'Ketika dunia menolak keberadaannya, Bumi sendiri memilih dia sebagai kaki tangannya'
---
Raka Adiputra hanyalah remaja yatim piatu yang lahir di tengah kerasnya jalanan Jakarta. Dihantam kemiskinan, ditelan ketidakadilan, dan diludahi oleh sistem yang rusak-hidupnya adalah potret kegagalan manusia.
Hingga suatu hari, petir menyambar tubuhnya dan suara purba dari inti bumi berbicara:
"Manusia telah menjadi parasit. Bersihkan mereka."
Dari anak jalanan yang tak dianggap, Raka berubah menjadi senjata kehancuran yang tak bisa dihentikan-algojo yang ditunjuk oleh planet itu sendiri untuk mengakhiri umat manusia.
Kini, kota demi kota menjadi medan perang. Tapi ini bukan tentang balas dendam semata. Ini tentang keadilan bagi planet yang telah mereka rusak.
Apakah Raka benar-benar pahlawan... atau awal dari akhir dunia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aziraa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 1: Kelahiran Seorang Algojo
Bau pesing gang sempit menempel di setiap helaan napas Raka Adiputra, lengket seperti kutukan yang tak kunjung lepas dari kulitnya yang kering dan mengelupas. Aroma itu bercampur dengan kepahitan asap kendaraan dan bau sampah yang membusuk di selokan, menciptakan simfoni nauseabunda yang telah menjadi soundtrack kehidupannya selama bertahun-tahun. Di usianya yang baru tujuh belas tahun, hidup Raka adalah serangkaian coretan kelabu di atas kanvas yang tak pernah mengenal warna cerah-bahkan tidak pernah mengenal abu-abu terang sekalipun.
Jakarta menyambut fajar dengan derit angkot tua dan klakson yang tak henti-henti, menciptakan kakaofoni yang memekakkan telinga. Bagi mereka yang beruntung, suara itu adalah lagu kemajuan, tanda kehidupan yang bergerak maju. Bagi Raka, itu tidak lebih dari ejekan keras dari kota yang telah menelannya hidup-hidup, mencerna setiap harapan yang pernah ia miliki, dan memuntahkan dirinya kembali ke jalanan sebagai sisa yang tak berguna.
Setiap pagi, Raka bangun dengan rasa lapar yang sama-bukan hanya lapar akan makanan, tapi lapar akan sesuatu yang bahkan tidak ia ketahui namanya. Mungkin keadilan. Mungkin cinta. Mungkin sekadar pengakuan bahwa ia ada, bahwa napasnya memiliki nilai. Matanya yang cekung selalu tertuju pada langit-langit kumuh kontrakannya yang bocor, menghitung tetesan air hujan yang jatuh tepat di atas kasur tipisnya. Setiap tetes adalah pengingat bahwa bahkan tempat berlindung pun bukan haknya.
Raka adalah pengamen jalanan di jantung Jakarta, Indonesia-sebuah kota yang gemerlap bagi sebagian orang, namun hanya menyisakan bayang-bayang kelam bagi dirinya. Ia bukan sekadar miskin; ia adalah manifestasi dari kemiskinan yang telah kehilangan martabat, kemiskinan yang tidak lagi berharap pada belas kasihan karena sudah terlalu sering diinjak-injak.
Tapi bukan hanya kemiskinan yang menjeratnya. Raka adalah definisi hidup dari teori probabilitas yang berjalan mundur-jika ada satu persen kemungkinan buruk terjadi, maka itulah yang akan menimpa dirinya. Jika ada kemungkinan sembilan puluh sembilan persen kebaikan datang, maka satu persen sisanya adalah bagiannya. Seolah semesta punya agenda pribadi untuk membuatnya menderita dua kali lipat dari orang lain, bahkan tiga kali lipat jika kebetulan dewa-dewa sedang bosan.
