Tamparan, pukulan, serta hinaan sudah seperti makanan sehari-hari untuk Anita, namun tak sedikitpun ia mengeluh atas perlakuan sang suami.
Dituduh menggugurkan anak sendiri, membuat Arsenio gelap mata terhadap istrinya. Perlahan dia berubah sikap, siksaan demi siksaan Arsen lakukan demi membalas rasa sakit di hatinya.
Anita menerima dengan lapang dada, menganggap penyiksaan itu adalah sebuah bentuk cinta sang suami kepadanya.
Hingga akhirnya Anita mengetahui pengkhianatan Arsenio yang membuatnya memilih diam dan tak lagi mempedulikan sang suami.
Follow Instragramm : @iraurah
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon iraurah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Membantu Mu Sampai Akhir
Ketika ketukan pelan terdengar dari arah pintu, Anita dan Baim sama-sama menoleh. Pintu kemudian terbuka perlahan, dan sosok seorang wanita paruh baya melangkah masuk. Wajahnya terlihat letih namun tetap membawa aura kelembutan yang khas. Miranda, ibu mertua Anita, muncul seorang diri.
Begitu melihat sosok itu, tangis Anita seketika meledak lebih keras. Suaranya pecah menjerit, menggema di seluruh ruangan.
“Mamaaa…!” Anita merintih sambil berusaha bangkit sedikit dari posisi tidurnya, tangannya terulur ke arah Miranda.
Miranda tersentak kaget, langkahnya terhenti sesaat. Ia tidak menyangka akan disambut dengan jeritan pilu dari menantunya. Wajahnya langsung menegang, lalu tanpa banyak bertanya ia bergegas menghampiri ranjang Anita.
“Anita… Ada apa ini?” Miranda langsung duduk di tepi ranjang, memeluk tubuh Anita yang terguncang hebat. “Kenapa menangis seperti ini, sayang?”
Anita menggenggam erat lengan Miranda, seperti anak kecil yang baru saja terjatuh dan mencari pelukan ibunya. Tubuhnya masih gemetar, dan isak tangisnya terdengar makin menyayat.
“Mamaaa… kenapa… kenapa aku… aku mengalami ini, Ma? Hiks… Hiks…” isaknya, tak sanggup menyelesaikan kalimatnya.
Miranda mengerutkan kening, menoleh ke arah Baim yang berdiri di dekat ranjang. Dari sorot mata dan ekspresi yang tertahan itu, Miranda mulai menyusun potongan-potongan kemungkinan di kepalanya. Ia menatap Baim lebih lekat.
“Dokter Baim…” katanya pelan, penuh rasa ingin tahu. “Apakah… Anita sudah tahu?”
Baim menunduk perlahan, wajahnya menyiratkan perasaan bersalah. “Saya tidak bermaksud mendahului, Bu… Saya hanya… tidak tega melihatnya dibiarkan dalam ketidaktahuan.”
Miranda mengangguk perlahan, meskipun hatinya sedikit tercekat. Ia tidak menyalahkan Baim. Dalam kondisi seperti ini, siapa pun pasti tidak akan tega membiarkan Anita terus larut dalam penantian dan kebingungan. Terlebih, dia juga bingung bagaimana harus menyampaikan kabar kurang baik ini kepada sang menantu.
Ia kembali menatap Anita yang kini masih terisak dalam pelukannya.
“Sayang…” bisik Miranda lembut, “Kamu menangis karena itu?”
Anita mengangguk di antara tangisnya. “Kenapa, Ma…? Kenapa aku harus mengalami ini lagi…?” suaranya lirih namun sarat luka. “Ternyata aku tidak sedang hamil… Itu hanya jaringan… Tidak ada janin didalam perut ini... ”
Miranda menghela napas panjang. Matanya mulai berkaca-kaca. Ia membelai kepala Anita dengan penuh kasih sayang.
“Nak… Mama juga baru saja mengetahui dari Arsen,” ucap Miranda pelan. “Kami… sedang mencari waktu yang tepat untuk membicarakannya denganmu.”
Anita terisak lebih dalam lagi, kepalanya tertunduk di dada Miranda. “Kenapa tidak bilang saja langsung…? Apa karena kalian takut aku akan begini…? Atau karena Mas Arsen kecewa… dan memilih pergi…?”
Pertanyaan itu membuat Miranda terdiam sejenak. Ia menatap Anita dengan sorot mata yang sendu. Jelas bahwa hatinya pun terluka, namun ia tidak ingin luka itu memperburuk kondisi menantunya.
“Sayang…” katanya sambil menggenggam tangan Anita erat-erat, “Arsen tidak pergi karena kecewa. Dia hanya… butuh waktu untuk sendiri. Ia sedang menenangkan dirinya. Mencari udara segar…”
“Tapi kenapa dia tidak kembali, Ma?” suara Anita nyaris tak terdengar. “Sudah lama sekali…”
Miranda menatap ke arah jendela, seolah berharap menemukan sosok Arsen di kejauhan. Namun seperti sebelumnya, yang terlihat hanyalah bayangan samar yang berlalu.
“Anak itu sedang menyiapkan mentalnya,” jawab Miranda akhirnya. “Ia tidak ingin kamu melihatnya dalam keadaan lemah atau goyah.”
“Tapi Mama tahu, kan… dia pasti kecewa. Sama seperti aku yang kecewa dengan diriku sendiri… Aku bahkan tidak bisa mempertahankan kehidupan kecil itu… Aku gagal, Ma…”
Miranda segera mengangkat wajah Anita, menatapnya dengan sungguh-sungguh. “Jangan katakan itu. Kamu bukan gagal, Nak. Ini bukan kesalahanmu. Hamil anggur bisa terjadi pada siapa saja. Ini murni takdir, ujian dari Yang Maha Kuasa.”
