NovelToon NovelToon
About Me (Alshameyzea)

About Me (Alshameyzea)

Status: sedang berlangsung
Genre:Ketos / Anak Genius / Anak Yatim Piatu / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Murid Genius / Teen School/College
Popularitas:2.4k
Nilai: 5
Nama Author: Febby Eliyanti

Saksikan perjalanan seorang gadis yang tidak menyadari apa yang telah disiapkan takdir untuknya. Seorang gadis yang berjuang untuk memahami konsep cinta sampai dia bertemu 'dia', seorang laki-laki yang membimbingnya menuju jalan yang lebih cerah dalam hidup. Yuk rasakan suka duka perjalanan hidup gadis ini di setiap chapternya.


Happy Reading 🌷
Jangan lupa likenyaa💐💐💐
Semoga kalian betah sampai akhir kisah Alsha🌷 Aamiin.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Febby Eliyanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 26. Dalam Pelukan Malam

...Assalamualaikum guys!! Sebelum baca, bantu support yaa dengan follow, vote, like dan komen di setiap paragraf nya!! Karena support kalian sangat berarti bagiku💐Makasiiii!🌷...

...••••...

...🌷Happy Reading 🌷...

...•...

...•...

...•...

..."Kehilangan mengajarkan kita arti kehadiran"...

...°°°°...

Malam menampilkan langit yang dihiasi bintang-bintang bersinar gemerlapan, seperti permata yang tersebar di samudera hitam, aku dan Keenan duduk di depan rumahku. Bulan purnama memancarkan cahaya lembutnya, menyelimuti malam dengan sentuhan magis yang menenangkan. Angin malam berhembus lembut, menambah keheningan malam yang menyentuh.

Keenan menatap bintang-bintang, lalu mengalihkan pandangannya kepadaku dengan senyuman yang penuh arti. "Sheena," katanya dengan lembut, "Bintang-bintang itu selalu ada untuk bulan, meskipun kadang mereka gak tampak. Aku ingin kamu tau, aku akan selalu ada untukmu, seperti bintang-bintang itu untuk bulan."

Aku mendengar kata-katanya, merasakan betapa indahnya kalimat-kalimat itu.

Kemudian, tanpa peringatan, Keenan menatapku dengan sorot mata yang begitu dalam, seolah-olah dia mencoba membaca jiwaku. Mata cokelatnya yang lembut memancarkan perasaan yang sulit diartikan, seakan menyatu dengan kedamaian malam. "Kalo malem ini ada bintang jatuh," suaranya berbisik seperti angin malam yang menyentuh kulit, "apa yang kamu minta?

Aku terdiam sejenak, merenung dalam keheningan. "Aku ingin punya kakak," ujarku perlahan, suaraku nyaris tidak terdengar di bawah sinar bulan.

Keenan menatapku dengan rasa ingin tahu yang mendalam. "Kenapa?"

Aku menarik napas dalam, berusaha mengungkapkan perasaanku. "Aku ingin merasa dilindungi, dijaga, dan memiliki seseorang yang bisa menemani dan membantuku menghadapi dunia ini. Aku ingin ada seseorang yang bisa memberikan nasihat, yang bisa aku andalkan saat aku merasa rapuh."

"Kalau gitu, ijinkan aku jadi kakakmu," ucapnya lembut, dengan tatapan penuh harapan. "Aku ingin menjadi seseorang yang selalu ada di sampingmu, memberikan dukungan dan perlindungan. Biar kamu gak perlu menghadapi semuanya sendirian." Senyumnya tulus, menyentuh hati.

Aku membalas senyumannya, merasakan kehangatan dari kata-katanya. "Jadi, kamu mau jadi kakakku hanya karena kamu anak pertama?" tanyaku dengan nada bercanda, mencoba meringankan suasana.

Keenan tertawa kecil, matanya kembali menghadap langit. "Lebih dari itu, Sheena. Aku ingin menjadi seseorang yang peduli sama kamu dan ingin melihat kamu bahagia. Aku ingin menjadi orang yang bisa kamu andalkan, yang akan selalu mendengarkan dan mendukungmu."

"Tanpa syarat," tambahnya lagi, sambil menatapku dengan penuh keyakinan.