Ibunya, Sari, meninggal karena penyakit langka yang tak terdiagnosis dengan benar-bukan karena dokter tidak kompeten, tapi karena mereka tidak punya uang untuk rumah sakit yang layak. Raka masih ingat bagaimana ibunya batuk darah di malam-malam terakhir, matanya yang sayu menatap kosong ke arah jendela seolah mencari sesuatu yang tak akan pernah datang. "Maafkan mama, Nak," bisiknya dengan suara serak sebelum napasnya terhenti untuk selamanya. Ayahnya, Budi, menyusul setahun kemudian karena kecelakaan kerja yang aneh-scaffolding roboh bukan karena angin kencang atau kesalahan teknis, tapi karena kontraktor menggunakan material murahan dan menyuap inspektur keselamatan. Dua puluh pekerja selamat. Hanya ayah Raka yang terjebak di bawah reruntuhan, seolah gravitasi memiliki dendam pribadi terhadap keluarganya.
Setiap kali Raka mencoba bangkit, selalu ada saja batu sandungan yang muncul dari ketiadaan. Hasil mengamennya dirampok preman lokal yang merasa perlu "pajak keamanan" dari bocah yatim piatu. Gerobak sate bekas yang ia beli dengan tabungan tiga bulan-mata pencarian terakhirnya untuk keluar dari jalanan-disita petugas karena tidak punya izin yang harganya sepuluh kali lipat dari harga gerobaknya. Bahkan hujan badai seperti memiliki sensor khusus untuk mendeteksi kapan Raka mulai mengumpulkan kerumunan penonton yang berpotensi memberi uang.
Raka adalah yatim piatu dalam artian yang paling harfiah dan kejam-tanpa kerabat yang peduli, tanpa tetangga yang pernah menanyakan kabarnya, tanpa sosok yang pernah mengulurkan tangan tanpa pamrih. Paman dan bibinya menghilang setelah pemakaman orang tuanya, seolah kemalangan adalah penyakit menular yang harus dihindari. Ia tak pernah tahu apa itu kebaikan; dalam kamus hidupnya, kata itu sudah dihapus sejak lama dan diganti dengan sinonim-sinonim kekejaman: acuh tak acuh, cemooh, eksploitasi, dan pengkhianatan.
Siang itu, awan-awan hitam pekat menggantung rendah di atas ibu kota seperti kain kafan raksasa, mencerminkan isi hati Raka yang telah membusuk dan menghitam. Udara terasa berat dan lembap, mengancam badai yang akan datang. Setiap orang di sekitarnya bergegas mencari perlindungan, tapi Raka malah berharap hujan deras akan datang dan menyapu bersih seluruh kota berikut penghuninya yang menjijikkan.
Raka baru saja selesai mengamen di depan sebuah kafe bergengsi di kawasan Menteng, suaranya serak karena terlalu lama berteriak melawan kebisingan kota, petikan gitarnya sumbang karena senar yang sudah terlalu lama tidak diganti. Gitarnya sendiri adalah hadiah terakhir dari ayahnya-sebuah gitar klasik tua yang cat hitamnya mengelupas, dengan ukiran nama "Raka" di bagian belakang yang kini hampir tak terbaca.
Beberapa remaja seusianya, dengan pakaian rapi bermerek dan tawa renyah yang terdengar seperti lonceng kristal, melintas di depannya. Mereka melemparkan koin receh dengan ekspresi jijik, seolah sedang memberi makan hewan peliharaan yang menjijikkan. Salah satu dari mereka, seorang perempuan berambut lurus dengan tas bermerek yang harganya bisa memberi makan Raka selama sebulan, berbisik kepada temannya cukup keras agar Raka bisa mendengar: "Kasihan sih, tapi kok ya gak berusaha cari kerja yang bener?"
Mata mereka, yang penuh dengan privilese dan tanpa beban, adalah bara api yang menyulut kemarahan di dada Raka. Mereka melihatnya bukan sebagai manusia, tapi sebagai pemandangan tidak sedap yang perlu ditoleransi karena tuntutan moral yang superfisial. "Sampah," bisiknya pada diri sendiri, menggerutu pada mereka, pada dirinya sendiri, pada seluruh umat manusia yang menurutnya hanyalah parasit yang merusak segalanya yang mereka sentuh.
