yang nampak ceria. Lain ceritanya dengan segerombolan orang-orang yang keluar dari komplek A, di sebrang lapangan, wajahnya mendung.
Di belokan saat akan memasuki komplek B, kami berjumpa dengan mantan palkam kami, waktu di sektor dua, blok atas.
"Raka," Afif memanggil.
Aku juga tiga belas temanku berhenti, kami saling berjabat tangan dengan Afif dan dua puluh satu orang pengikutnya.
"Bagaimana kabarnya?" tanya Afif padaku.
"Seperti apa yang sudah kamu lihat." Menyeringai.
Kita berbicara basa-basi, lumayan lama. Sampai akhirnya Afif menceritakan beberapa poin penting untukku.
"Besok lagi saja, nanti kita teruskan obrolannya. Sekarang kami masih baru. Jadi, masih ada hal yang harus kami siapkan terlebih dulu," ujarku pada Afif.
"Iya sudah. Besok, aku tunggu kamu di sini," sahutnya Afif.
Aku dan teman yang lain berjalan memasuki komplek B.
Sesampainya di kamar nomor delapan.
"Jadi, bagaimana?" Supri langsung melemparkan pertanyaan. "Kenapa kita akan di pindahkan dari sini," imbuhnya Supri.
"Memangnya ada masalah apa?" Aryanto menambahi.
Sembari duduk. "Pertama, kita hanya di registrasi. Kedua, kita ditawarkan untuk membuat kartu kredit." Menghela nafas. "Minimalnya harus terisi saldo lima ratus ribu perbulannya. Dan yang terakhir, kalau kita ingin tetap tinggal di sini, kita diajurkan punya penghasilan."
Suasana menjadi gaduh, saling mendominasi ingin berbicara dan di dengarkan.
"Sudah menjadi aturan di sini seperti itu." Suaranya Pak Erwin, membungkam kegaduhan.
Pandangan kami satu arah, tertuju padanya.
"Kalau kalian mampu dan nggak keberatan, silakan tetap tinggal di sini. Tapi, saranku, jangan dipaksakan." Berdiri di tengah-tengah kami. "Di komplek A, nggak jauh berbeda dengan di sini, hanya saja, satu ruangan di sana, di huni paling sedikitnya, empat puluh narapidana. Dan soal makanan di sini dan di sana, sama saja. Kalau kalian mau makan yang enak, kalian harus membeli."
"Bagaimana caranya, kita bisa mendapatkan penghasilan," tanya Tegar pada Pak Erwin.
"Caranya ada dua. Kalian bisa meminta pada keluarga kalian yang di rumah, agar tiap bulan di kirimkan uang sejumlah yang di butuhkan. Atau, kalian harus bekerja di sini, agar bisa menghasilkan uang," jawabnya Pak Erwin.
"Memangnya di sini, ada pekerjaan buat kita," celetuk Tegar.
"Banyak." Pak Erwin berpindah posisi, duduk menyender di tembok.
"Di mana dan apa pekerjaannya?" Nadanya menggebu.
"Iya, di sini, di ruangan ini." Melinting rokok tembakaunya.
Kami merasa bingung.
"Pekerjaan apa?" Tegar sudah tak sabar.
"Kalian semua." Pak Erwin memijat-mijat rokoknya yang baru jadi. "Di sini, kalian bisa menjadi bandar judi, membuka situs online. Nanti, segala fasilitasnya akan di sediakan oleh lurah blok bawah. Atau, kalian juga bisa menjadi pengedar obat-obatan, asalkan sudah punya pasarnya di luar sana." Menyalakan rokok, menghisapnya perlahan.
Tegar meletakkan tangan di pinggangnya. Suatu gaya anak jalanan yang kehilangan kesabaran. Ingin segera beraksi.
Aryanto, Supri juga sepuluh teman lainnya merasa senang. Karena notabene, orang yang berada di bawah benderanya indra kuncoro yang mendominasi pasar hitam di Kota Bahari adalah mereka.
Pak Erwin menghembuskan asap putih yang menggulung naik ke atas langit-langit ruangan. "Apakah kalian masih bingung, bagaimana caranya mendapatkan penghasilan." Melempar pandangan sesat pada kami. "Jangan khawatir, masih banyak pilihan untuk bisa mendapatkan uang tambahan di sini."
Aku tercengang.
Seketika suasana riuh rendah, ramai tidak karuan, semua tertawa. Kecuali, aku dan Khairudin yang masih duduk bersila menatap tembok. Entah, apa yang sedang ia pikirkan sejauh ini. Apakah, barangkali mungkin, ia sedang merampalkan mantra, Ajian Rogo Sukmo. Mengeluarkan jiwa dari raganya sendiri, melewati para penjaga tahanan yang menenteng senjata api laras panjang, juga menembus tembok beton tebal yang berlapis-lapis itu. Demi menemui sang ibu tercinta yang sedang sakit di luar sana. Ah, itu tidak akan mungkin terjadi.
karya² kk juga sama bagus²🌷🌷🌷
😅😅