Air mata mulai menggenang di mataku, membasahi kenangan indah yang kini terasa pahit. Di tempat yang sama ini, Keenan pernah membuatku tersenyum, dan sekarang dia mengisi hatiku dengan rasa perih yang mendalam. Aku menghela napas panjang, berusaha menahan isak tangis yang mengguncang dadaku, tapi semua usahaku sia-sia saat mataku tertuju pada figura kecil yang kupegang erat. Di dalam bingkai itu, ada foto masa lalu yang berharga. Seorang gadis kecil, tak lebih dari empat tahun, duduk di pangkuan seorang wanita yang wajahnya memancarkan kehangatan, meskipun sudah penuh dengan kerutan kehidupan. Gaun pink bermotif bunga-bunga yang dikenakan si anak kecil membuatnya tampak begitu bahagia, dengan senyum tulus dan gigi ompong yang terlihat jelas.

Foto itu, dengan segala detailnya, menghidupkan kembali momen bahagia yang kini terasa begitu jauh namun begitu dekat di hati—foto masa kecilku bersama nenek.

Tiba-tiba, Aline memelukku dengan lembut. "Al, cukup. Kamu gak capek apa nangis terus? Setiap malem kamu gak pernah berhenti. Aku harus gimana lagi supaya kamu gak nangis lagi?" Suaranya berat, mengandung rasa sedih yang hampir sama dengan yang kurasakan.

"Udah, jangan nangis terus," ucap Aline dengan lembut. Aku membalas pelukannya dengan erat, merasakan setiap kata yang keluar dari bibirnya. Aku, Alshameyzea Afsheena, gadis yang tak bisa berhenti menangis jika dipeluk. Aline mengelus punggungku dengan lembut, mencoba menenangkanku.

"Aku rindu nenek, Lin," ucapku, suaraku berat karena bercampur tangisan yang tak tertahan.

"Aku... aku kehilangan rumahku, Lin. Aku kehilangan semuanya," tambahku, suaraku semakin pecah dalam pelukan Aline yang semakin erat.

Aline menggeleng pelan, "Enggak, Al, kamu gak kehilangan semuanya. Masih ada aku di sini. Please jangan bilang gitu lagi."

Aku semakin erat memeluk Aline, "Orang tuaku lin.." suaraku bergetar

Meskipun aku melihat Aline juga ikut menangis, tapi dia berusaha berbicara dengan lembut, suaranya penuh kasih sayang. "Al, dengerin aku. Kehilangan orang yang kita sayang emang berat, dan rasanya seperti kehilangan rumah, tempat perlindungan kita. Tapi rumah itu bukan hanya sekadar bangunan atau tempat. Rumah adalah orang-orang yang peduli pada kita, yang selalu ada untuk kita."

Aku terisak, mencoba mencerna kata-kata Aline yang menyentuh hati.

"Meskipun kamu telah kehilangan orang-orang yang paling kamu sayangi, kamu masih punya aku, sahabatmu." ucap Aline

Aku merasakan sedikit harapan di tengah kesedihan yang mendalam.

"Aku janji, kita akan melewati ini bareng-bareng. Kamu gak sendirian, Al. Ada aku disini. Di samping kamu." kata Aline, suaranya tegas namun lembut.

Di malam ini, dalam hangat pelukan sahabatku, aku menemukan kekuatan untuk menghadapi hari esok. Mengingatkanku bahwa kesepian hanyalah ilusi, dan aku selalu memiliki seseorang yang mendampingi. Aline. Sahabatku.

Aline mengusap air mataku dengan lembut dan mengajakku masuk ke rumah. "Ayo, Al, udah malem. Waktunya tidur. Besok kita mulai dengan senyuman baru, okay?" ucapnya dengan lembut, tangannya mengusap sisa air mataku di pipi.

Aku mengangguk sambil tersenyum tipis, dan akhirnya kami masuk ke rumah.

Setelah kami berbaring di atas ranjang, aku masih belum bisa tidur. Aku melihat ke arah Aline, lihatlah, dia sudah tertidur pulas. Aku menghela napas panjang, tersenyum tipis. Beruntung banget aku punya dia.

Perlahan, aku bangkit dari tempat tidur tanpa membangunkan Aline. Aku membuka jendela kamar, membiarkan angin malam menyapu wajahku. Ketika tirai kelambu terbuka, mataku menangkap sosok laki-laki duduk di tepi jalan, depan gerbang rumahku. Arshaka?