Ia meninggalkan kafe itu dengan langkah gontai, membawa gitar di punggungnya dan kantong koin yang berbunyi menyedihkan. Hujan mulai turun rintik-rintik, membasahi wajahnya yang kurus dan membuatnya semakin mirip mayat hidup. Tetesan air hujan bercampur dengan keringat dan debu jalanan, menciptakan garis-garis kotor di pipinya yang cekung.
Di bawah jembatan layang yang bobrok di kawasan Tanah Abang, di antara tiang-tiang beton berlumut dan coretan grafiti yang sebagian besar berisi kata-kata kasar dan gambar cabul, Raka menemukan sudut yang biasa ia gunakan untuk berteduh. Tempat itu adalah rumah bagi para gelandangan, pecandu, dan orang-orang yang telah dibuang oleh masyarakat. Aroma got dan sampah yang membusuk adalah teman setianya, dicampur dengan bau urine dan muntahan yang sudah mengendap bertahun-tahun di beton.
Raka meringkuk di sudutnya, memeluk gitarnya seperti anak kecil memeluk boneka. Di sekelilingnya, beberapa gelandangan lain sibuk dengan dunia mereka masing-masing-ada yang mabuk, ada yang menggunakan obat-obatan terlarang, ada yang sekadar menatap kosong ke kejauhan. Tidak ada yang berbicara satu sama lain; mereka adalah kumpulan jiwa yang terluka, berkumpul karena keputusasaan, bukan karena persahabatan.
Hujan semakin deras, mengguyur kota dengan murka yang tak terkendali. Air hujan yang jatuh melalui celah-celah jembatan menciptakan genangan kotor di sekitar mereka. Kilatan cahaya membelah langit seperti cambuk raksasa, diikuti guntur yang memekakkan telinga dan membuat beberapa gelandangan tersentak dari lamunan panjang mereka.
Raka memejamkan mata, mendengarkan simfoni badai yang mengamuk di atas kepalanya. Dalam pikirannya, ia berharap badai ini cukup kuat untuk melenyapkan segalanya-kota yang kejam ini, manusia-manusia brengsek yang menghuninya, dan terutama dirinya sendiri yang sudah tidak tahan lagi menjalani hidup yang tak bermakna ini. Ia membayangkan air bah yang menyapu Jakarta, membawa semua kemunafikan dan kekejaman ke laut, meninggalkan tanah kosong yang bersih untuk memulai dari awal.
"Kenapa gue harus terus hidup?" bisiknya pada angin badai. "Untuk apa? Buat ngamen sampai tua terus mati di kolong jembatan kayak tikus got?"
Tidak ada jawaban, kecuali suara guntur yang semakin keras. Langit seperti sedang marah, dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Raka merasa ada yang memahami kemarahannya.
Dan kemudian, itu terjadi.
Bukan sambaran petir di kejauhan yang bisa dilihat dari tempat aman. Bukan suara guntur yang memekakkan dari jarak yang aman. Melainkan kilat putih kebiruan yang turun seperti tombak langit, menyambar tepat di atas kepalanya dengan presisi yang mengerikan, seolah alam semesta akhirnya memutuskan untuk mengakhiri penderitaannya dengan cara yang dramatis.
Detik itu terasa seperti keabadian. Raka merasakan sengatan yang luar biasa, setiap saraf di tubuhnya menyala seperti kabel listrik yang terbakar. Tapi anehnya, bukan rasa sakit yang membakar seperti yang seharusnya ia rasakan-melainkan gelombang energi murni yang membanjiri setiap selnya, mengalir melalui pembuluh darah dan sumsum tulangnya seperti lava yang dingin.
Tubuhnya menegang dengan kejang yang tak terkendali, otot-ototnya mengembang dan berkontraksi dengan kekuatan yang tak pernah ia miliki. Sensasi dingin yang membekukan merayapi tulangnya, diikuti oleh panas yang membakar tetapi tidak menyakitkan. Ia merasakan setiap atom di tubuhnya bergetar pada frekuensi yang berbeda, seolah ia sedang berubah menjadi sesuatu yang lain pada tingkat molekuler.