“Tapi kenapa harus aku, Ma…” Anita menangis lagi, kali ini lebih lirih, lebih dalam. “Aku takut… takut Mas Arsen akan mulai menjauh...”
Miranda menatap menantunya dengan iba. “Kalian sudah melalui banyak hal bersama. Dan Mama tahu, Arsen mencintaimu lebih dari sekadar status sebagai istri. Cinta sejati diuji bukan saat semuanya baik-baik saja, tapi saat badai datang.”
Anita menunduk, memeluk dirinya sendiri. Air mata masih terus mengalir di pipinya.
“Aku hanya… ingin menjadi ibu… Ma. Itu saja. Aku ingin memberi cucu untuk Mama. Anak untuk Arsen. Untuk kami berdua…”
Miranda mengusap pipi Anita, membelai dengan lembut. “Kamu akan menjadi seorang ibu, sayang. Percayalah. Tapi untuk saat ini, kamu harus fokus pada kesembuhanmu. Prosedur pembersihan rahim harus segera dilakukan. Setelah itu, barulah kita pikirkan langkah berikutnya. Jangan buru-buru. Semua akan ada waktunya.”
Anita memejamkan mata, menahan gejolak yang kembali naik di dadanya. “Aku takut…”
“Semua orang pernah takut,” ujar Miranda lembut. “Tapi kita tidak boleh dikalahkan oleh rasa takut itu. Mama akan selalu ada di sini. Menemanimu. Dan begitu Arsen kembali… dia juga akan bersamamu.”
Baim yang sejak tadi berdiri dalam diam akhirnya membuka suara. Wajahnya menampakkan keseriusan dan empati yang dalam. Ia tahu, waktu bukan sekadar berlalu begitu saja dalam situasi seperti ini—setiap detik sangat berharga bagi pemulihan fisik maupun emosional Anita.
“Nyonya Miranda…” ujar Baim perlahan, namun tegas. “Saya mohon izin untuk segera melanjutkan proses medis yang diperlukan. Anita harus menjalani prosedur kuretase sesegera mungkin. Kami telah menyiapkan ruang tindakan, dan tim saya sudah bersiap.”
Miranda mengangguk pelan, meskipun bayangan kekhawatiran masih menyelimuti matanya. Ia menggenggam tangan Anita erat-erat, seolah ingin mentransfer kekuatan melalui sentuhan.
“Dokter Baim,” katanya penuh harap, “Saya sangat mempercayakan anak saya pada Anda. Tolong… bantu dia melewati ini sebaik mungkin. Dia sudah terlalu banyak terluka, saya tidak ingin ada lagi penderitaan yang menambah lukanya.”
Baim menatap Miranda dengan hormat, lalu menoleh ke arah Anita yang kini tampak lelah setelah luapan emosi yang tak tertahankan tadi. Namun meskipun wajahnya masih berlinang air mata, ada sedikit keteguhan dalam sorot matanya.
“Saya akan lakukan yang terbaik, Nyonya,” jawab Baim yakin. “Saya akan dampingi Anita dari awal hingga akhir. Semua tindakan akan dilakukan dengan sangat hati-hati.”
Ia lalu menunduk pelan ke arah Anita. “Anita, kaum tidak sendiri. Kamu dikelilingi oleh orang-orang yang mencintaimu. Ini memang sulit, tapi kita bisa lewati bersama. Setelah prosedur ini selesai, tubuhmu akan mulai pulih, dan dari sanalah kita bisa mulai menyusun kembali harapan.”
Anita menatap Baim sejenak, lalu mengangguk pelan. “Aku percaya padamu, Baim. Tolong bantu aku…”
“Dengan senang hati Anita,” jawab Baim. “Aku akan segera koordinasi dengan tim medis. Dan Nyonya.... Tolong sampaikan permintaan izin saya kepada Pak Arsen juga, bagaimana pun keputusan ada padanya”
"Tentu, dokter! Untuk hal itu biar saya yang urus"
apakah akan terus memaklumi sikap suaminya yg semau dia sendiri!! 🤨
dia hanya bisa sakitin Anita dan bakal respek ke Anita kalo bisa kasih keturunan.
padahal Anita wanita yang baik, meski berkarir pun ga pernah tuhhh lupa dengan kewajiban sebagai istri.
percayalah Arsen, belum tentu ada istri yang se Ter baik kayak Anita di luaran sana.
apalagi di bandingan Natasya dan adek loee, jauhhhh bangettt donk sen... tetep anitalah yg Ter Ter baik ...
kena mental gak yah sama ucapan baim "jangan tinggalkan anita lagi"...
biar terseret arus aja kau sekalian! 😤
biar Anita nanti dengan laki2 yg benar2 bisa mencintainya dan membahagiakan dia dengan sempurna dan tulus ikhlas...
gak Mudi an kaya kamu!! 🤨
Mudah tergoda juga!!
dan intinya kau Egois !!!!
Hanya memikirkan diri mu saja, tanpa memikirkan bagaimana perasaan pasangan mu!! 🤨😡
Biar Tau rasa kalau kau Jadi sama cewek manja macam itu!!! 😡🤨
atau.. skalian matre!!! biar habis harta mu yg kau kerja capek-capek!!!
dan yg paling penting, Cewek macam itu Gak akan bisa di andalkan!!! hanya bagus di Awal nya aja!!! karena itu cuma sekedar Pancingan aja bagi laki2 Plin plan kaya kamu 😝😏😏
dan di jebak pun pas banget lelaki pecundang. selamat kalian pasangan serasi, tapi ingatlah karma itu nyata.
Anita berhak bahagia tanpa di sisi Arsen.