Aku bingung, apa aku harus menghampirinya atau tidak, tapi aku penasaran ngapain dia disana malem-malem gini? Aku mencoba keluar rumah tanpa menarik perhatian cowok aneh itu. Saat aku membuka gerbang dengan hati-hati, dia menoleh kaget ke arahku.

"Lo ngapain di sini?" Arshaka bertanya dulu padaku.

"Kamu yang ngapain di depan rumahku malem-malem gini?" sahutku.

"Gue lagi cari angin," jawabnya singkat, seakan-akan itu adalah hal yang paling wajar di dunia.

"Hah?"

"Lo budeg? Gue lagi cari angin," ulangnya, kali ini dengan nada kesal yang membuat darahku mulai mendidih. Aku mendengus pelan, memutar kembali kenangan tentang bagaimana sikap menyebalkan ini sudah menjadi bagian dari dirinya sejak pertama kali kami bertemu. Arshaka yang dulu tak banyak berubah, masih sama dengan sikapnya yang sok tahu dan kasar. Namun, ada sesuatu yang berbeda malam ini, ada ketenangan yang aneh dalam caranya menatapku, seolah dia mencoba menahan sesuatu

"Kadang-kadang kita butuh udara segar buat membuka  pikiran kita," tambahnya lagi, nadanya sedikit melunak, mencoba menawarkan penjelasan yang lebih masuk akal.

Aku memandangnya dengan ragu, mencoba memahami maksud tersembunyi di balik kata-katanya. "Jadi kamu di sini cuma buat cari angin?" tanyaku lagi, masih merasa aneh dengan alasan yang dia berikan.

Dia mengangguk pelan, seolah tidak ada yang lebih penting daripada sekadar mencari angin di depan rumahku. "Iya," jawabnya datar, seolah itu jawaban yang paling logis.

Aku tak bisa menyembunyikan rasa heranku. "Harus banget di depan rumahku? Gak ada tempat lain gitu?" tanyaku, kali ini dengan nada yang lebih heran daripada marah.

"Oh, lo ngusir gue?" tanyanya dengan mata yang menyipit, suaranya berubah menjadi lebih keras, seperti seekor kucing yang sedang merasa terancam dan siap menyerang. Sikapnya yang agresif membuat suasana malam yang sepi ini semakin menegangkan.

Aku menghela napas panjang, berusaha menenangkan diri agar tak terpancing emosiku. "Sensi banget sih jadi cowok, aku kan cuma nanya doang," jawabku, mencoba tetap tenang meski ada sedikit frustrasi yang mulai menyelip di antara kata-kataku. Namun, Arshaka tetap bersikukuh, tidak mau mengalah.

"Ya itu artinya sama aja lo ngusir gue!" balasnya dengan suara yang semakin meninggi, mencerminkan kemarahan yang kian memuncak dan sulit dikendalikan.

Aku tak mau kalah. "Gak ya! Aku itu cuma nanya!" jawabku dengan tegas, menatapnya langsung, mencoba menegaskan bahwa aku tidak bermaksud mengusirnya. Ketegangan di antara kami terasa semakin kuat, seakan udara malam yang dingin ini tak lagi mampu mendinginkan suasana yang memanas.

"Bilang aja langsung kalo mau ngusir gue!" serunya, tatapannya tajam seperti belati, seolah siap menusuk hatiku kapan saja.

"Heh! Cowok aneh! Aku itu gak ada maksud ya buat ngusir kamu!" kataku dengan tegas, mataku melotot balik, menolak untuk ditundukkan oleh tatapannya yang penuh amarah.

"Apa lo bilang? Cowok aneh? Siapa yang lo maksud? Gue?" tanyanya dengan nada yang hampir terdengar tidak percaya, seolah kata-kataku baru saja menyulut sesuatu dalam dirinya.

Aku mengangguk tanpa ragu, "Iya, siapa lagi?" balasku, tak mau kalah dalam permainan ini.

Arshaka mendengus kesal, melangkah maju ke arahku, "Asal lo tau ya, gue punya nama! Arshaka Najendra, panggil gue Shaka!" ucapnya sambil menekankan kata 'Shaka' padaku.

"Shaka? Si cowok aneh," sahutku tanpa ragu, tetap dengan nada santai yang mungkin hanya semakin membuatnya marah.

Dia melotot ke arahku, "Lo minta diapain, Sha?"

"Aku cuma ngomong jujur. Kamu emang aneh," jawabku, tetap tenang meski situasi ini semakin memanas.