Yang paling aneh adalah ia bisa merasakan semuanya dengan kejernihan yang menakutkan. Ia sadar sepenuhnya saat tubuhnya berubah, saat DNA-nya ditulis ulang oleh energi kosmik yang tak terpahami. Ia bisa merasakan jantungnya berhenti berdetak selama beberapa detik, kemudian berdetak kembali dengan ritme yang berbeda, lebih kuat, lebih dalam. Paru-parunya berhenti bernapas, kemudian mengembang dengan kapasitas yang jauh lebih besar.
Dia tidak terbakar menjadi abu seperti yang seharusnya terjadi pada manusia yang tersambar petir. Dia tidak mati seperti yang ia harapkan. Dia merasa... hidup, lebih hidup dari sebelumnya, seolah selama tujuh belas tahun ini ia hanya setengah ada.
Saat tubuhnya perlahan kembali rileks, Raka merasakan otaknya bekerja dengan kecepatan yang belum pernah ia alami. Setiap sinaps menyala dengan efisiensi sempurna, setiap neuron terkoneksi dengan jalur-jalur baru yang memungkinkan pemrosesan informasi dengan kecepatan super-komputer. Indra-indranya tidak hanya tajam-mereka telah berevolusi menjadi sesuatu yang melampaui batas manusia normal.
Ia bisa mendengar tetesan air dari jarak puluhan meter, bahkan bisa membedakan suara setiap tetes yang jatuh dari berbagai bagian jembatan. Ia bisa mencium bau tanah basah yang bersih di balik aroma busuk lingkungan sekitarnya, bahkan bisa mencium pheromone ketakutan dari gelandangan lain yang menyaksikan kejadian supernatural ini. Matanya bisa melihat setiap retakan di beton jembatan, setiap detail tekstur yang sebelumnya tak kasat mata, bahkan bisa melihat spektrum cahaya yang tidak terlihat oleh mata manusia normal.
Tapi bukan peningkatan fisik yang paling mencolok. Di dalam benaknya, sebuah suara asing dan dingin mulai bergema-bukan bisikan manusia yang lembut atau kasar, melainkan resonansi yang dalam dan primordial, seolah berasal dari inti bumi itu sendiri, dari magma yang mendidih ribuan kilometer di bawah kakinya.
Suara itu bergetar dengan kekuatan geologis, seperti pergeseran lempeng tektonik yang diterjemahkan menjadi kata-kata. Setiap suku kata bergetaran di dalam tengkoraknya, menciptakan sensasi fisik yang hampir tak tertahankan namun sekaligus memabukkan.
"Manusia..." suara itu dimulai, dan kata tunggal itu membawa bobot ribuan tahun kemarahan. "Manusia telah meracuni urat nadiku dengan limbah mereka, mencekik paru-paruku dengan asap beracun, dan mengeringkan air mataku dengan keserakahan yang tak berujung."
Raka merasakan visi-visi aneh berkilat di benaknya-hutan-hutan yang dulunya hijau kini menjadi padang tandus, sungai-sungai yang dulunya jernih kini hitam pekat, langit yang dulunya biru kini keabu-abuan oleh polusi. Ia melihat spesies-spesies punah satu per satu, melihat es kutub mencair, melihat samudra yang naik dan menelan pulau-pulau kecil.
"Selama milenium, aku telah bersabar," suara itu melanjutkan, semakin keras dan semakin marah. "Aku telah membiarkan mereka hidup di atas kulitku, bernapas di atmosferku, minum dari mata airku. Tapi mereka membalas kebaikanku dengan kehancuran. Mereka adalah virus yang harus dihapuskan."
Kemudian suara itu berubah, menjadi lebih personal, lebih menusuk: "Aku telah memilihmu, Raka Adiputra. Dari miliaran manusia di planet ini, aku memilihmu. Bukan karena kau istimewa, tapi karena kau telah merasakan penderitaan tak terperi karena ulah mereka. Kau telah merasakan bagaimana rasanya diinjak-injak, diabaikan, dan dibuang seperti sampah. Kau tahu betul bagaimana kejamnya spesies yang disebut homo sapiens ini."
