Sejak kecil, Liliana sudah menaruh hati dan cintanya pada sahabatnya yaitu Andika. Namun, pria itu tak pernah menganggapnya Liliana sebagai cintanya.
Andika memiliki tunangan yang meninggal karena sakit. Ia tak bisa melupakan sang tunangan. Rasa cinta yang besar membuatnya tak bisa berpaling dari wanita manapun.
Rendi, sahabat sekaligus kakak kelasnya mencintai Liliana sejak kecil tanpa pamrih. Ia selalu ada untuk Liliana bahkan saat wanita itu mengalami keterpurukan akibat ulah Andika.
Rendi membawa Liliana menghindar dari Andika dan memulai kehidupan baru di luar negeri. Beberapa tahun kemudian, Liliana membawa gadis kecil yang cantik.
Namun sayangnya, sang anak menderita sakit parah dan membutuhkan darah yang cocok dengan gadis kecil tersebut. Liliana dilema.
Lalu siapa ayah kandung sang anak? Mampukah Liliana menguatkan hati ketika sang anak divonis tak bertahan lama hidup di dunia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon monica mey melinda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 27 Bingung Menentukan Pilihan
Saat aku melihatnya tertidur aku semakin tidak mau kehilangan putri kecilku. Ada rasa marah dan kecewa dengan apa yang terjadi padaku. Andai saja aku tidak pernah menceritakan peristiwa yang sebenarnya mungkin Mey tidak akan menjadi rebutan.
“Bunda, kok diam saja Mey panggil?” tanya suara kecilnya.
“Oh ... maaf, Sayang. Bunda capek." Aku berusaha untuk tersenyum.
“Apa bunda capek karena Mey, ya? Kalau bunda capek tidur saja di rumah. Mey berani kok sendiri di sini.”
“Tidak sayang. Bunda tidak capek kok,” ucapku berbohong. Aku tidak lelah sama sekali.
“Bunda, kapan Mey sekolah lagi?”
“Nanti kalau Mey benar-benar sembuh. Baru boleh sekolah ya.”
“Tapi kapan bunda? Lama sekali. Mey sudah rindu sama teman-teman."
Mey mulai merasa bosan dengan keadaannya yang keluar masuk rumah sakit. Kerap kali ia menangis kesakitan dan memanggil namaku ketika menjalani pengobatan.
“Bukannya hari ini teman Mey mau datang menjenguk Mey?”
Aku memang sengaja menghubungi orang tua teman-temannya agar memperbolehkan mereka mengunjungi Mey. Untung saja orang tua mereka mengijinkan.
“Iya bunda tapi Mey ingin sekolah dan bermain bersama teman yang lain,” rajuknya dengan memajukan bibir. Jika sedang merajuk seperti ini, ingatanku kembali ke masa kecil. Wajah Mey sama persis dengan Dika versi perempuan.
"Pasti Mey akan bermain dengan yang lainnya nanti ya. Sekarang Mey bermain di sini dulu."
Aku berusaha menghibur Mey, semua kulakukan untuk membuatnya senang. Hari ini Mey berkeinginan memakai gaun kuning kesayangannya.
“Mey ... Mey ...” Panggil suara anak-anak dari pintu. Mereka tampak senang melihat Mey.
“Nah itu teman Mey sudah datang. Sini silakan masuk," ucapku mempersilahkan masuk.
“Bunda tinggal dulu ya," pamitku keluar dan memberikan camilan untuk teman-teman Mey.
Betapa senangnya Mey bercanda dan berceloteh layaknya anak kecil yang kesepian. Aku meninggalkannya agar ia mempunyai waktu bersama teman-temannya.
****
“Lili, kamu mau ke mana?” tanya Dika yang sudah muncul di depanku.
“Aku mau ke taman sebentar. Kalau kamu mau menemui Mey nanti saja dulu. Dia bersama temannya sekarang,” selaku agar tidak menganggu Mey sebentar.
“Iya aku tahu. Aku yang mengantarkan mereka ke sini.” Andika tersenyum, ada rasa senang ketika ia mengatakannya.
“Kalau begitu aku ucapkan terima kasih," ucapku datar.
“Li, apa kau sudah menemui bundaku?”
“Iya tadi aku sudah menemuinya.” Jika mengingat itu masih ada rasa kesal.
“Boleh aku berbicara denganmu, Li?”
“Iya tapi bukan di sini. Aku takut Mey mendengar.”
“Baiklah aku akan menemuimu di taman sebentar lagi.”
Aku mengangguk sambil melangkah pergi.
“Apa yang ingin kau bicarakan padaku, Dika?” tanyaku setelah kami sampai di taman rumah sakit yang memang disediakan pihak rumah sakit.
“Li, aku minta maaf sebelumnnya jika bundaku sudah lancang berbicara seperti itu. Aku harap kau tidak menyimpannya dalam hati dan jangan kau dengarkan apapun yang bundaku katakan.”
“Tenanglah. Aku bisa mengatasinya.”