Arshaka tampak semakin kesal, jarinya menunjuk ke arahku dengan gerakan cepat, seperti ingin menuduhku atas sesuatu yang besar. "Lo—" suaranya menggantung, mencari kata-kata yang lebih kuat untuk mengungkapkan perasaannya.

Namun tiba-tiba, dia menarik diri, seolah menyadari bahwa melanjutkan ini tidak akan membawa keuntungan. "Udahlah, gue lagi nggak mood berantem sama lo!" ucapnya dengan nada kesal, melangkah mundur, menciptakan jarak antara kami yang tadinya begitu dekat.

"Siapa juga yang mau berantem sama kamu." sahutku sambil membalikkan badan, hendak meninggalkannya.

Namun, langkahku terhenti ketika dia memanggilku. "Sha!" suaranya terdengar lebih lembut kali ini, seperti ada sesuatu yang ingin dia sampaikan.

Aku menoleh kembali ke arahnya, menatapnya dengan rasa penasaran. Apa lagi?

"Sorry," katanya dengan nada yang penuh penyesalan, membuat mataku melebar sedikit karena terkejut.

"Sorry buat apa? Karena udah bikin aku kesel malam ini?" tanyaku, sedikit tajam, mencoba memahami maksud permintaan maafnya.

"Sorry. Gara-gara nyelametin gue, lo sampe masuk rumah sakit," ucapnya dengan tulus, suaranya bergetar dengan emosi yang dalam.

Aku terdiam, tatapan kami saling bertemu dalam keheningan yang tiba-tiba menyelimuti kami. Udara di sekeliling kami terasa semakin berat, seolah-olah kata-kata berikutnya akan menjadi penentu segalanya.

"Kamu nggak perlu minta maaf," jawabku singkat, nada suaraku lebih lembut, meskipun hatiku masih bergejolak. Aku kemudian berbalik, berniat untuk meninggalkannya di tengah malam yang semakin dingin.

Namun, sebelum aku sempat melangkah lebih jauh, dia berteriak, suaranya terdengar penuh harap, "L-lo nggak mau maafin gue, Sha?"

Aku menghentikan langkahku lagi, menghela napas dalam-dalam sebelum menoleh kembali ke arahnya. "Udah jadi kewajiban setiap orang buat saling bantu," ucapku, kali ini dengan nada yang lebih lembut, mencoba memberikan sedikit penghiburan.

"Makasih banyak, Sha. Mungkin kalo lo nggak-"

Tiba-tiba, hujan turun dengan deras, disertai angin kencang yang membuat pandangan kami menjadi samar. Arshaka segera membuka jaketnya, membentangkannya di atas kepalaku, melindungiku dari hujan yang semakin deras.

"Buruan masuk rumah," desaknya dengan nada cemas.

Aku menatap ke langit, melihat hujan yang mengguyur dengan derasnya. Meskipun kami berlari ke rumah, pakaian kami akan tetap basah kuyup.

"Ngapain masih bengong, Sha! Ayo masuk rumah, baju lo basah kuyup," suaranya terdengar lebih keras, memaksaku untuk segera bergerak.

Aku terkejut, lalu mengangguk pelan, menyadari bahwa dia benar. Kami berlarian menuju teras rumahku, dengan langkah-langkah yang cepat dan tergesa-gesa.

"Buruan ganti baju," perintah Arshaka, namun aku hanya bisa bingung melihatnya. Bajunya juga basah kuyup.

"Sha!" bentaknya lagi, suaranya terdengar penuh urgensi.

"Lo ngapain bengong terus sih! Gak usah khawatirin gue, gue nggak papa," Arshaka berseru, mencoba menenangkan situasi yang memanas.

Aku membuka pintu rumah, "Kamu juga masuk." ucapku.

Arshaka menggeleng, "Gue di sini aja."

"Ya udah, berarti aku juga nggak mau ganti baju," sahutku dengan tegas.

Arshaka melotot ke arahku, lalu dengan enggan, dia akhirnya melangkah masuk ke rumahku, terpaksa ikut menumpang di tempat yang nyaman dari hujan malam yang deras.

"Bentar," ucapku, lalu bergegas ke kamarku untuk mengganti baju.

Beberapa menit kemudian, aku keluar dengan pakaian yang lebih hangat.

"Kamu pakai aja dulu, itu punya ayahku," ujarku sambil menyerahkan sehelai baju dan celana kepada Arshaka.

