Dikhianati oleh dua orang yang paling ia percayai—tunangannya dan adiknya sendiri—Aluna Kirana kehilangan semua alasan untuk tetap hidup. Di tengah malam yang basah oleh hujan dan luka yang tak bisa diseka, ia berdiri di tepi jembatan sungai, siap menyerahkan segalanya pada arus yang tak berperasaan.
Namun takdir punya rencana lain.
Zayyan Raksa Pradipta, seorang pemadam kebakaran muda yang dikenal pemberani, tak sengaja melintasi jembatan itu saat melihat sosok wanita yang hendak melompat. Di tengah deras hujan dan desakan waktu, ia menyelamatkan Aluna—bukan hanya dari maut, tapi dari kehancuran dirinya sendiri.
Pertemuan mereka menjadi awal dari kisah yang tak pernah mereka bayangkan. Dua jiwa yang sama-sama terbakar luka, saling menemukan arti hidup di tengah kepedihan. Zayyan, yang menyimpan rahasia besar dari masa lalunya, mulai membuka hati. Sedangkan Aluna, perlahan belajar berdiri kembali—bukan karena cinta, tapi karena seseorang yang mengajarkannya bahwa ia pantas dicintai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sylvia Rosyta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16
Zayyan terdiam. Untuk beberapa detik yang panjang, ia tidak menjawab. Pikirannya seperti dikerumuni riuh suara api, dentuman baja runtuh, dan jeritan yang tak pernah bisa ia selamatkan. Dilema menyergapnya—haruskah ia membuka luka yang sudah dikubur dalam-dalam? Ataukah terus menjadi tahanan dari masa lalu yang bahkan belum sempat ia tangisi dengan tuntas?
Namun tatapan mata Aluna yang jernih dan tak menuntut itu, justru membuat pertahanannya runtuh sedikit demi sedikit.
"Alya adalah seseorang yang sangat aku cintai," Zayyan akhirnya mulai bercerita, suaranya serak namun tenang, seperti mencoba menata batu-batu tajam dari kenangan agar tak melukainya lagi. "Dia bukan hanya pacarku. Dia adalah bagian dari hidupku. Seseorang yang membuatku merasa hidup, ketika seluruh dunia seperti panggung pura-pura buatku."
Aluna tidak menyela. Ia hanya mendengarkan. Mendengarkan dengan cara yang paling menyembuhkan: tanpa menghakimi.
"Orang tuaku... mereka tidak menyukai Alya. Menurut mereka, dia tidak cukup baik untukku. Alya bukan dari keluarga yang punya nama. Bukan dari lingkaran elit. Tapi aku mencintainya, Aluna. Dengan seluruh bagian dari diriku. Kami ingin pergi, ingin hidup dengan cara kami sendiri, tapi sebelum itu sempat terjadi... mereka... mereka menghancurkan semuanya."
Napas Zayyan bergetar. Matanya mulai berkaca-kaca.
"Mereka membakar tempat tinggal Alya. Entah menyuruh siapa. Semua agar aku jera dan menyerah dalam hubunganku dengan Alya. Tapi mereka tidak tahu, aku tidak akan begitu saja meninggalkan seseorang yang aku cintai. Alya terjebak dalam kebakaran itu. Saat aku datang... aku mencoba masuk... aku..." suara Zayyan pecah, tangannya mencengkeram lengan bajunya sendiri. "Aku tidak cukup cepat. Aku tidak bisa menyelamatkannya."
Air mata jatuh. Bukan hanya dari Zayyan. Tapi juga dari Aluna, yang membayangkan rasa sakit itu. Membayangkan bagaimana luka yang dalam itu ditutup paksa selama bertahun-tahun.
"Sejak hari itu aku meninggalkan rumah. Aku tak ingin menjadi pewaris apa pun. Aku memilih jadi pemadam kebakaran... bukan karena aku ingin menjadi pahlawan. Tapi karena aku ingin menebus. Menebus nyawa yang tak sempat aku selamatkan. Setiap kali aku menolong seseorang dari api, aku merasa... mungkin aku sedang menyelamatkan Alya."
Suara Zayyan melemah. Kepalanya menunduk dalam, dan untuk sesaat, ruangan itu dipenuhi dengan aroma duka yang membeku.
Aluna menggenggam tangan Zayyan lebih erat. Ia tidak berkata apa-apa. Tapi pelukannya lewat genggaman itu cukup membuat Zayyan merasa tidak sendiri.
"Terima kasih..." Zayyan berbisik pelan. "Sudah tetap di sini. Meski aku bukan orang yang utuh."
Aluna menggeleng pelan. "Mungkin tidak ada manusia yang benar-benar utuh, Zayyan. Tapi itu bukan alasan untuk merasa tak layak dicintai."
Dan pagi pun mulai mengintip dari balik tirai jendela. Aluna akhirnya bangkit dan membuatkan teh hangat untuk Zayyan, sementara Zayyan, yang kini terasa sedikit lebih ringan setelah berbicara dari hati ke hati dengan Aluna, memandang ke arah Aluna dengan cara yang berbeda—seperti seseorang yang akhirnya bisa bernapas di tengah reruntuhan. Seperti seseorang yang, mungkin, mulai melihat harapan baru dari luka lama yang perlahan ia buka.
Dan Zayyan merasa bersyukur, disaat keterpurukannya seperti ini ia masih bisa memiliki seseorang yang bisa menjadi tempatnya untuk mencurahkan semua perasaan dan juga luka yang selama ini ia pendam dan bawa sendirian.
itu sakitnya double
bdw tetap semangat/Determined//Determined//Determined//Determined/