Raka mendengarkan dengan campuran ketakutan dan kelegaan. Akhirnya, ada sesuatu-atau seseorang-yang memahami penderitaannya. Ada yang mengakui bahwa hidupnya memang telah diperlakukan dengan tidak adil.
"Kau akan menjadi tangan kananku," suara itu menyatakan dengan finality yang tak terbantahkan. "Kau akan menjadi algojo-ku. Singkirkan manusia dari muka bumi ini, bersihkan planet dari parasit-parasit ini, dan biarkan aku bernapas kembali. Biarkan aku sembuh dari luka-luka yang mereka torehkan selama ribuan tahun."
Visi-visi lain muncul di benaknya-kota-kota yang runtuh, manusia-manusia yang berlari ketakutan, alam yang perlahan pulih dari kerusakan yang telah ditimbulkan. Dan di tengah kehancuran itu, dirinya berdiri sebagai eksekutor keadilan kosmik, sebagai pembersih yang akan mengembalikan keseimbangan alam.
Raka terdiam lama, mencerna kata-kata itu sambil merasakan kekuatan baru yang mengalir di dalam dirinya. Seumur hidupnya, ia hanya mengenal derita dan kekejaman yang diciptakan oleh manusia. Tidak ada satu pun memori positif tentang kebaikan manusia yang bisa ia ingat. Setiap interaksi dengan sesama manusia selalu berakhir dengan dirinya yang terluka, tertipu, atau dipermalukan.
Tak ada satu pun alasan untuk menolak perintah ini. Bahkan jika ada, kekuatan yang kini mengalir dalam tubuhnya membuat setiap keraguan menjadi tidak relevan. Justru, bisikan itu terasa seperti pembenaran mutlak atas segala kemarahan yang telah menumpuk di dadanya selama bertahun-tahun. Pembenaran atas nihilisme yang ia pegang teguh, atas kebenciannya terhadap dunia yang telah memperlakukannya dengan sangat buruk.
Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Raka merasa memiliki tujuan. Untuk pertama kalinya, ia merasa kuat. Untuk pertama kalinya, ia tidak sendirian.
Tanpa belas kasihan, tanpa keraguan, tanpa penyesalan atas masa depan yang akan ia ciptakan, sebuah senyum tipis terukir di bibir Raka. Senyum itu bukan ekspresi kebahagiaan-itu adalah senyum seorang predator yang baru saja menemukan mangsa, senyum seorang hakim yang baru saja memutuskan hukuman mati massal.
Kekuatan yang mengalir dalam dirinya terasa seperti pahala atas penderitaan yang ia alami selama ini. Seperti kompensasi alam semesta yang sangat terlambat, tapi akhirnya datang juga. Dan bisikan dari kehendak Bumi itu... bisikan itu adalah janji balas dendam yang telah ia tunggu-tunggu tanpa sadar sejak orang tuanya meninggal.
Bukan hanya balas dendam untuk dirinya sendiri, tapi untuk planet yang juga menderita karena ulah manusia. Sebuah tujuan baru telah lahir dari penderitaan yang berkepanjangan. Sebuah algojo telah diangkat oleh kekuatan yang jauh lebih besar dari ego manusia biasa.
Hujan masih turun deras, tapi kini Raka tidak lagi meringkuk ketakutan. Ia berdiri tegak, membiarkan air hujan membasahi tubuhnya yang telah berubah, merasakan setiap tetes sebagai baptisan untuk kehidupan barunya.
Jakarta masih gemerlap di kejauhan, tidak menyadari bahwa ancaman terbesar dalam sejarah umat manusia baru saja lahir di kolong jembatan kumuh di antara para gelandangan dan pecandu. Kota itu masih bernapas dengan ritme yang sama, tidak menyadari bahwa napas-napas itu sudah dihitung dan akan segera berakhir.
Raka Adiputra, si yatim piatu yang dulu hanya berharap bisa makan kenyang, kini telah menjadi sesuatu yang jauh lebih mengerikan: perwujudan kemarahan Bumi itu sendiri, algojo yang akan membawa kiamat bagi spesiesnya sendiri.
Dan yang paling mengerikan adalah: ia merasa bahagia untuk pertama kalinya dalam hidupnya.