PENDEKAR Mabuk memiliki nama asli Suto Wijaya Kusuma dan dia adalah seorang pendekar pembela kebenaran dan menumpas kejahatan. Perjalanan nya dalam petualangannya itu banyak menghadapi tantangan dan rintangan yang sering kali membuat nyawa nya terancam. Namun pendekar gagah dan tampan itu selalu punya solusi dalam menghadapi permasalahan tersebut.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ikko Suwais, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PART 22
KINI Setelah Suto Sinting mengobati Karina, menyegarkan kembali tubuh Santana dengan tuaknva. bahkan Dianti akhirnya mau meminum tuak itu walau terbatuk-batuk tapi menjadi sehat kembali, mereka segera menuju ke Lembah Seram. Karina sempat melirik sinis kepada Dianti, karena diam-diam Karina
menaruh simpati kepada Pendekar Mabuk. Namun la tak mau dinilai sebagai gadis murahan, sehingga rasa simpatinya itu tak diwujudkan dalam kata, dan ia berusaha agar kelihatan biasa-biasa saja terhadap Pendekar Mabuk.
"Semula aku ingin pulang sebentar, memberitahu guru bahwa aku ada di pondok Ki Kusir Hantu. Tapi di perjalanan aku kepergok si Jahanam Tua dan la ingin membunuhku dengan alasan yang dari dulu tak pernah kuketahui," ujar Karina.
Santana menimpali,
"Perasaanku tak enak ketika kau pergi, maka aku segera menyusulmu. ternyata benar juga, nyawamu hampir saja dicabut seenaknya oleh si Jahanam Tua tadi. Aku tak bisa biarkan hal itu. Lebih baik dia cabut dulu nyawaku baru cabut nyawamu. Tapi lebih baik lagi kalau nyawa kita tidak perlu dicabut-cabut olehnya, seperti sekarang ini."
"Sebuah pembelaan yang perlu mendapat penghargaan istimewa, seharusnya!" ujar Suto Sinting sambil melirik Karina yang ada di sebelah kirinya dan Dianti ada di sebelah kanannya.
Karina yang dilirik hanya mencibir angkuh tanpa komentar apa
pun. Kedatangan mereka ke Lembah Seram disambut oleh wajah mendung si Pematang Hati dan Mahligai Sukma. Sekalipun si Kusir Hantu kaget melihat Suto Sinting membawa Dianti Anggraini, tapi justru kehadiran gadis itu yang membuat kedua cucu Kusir Hantu bersikap ketus dan dingin kepada Pendekar
Mabuk. Ternyata si Kusir Hantu mengenal siapa Dianti
Anggraini itu.
"Kalau tak salah kau adalah cucu dari Ki Ageng Marning?!"
"Betul. Aku memang cucunya Ki Ageng Marning dari Kadipaten Buranang," jawab Dianti.
"Ooo, rupanya kau kenal dengan kakeknya Dianti, Ki Pujasera?" ujar Suto yang sesekali gemar memanggil nama asli si Kusir Hantu.
"Aku kenal baik dengan kakeknya Dianti. Pepatah mengatakan; 'karena nila setitik rusak susu keduanya', artinya, perbuatan jelek sedikit akan menghapus seluruh jasa baik kita. Maka aku tak pernah lakukan perbuatan jelek sedikit pun terhadap Ki Ageng Marning, sehingga kedua susunya tak sempat rusak!" ujar si Kusir Hantu yang gemar bermain peribahasa dan pepatah yang kadang tidak ada hubungannya sama sekali dengan yang dibicarakan.
"Apa hebatnya orang yang bernama Ki Ageng Marning itu? Kurasa dengan imu yang dimiliki kakek masih hebat kakek," ujar Pematang Hati kepada adiknya; Mahligai Sukma. Kata-kata itu sengaja agak keras supaya didengar oleh Dianti. Tapi ucapan itu tidak membuat Dianti berpaling kepada Pematang Hati. Dianti sibuk bercerita tentang keadaan kakeknya pada saat-saat sekarang. Justru Suto Sinting yang memandang ke arah Pematang Hati dengan hati kesal. Sedangkan Tenda Biru masih diam di pojokan mendengarkan percakapan tersebut bersama Panji Klobot.
Di sisi kanannya tampak Karina sedang berkasak-kusuk dengan Santana. Pendekar Mabuk membawa keluar Pematang Hati. Lalu ketika tiba di bawah pohon samping rumah, Pendekar Mabuk menggeram jengkel dalam ucapannya.
