“Hhmmm… wangi,” lirih seorang pria tua usai menceruk leher gadis yang ada di depannya.
Menatap lamat. Diam-diam mengagumi iras cantik mempesona milik gadis ranum tersebut. Tersenyum miring, sembari membayangkan hal indah yang selanjutnya akan ia lakukan ketika sudah berhasil membuat gadis itu sadar.
Membelai rambut. Ujung helai lurus itu kemudian di pilin, memainkannya. Tak lupa juga ikut ia endus, menikmati sensasi aroma segar yang menguar. Cukup menguji adrenalin, mendegupkan detak jantung dua kali lipat dari biasanya.
“Kau sangat cantik, Naira. Sudah sejak dulu aku menunggu saat-saat seperti ini bisa bersamamu.” Lelaki tua itu kembali berujar, lirih dengan suara serak, akibat tekanan batin yang kian membuncah. Tak sabar ingin melahap habis makan malamnya yang kali ini sudah ditunggu sejak lama.
Apa yang selanjutnya akan terjadi pada Naira? Penasaran ingin tahu cerita selengkapnya? Kalau begitu yuk ikuti segera kisahnya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon F A N A, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TMTK — BAG 27
Pria paruh baya yang sudah tampak keriput pada hampir seluruh wajahnya itu mengerling bukan pada Boy. Tapi Naira yang saat ini berada tepat disampingnya.
‘Mampyus!’ Naira berdecit dalam hati menggerutu diri sendiri. Wajahnya menunduk. Rautnya tampak kikuk tak berani membalas tatapan Halbert. Sangat menghunus, bahkan lebih tajam dari sorot mata Boy sendiri.
“Naira Mayora. Ia adalah istri sah ku. Kami menikah tepat satu jam yang lalu, dan sekarang ia telah resmi menjadi bagian dari keluarga kita.” Boy berujar. Terdengar enteng, padahal Naira sendiri sudah meremas ujung kebaya pengantinnya.
Jantungnya berdenyut kencang. Bukan hanya takut tidak mendapat restu. Tapi juga teriakan pengusira tidak pantas yang mungkin akan pria tua itu lontarkan padanya?
Mencoba mencairkan suasana. Atau mungkin ingin Naira tidak terlalu takut akan keadaan yang saat ini sedang ia hadapi? Boy menggenggam erat tangan Naira ditengah raut kebencian yang saat ini terukir pada wajah kakeknya.
Naira bisa melihat kecenderungan tidak suka itu meski wajahnya menunduk tak berani mendongak. Semakin risih dengan perlakuan Boy, serasa ingin lari saja. Tapi apa bisa?
Ketakutannya bukan hanya tentang dirinya. Tapi perkara hutang piutang yang sudah terlunaskan pada lintah darat desanya itu juga menjadi ketakutan sendiri bagi Naira. Tidak ingin ketakutannya menjadi masalah lain untuk Andi, yang mana hal tersebut pasti akan semakin membentang jarak antara ia dan Fatimah?
Ibu angkatnya itu pasti akan semakin membenci Naira. Merasa jika hidupnya semakin sulit hanya karena memelihara gadis muda yang menurutnya pembawa sial itu!
“Opa!” Suara lain menyapa. Cukup mencuri atensi bukan hanya bagi Naira, tapi juga Boy yang ada disampingnya.
Lelaki dewasa yang baru saja sah menjadi suaminya itu langsung angkat wajah menatap ke arah sumber suara. Yang tampak berlari riang menyambangi sang lelaki tua yang kini mulai mengendurkan kerutan dahi yang ia ciptakan.
“Chintya, cucu Opa.” Halbert merentangkan kedua tangannya. Menyambut kedatangan gadis muda yang barusan memanggilnya. Chintya, sepupu Boy. Bukan hanya sekedar wanita yang berharap dijodohkan dengannya. Tapi juga putri tiri dari Ayahnya.
Chintya menyambut uluran tangan Halbert. Lalu keduanya berpelukan. Tersenyum manis. Namun hanya sementara. Ketika kini maniknya tanpa sengaja teralihkan pada Naira yang berdiri tepat disamping Boy.
Memicingkan mata. Pelukan hangat itu lantas segera gadis muda itu lepaskan. Halbert menuruti. Lantas wanita muda itu mendekat ke arah Boy sambil terus menatap ke arah Naira yang berdiri disampingnya.
“Wanita ini… apakah ia adalah wanita yang sama waktu tempo hari aku ke rumahmu?” tanya Chintya tanpa tedeng aling-aling guna menjawab kegundahan serta rasa penasaran akan paras gadis yang tempo hari digagahi oleh Kakak sepupunya itu.
“Menurutmu?” Bukannya menjawab. Seutas senyum smirk Boy lontarkan menambah gundah gulana Chintya. Semakin mengerut. Lantas mencoba mengangkat satu tangan. Ingin dilayangkan pada wajah Naira. Namun segera ditangkis oleh Boy membela.
“Kenapa harus dengan kekerasan? Memangnya apa salahnya? Aku yang memilihnya, jadi seharusnya aku yang mendapatkannya. Istriku ini tidak tahu apa-apa. Ia hanya mengikuti kata hatinya memilihku sebagai pendampingnya,” ucap Boy.
Istri? Satu kalimat yang berhasil memancing adrenalin Chintya. Kalimat yang menandakan jika saat ini hubungan keduanya tidak biasa-biasa saja. Tapi jika benar-benar sudah serius seperti apa yang terlintas dibenaknya, bukankah seharusnya Chintya mengetahuinya?
“Kami menikah satu jam yang lalu. Jadi menurutku sudah seharusnya kau menyambutnya dengan jamuan yang baik, bukan kasar seperti ini,” tukas Boy dengan nada menekan. Yang sontak membuat sepupunya itu terlonjak di tempatnya!