Arshaka mendongak, terlihat terkejut dengan tawaranku. "Gapapa, nggak bakal dimarahin kok. Lagian, ayahku juga nggak di sini. Ukuran bajunya sepertinya pas buat kamu," kataku, mencoba membuatnya merasa nyaman.

"G-gue—" Arshaka memulai kalimatnya, namun aku langsung memotongnya dengan nada tegas. "Cepetan ganti baju, biar nggak masuk angin," ucapku sambil menaruh pakaian di sebelah tempat duduknya. "Oh ya, gantinya di kamar mandi sana," tambahku, sambil menunjuk ke arah ruangan kecil dekat dapur.

Arshaka mengangguk dan beranjak menuju kamar mandi. Suara deru hujan di luar terdengar semakin keras, menyelimuti rumah dalam suasana dingin yang menggigit. Aku menghela napas panjang. Coba aja Aline belum tidur, pasti dia udah ngereog duluan ngeliat pangerannya ada disini.

Beberapa menit kemudian, Arshaka keluar dari kamar mandi dengan hem panjang berwarna putih dan celana kain hitam. Penampilannya yang tampak seperti anak magang membuatku tersenyum canggung, merasa sedikit bersalah karena baju yang kuberikan.

Arshaka memperhatikan penampilannya, "Ngapain lo liatin gue kayak gitu?" tanya dia.

Aku menggeleng cepat, berusaha menutupi rasa canggungku dengan senyuman. "Gue mau pulang," ucapnya, dan nada suaranya menunjukkan kekhawatiran.

Aku melirik ke luar rumah, melihat hujan yang masih mengguyur dengan deras. "Gue takut dicari orang rumah," tambahnya, tampak semakin gelisah.

"Percuma aku kasih kamu baju ganti kalo pulang sekarang. Di luar masih hujan deras, kamu nggak boleh pulang. Tunggu reda dulu," tegasku, merasa khawatir dengan keputusannya.

"Tapi—" Arshaka mulai membantah, namun aku menghentikannya dengan cepat.

"Tunggu di sini," kataku sambil menuju dapur. Aku menyiapkan sesuatu dengan cepat, suara cericit hujan di luar membentuk latar belakang yang damai namun cemas.

Beberapa menit kemudian, aku kembali dengan secangkir teh hangat di tangan. "Minum ini dulu. Sambil nunggu hujan reda," kataku sambil menyodorkan cangkir itu kepadanya. Aromanya yang hangat dan menenangkan tampaknya memberikan sedikit kenyamanan di tengah malam yang dingin ini.

Arshaka menerima cangkir itu dengan senyum lembut, matanya mengungkapkan rasa terima kasih yang mendalam.

Saat aku melihat Arshaka menyesap teh yang kuberikan, tenggorokanku mendadak terasa gatal. Rasa tidak nyaman mulai menguasai, seakan ada sesuatu yang mengganggu di dalamnya. Tanpa bisa dicegah, aku mulai batuk, suaranya menggema di ruangan yang sebelumnya tenang.

Arshaka segera menoleh, raut wajahnya berubah serius. "Lo baik-baik aja?" tanyanya dengan nada cemas, matanya penuh perhatian.

Aku hanya bisa menggeleng, batukku semakin menjadi, membuatku sulit berbicara.

"Lo nggak lupa minum obat, kan?" tanyanya lagi, suaranya mengandung kekhawatiran yang tulus, seolah dia takut sesuatu yang buruk akan terjadi.

Aku mengangguk lemah, mencoba menegaskan bahwa aku sudah meminum obat, namun batukku tak kunjung mereda. Rasa gatal di tenggorokanku semakin menguasai, membuatku merasa terjebak dalam lingkaran ketidaknyamanan yang tidak kunjung usai.

Arshaka tampak semakin panik. "Lo alergi dingin, Sha!" serunya tiba-tiba, matanya melebar, seolah menemukan jawaban yang selama ini dicari.

Dia berdiri dengan cepat, mulai mencari-cari sesuatu di sekitar ruangan. Aku hanya bisa menatapnya, berusaha mengendalikan batuk yang seakan enggan pergi. Dengan sigap, Arshaka menemukan remote AC, langsung mematikannya tanpa ragu. Dia juga mematikan kipas angin yang berputar di dekat kami. Perlahan-lahan, batukku mulai mereda, seiring dengan hilangnya angin dingin yang tadinya menusuk kulit.