"Kau kelewatan! Mengapa kau bersikap seburuk itu terhadap Dianti?! Kelihatannya kau tak suka kalau aku datang kemari, ya?!" Pematang Hati cemberut, memandang ke arah lain sambil bicara dengan nada seperti orang menggerutu.
"Setiap kali kau ke sini selalu membawa gadis baru! Kau pikir rumah kakekku ini tempat penampungan para gundikmu?!"
"Husy! Tak baik bicara dan beranggapan begitu, Pematang Hati!" sergah Suto Sinting sambil memutar tubuh si gadis berbaju hijau lengan pendek dengan krah kaku.
"Mengapa aku tak boleh beranggapan begitu jika kenyataannya memang begitu?!" debat Pematang Hati yang kini berhadapan dengan Suto Sinting. Lanjutnya lagi,
"Kau datang bersama Panji Klobot dan Tenda Biru yang ternyata juga naksir dirimu. Aku diam saja, dan kucoba untuk bersahabat saja dengan mereka, sampai akhirnya aku dan dia seperti saudara sendiri. Lalu kau datang lagi bersama Santana dan Ka-
rina. Aku tak tahu Karina naksir dirimu atau kau yang naksir dia. Sekarang kau datang lagi bersama Dianti yang manja sekali padamu itu! Sementara aku di sini sudah lama tak pernah kau hiraukan lagi. Kau sibuk mengumpulkan gadis-gadis cantik dan ditampung di sini, lalu mau diapakan mereka, hah? Mau dibung-
kus daun satu persatu dan dijadikan pepes campur daun kemangi?!" Pendekar Mabuk geli sendiri mendengar omelan si cantik bermata bundar itu, Suto mencoba memahami kejengkelan hati Pematang Hati.
Mungkin karena ia tak pernah memberikan perhatian kepada
gadis itu, sedangkan si gadis sangat mengharapkan perhatian dari Suto, maka hati pun menjadi muak melihat Suto selalu datang dengan membawa gadis lain. Pendekar Mabuk segera tertawa seperti orang menggumam. Tangannya merangkul Pematang Hati dari samping. la mengajak gadis itu melangkah, tanpa sadar arah mereka ke pohon rindang berdahan rendah yang ada di belakang rumah.
"Seharusnya kau berpandangan lebih luas lagi dan jangan mempunyai dugaan-dugaan buruk tentang mereka, Pematang Hati. Mereka kubawa kemari karena beberapa urusan penting yang menurutku dapat diatasi oleh kakekmu."
"Dan siapa yang mengatasi urusan hatiku Inl?!"
"Urusan hati yang bagaimana?!" sambil Suto hentikan langkah dan memegangi kedua pundak Pematang Hati dengan wajah saling beradu pandang.
"Katakan, urusan hati yang bagaimana?"
"Kau tak pernah berpikir bahwa aku rindu padamu, ingin bicara, ingin bercanda dan sebagainya! Kau... kau sudah tak punya perasaan manis lagi seperti dulu saat kita berjumpal" makin lama suara Pematang Hati semakin parau. Rupanya gadis itu menangis karena jengkel nenahan rindu terlalu lama.
"Pematang Hati, aku masih memperhatikan dirimu...."
"Mana buktinya?!" potong Pematang Hatl dengan tangis kian nyata,
"Selama ini kau slbuk dengan urusanmu, pulang-pulang membawa gadis baru! Apakah itu bukti kau memperhatikan diriku?! Kapan kau mengajakku bercanda? Kapan kau mengajakku jalan-jalan? Kapan kau melibatkan diriku untuk membantu urusanmu? Tidak pernah, Suto! Semua Itu tidak pernah! Padahal aku sangat berharap mendapatkan hal itu darimu! Kau suruh aku diam di rumah, menjaga kakek, aku sudah menurut! Tapi kau tidak memberikan pujian terhadap sikap baikku itu! Kau justru bersikap tak peduli lagi padak!"
"Pematang Hati!" sergah Pendekar Mabuk.
"Aku benci padamu, Suto! Aku benci padamu! Benci, benci, bencil..." sambil Pematang Hati memukul-mukul dada Suto.
Dada bidang itu dianggap beduk yang dipukul dengan pukulan seorang gadis lugu, bukan pukulan bertenaga dalam. Pendekar Mabuk akhirnya meraih gadis itu dalam pelukan, mendekapnya kuat-kuat sambil membenamkan wajah cantik itu ke dadanya, untuk meredam suara tangis si gadis agar tak didengar oleh pihak mana pun; baik golongan putih maupun golongan hitam.
......*......
...* *...
☺🙏💪
mampir yaaa