“Aku akan memberitahu Mey kalau kau adalah ayahnya. Aku tidak mau ada penyesalan di kemudian hari tapi aku tidak kapan aku akan memberitahukan kepadanya.”
Sebenarnya aku belum siap dan mampu menceritakan semua ini pada Mey. Apakah gadis kecilku akan memahaminya?
“Jika kau belum siap. Aku bersedia menunggu sampai kau mengatakan pada Mey siapa aku sebenarnya.”
“Mey adalah gadis kecil yang cerdas. Ia akan paham dengan apa yang kukatakan,” kataku pelan meski tak yakin sepenuhnya.
“Masalah pengobatan Mey akan kupertimbangkan lagi," lanjutku dan aku tak bisa menatap Andika. Tatapan matanya membuatku rindu padanya yang dulu.
“Jika kau sudah mengambil keputusan itu. Hubungilah aku."
Kami saling berdiam tanpa kata. Menatap rerumputan yang hijau.
“Baiklah aku harus ke kamar dulu," pamitku untuk menghindari rasa yang masih ada di hati.
“Li, masihkah kau ingat ketika kau pernah berkata padaku? Jika aku bukanlah sahabatmu apakah aku bisa mencintaimu?” tanya Dika saat aku hendak pergi.
“Iya aku masih mengingatnya? Lalu apa yang inginkan kau katakan?”
“Masihkah kau menyukaiku atau mencintaiku sama seperti yang dulu, Li?”
Aku terdiam mendengar pertanyaan Dika. Apakah perlu aku menjawabnya?
“Kau tak usah menjawabnya, Li.”
“Sampai kapanpun ... sampai kapanpun juga namamu tak akan pernah hilang dari hatiku, Dika. Tapi---"
“Tapi apa, Li?”
“Aku tahu kau akan lebih memilih Jessi seandainya ia masih hidup dan aku hanyalah bayanganmu saja,” jawabku sambil membelakangi Dika.
“Li, maafkanlah aku selama ini. Aku terlalu banyak menyakiti hatimu,” ucapnya dengan nada pelan.
“Aku sudah melupakan masalah itu dan memaafkanmu, Dika. Aku tidak mau masalah itu menjadi duri di dalam tubuhku.”
“Maukah kau menerimaku bukan sebagai sahabat melainkan seseorang yang kau cintai?”
“Jika itu ada alasannya aku tidak bisa, Dika. Aku tidak mau kau mencintaiku hanya karena kau merasa bersalah kepadaku.”
Aku hendak pergi tapi Dika merangkulku dari belakang. Sesuatu yang tak pernah ia lakukan padaku selama ini. Harum tubuhnya masih sama seperti dulu.
“Lepaskan aku, Dika!"
“Aku mohon, Li jangan pergi lagi dariku dan jangan kau acuhkan aku lagi. Aku merasa sedih saat kau perlakukan aku seperti itu.”
“Kumohon lepaskanlah tanganmu."
Semakin aku memohon semakin erat pelukan Dika. Aku tak bisa bergerak hanya bisa terdiam mendengar Dika berbicara.
“Aku mau kita kembali seperti dulu, Li. Aku mau belajar mencintai dirimu.”
“Kau tidak perlu belajar untuk mencintaiku, Dika. Yang aku butuhkan dari kamu sejak dulu adalah kamu tetap mencintaiku walau hanya sebatas sahabat saja. Itu lebih dari cukup buatku.”
“Aku tidak sanggup kehilanganmu lagi. Aku tidak mau menjadi Dika yang dulu.”
Suara lembut yang selalu aku rindukan. Kini kembali lagi tepat di belakangku.
“Kalau begitu kembali menjadi Dika yang dulu. Dika yang sebelum mengenal Jessi di dalam hidupnya.”
Dika melepaskan pelukannya dariku. Aku hanya bisa tersenyum. Aku sudah menduganya.
“Kenapa? Kau tidak bisa, bukan? Aku tahu didalam hatimu selalu ada Jessi. Aku memang egois untuk memerintahkanmu melupakannya tapi apakah aku tidak boleh ada di hatimu,” tangisku pelan. Jujur aku tak kuasa menahan tetesan air mata ini.
“Aku ... aku ...."
“Sudahlah Dika. Aku tak mau menjadi bagian dari masa lalumu. Aku tidak mau kau mencintaiku tapi kau tetap saja menganggapku bayangan Jessi. Aku tidak bisa. Aku juga seorang wanita yang akan terluka kalau disakiti.”
“Aku berusaha melupakannya tapi aku tak bisa. Bayangannya tak mau hilang dari hatiku,” sanggahnya.
“Bukan bayangan Jessi yang membuatmu seperti ini tapi dirimu sendiri yang tidak mau melepaskannya, Dika,” kataku sambil melangkah di tengah rintik hujan
Benar dugaanku, selamanya Andika tak pernah bisa melepaskan semua bayangan Jesi. Jadi biarlah aku yang mengalah lagi.
\=Bersambung\=