"Besok gue bawain obat," ucapnya serius, matanya menatapku dengan tekad yang kuat.

Aku menoleh ke arahnya, mencoba mencerna ucapannya.

"Kakak gue dokter, tenang aja. Gratis, buat lo," tambahnya lagi, seakan ingin menenangkan kekhawatiranku.

Aku tertegun, lalu memberanikan diri bertanya, "Jadi beneran dokter Athala itu kakak kamu?"

Arshaka terdiam sejenak, seolah menimbang jawabannya, sebelum akhirnya mengangguk pelan.

"Makasih," ucapku dengan tulus, merasa terharu dengan perhatiannya.

"Shaka," lanjutku dengan nada yang sedikit ragu.

"Apa? Coba bilang sekali lagi? Makasih apa?" tanya Arshaka dengan nada usil, senyum kecil terukir di wajahnya.

Aku mendengus kesal, tapi berusaha menahan diri agar tidak marah. "Makasih, Shaka, karena setiap pagi dokter Athala selalu ngingetin untuk minum obat, dan memberiku bubur dengan rasa yang berbeda setiap harinya supaya aku nggak bosen makan," jelasku, mengakui betapa besar pengaruh perhatian itu dalam proses penyembuhanku.

Arshaka tersenyum tipis, matanya menyiratkan perasaan yang sulit diartikan.

"Itu bunda kamu yang bikin buburnya, kan? Aku suka banget. Minta tolong sampaikan makasihku ya, buat bunda kamu," ujarku, merasa lega telah menyampaikan rasa terima kasihku.

Namun, Arshaka menggeleng pelan, matanya kembali menatapku dengan dalam. "Selama lo masuk RS, bunda juga jatuh sakit."

Aku tersentak, rasa panik langsung melanda. "Eh? Bunda kamu sakit?" tanyaku cepat, nada suaraku penuh kekhawatiran.

"Tapi Alhamdulillah, sekarang baik-baik aja," jawabnya dengan tenang, namun tatapannya menyiratkan bahwa ada lebih dari sekadar cerita biasa di balik kata-katanya.

"Alhamdulillah," ucapku lega, namun pikiranku masih dipenuhi rasa penasaran. Keluarga Shaka terkenal dengan pola makan yang sehat, jadi tak mungkin bubur itu dibeli dari luar, kan?

"Terus siapa yang bikin buburnya kalo bukan bunda kamu?" tanyaku, rasa ingin tahu semakin membuncah.

Arshaka menatapku dengan intensitas yang tak biasa, seolah ada rahasia yang enggan diungkapkan. Tatapan kami bertemu dalam keheningan yang tiba-tiba terasa berat dan menegangkan.

"Gue," ucap Arshaka dengan suara datar.

Jawaban itu menguak sebuah kenyataan yang tak pernah kubayangkan sebelumnya.

...BERSAMBUNG...

#alshameyzea

#alsha

#keenan

#aboutme

#fiksiremaja

#arshaka

#rey

------

Assalamualaikum guys!! Bantu support yaa dengan follow, vote, dan komen di setiap bab nya!! Makasiiii!🌷💖

Mari kepoin cerita kami juga di ig: @_flowvtry

Salam kenal dan selamat membacaa. Semoga betah sampai akhir kisah Alsha! Aamiin.💖

Komen sebanyak-banyaknya disini 👉🏻 👉🏻 👉🏻

Eh? Kalian mau kasih saran dan kritikan? Boleh banget, disini yaaa👉🏻👉🏻👉🏻👉🏻👉🏻

Thanks udah mau bacaa bab iniii sampe akhir💐

1
Sodiri Dirin
jujursi ceritanya bikin binggung tp bagus 🤔
_flowvtry: Makasii kaaa🥹🥹🥹🌷
total 1 replies
Sodiri Dirin
up tor jangan lama2,,sejujurnya aku ngrasa binggung sama ceritanya kaya GK nyambung lompat2 GK jelas tp seneng aja bacanya 🤗
_flowvtry: makasii kaaa, update terbaru ada di aplikasi wp kaa🙏🏻😭
total 1 replies
lilyflwrsss_
kerennnn bangett, alurnya bener-bener ga ketebak.
jd pengen baca terus menerus.
ditunggu updatenya kaak
_flowvtry: makasiiii kaaaa huhuu🥹🥹❤️
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!