Niat hati hanya ingin menolong seorang pria yang baru saja mengalami kecelakaan motor tunggal di jalanan, namun keadaan itu malah dimanfaatkan oleh seorang wanita yang tidak bertanggung jawab.
Alana dipaksa menikah hari itu juga oleh segerombolan orang-orang yang menangkap basah dirinya bersama seorang pria di sebuah kontrakan. Alana tidak dapat membela diri karena seorang wanita berhasil memprovokasi massa yang sudah berdatangan.
Bagaimanakah cara Alana menghadapi situasi ini?
Bisakah dia mengelak atau malah terpaksa menikah dengan pria itu? Pria yang tidak dia kenal sama sekali.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kopii Hitam, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27.
"A-azzam... Aakhh..."
Alana mende*sah beberapa kali saat Azzam menciumi ceruk lehernya. Tidak hanya mencium, Azzam bahkan menjilat dan menggigitnya sesekali.
Azzam tidak bisa membendung hasrat yang sudah menggelora di jiwanya. Sentuhan tangan Alana membuat spaningnya naik drastis, bahkan tangannya sudah menjalar menelusuri lekuk tubuh istrinya itu, deru nafasnya kian memburu.
"Mmm... Yah..." erang Azzam sembari memicingkan mata, dia sangat menikmati sentuhan tangan Alana yang tengah mengurut tongkat miliknya.
Sebenarnya Alana tidak mau melakukan ini, tapi dia juga tidak bisa menolak. Dia tidak ingin Azzam salah paham seperti tadi, terpaksa Alana membuang rasa malu yang sudah memuncak.
Alana ingin sekali mendorong Azzam, tapi lagi-lagi dia tidak mungkin melakukannya.
Alana hanya bisa pasrah saat bibir Azzam mendarat di bibirnya, pria itu mengulumnya bak permen dan melu*matnya dengan rakus sembari mencengkeram tengkuk Alana agar tidak lari darinya.
Azzam semakin menggila saat ari-arinya terasa ngilu, tongkat miliknya menginginkan lebih tapi dia tidak berani menyuarakannya.
Azzam semakin memperdalam ciumannya, dia mengesap lidah Alana dan membelitnya di dalam rongga mulut istrinya itu.
"Aakhh..." de*sah Alana, dia merasa sesak.
Meskipun begitu, Alana sama sekali tidak mengelak. Biarkan Azzam melakukannya, melepaskan gairah yang beberapa hari ini dia tahan.
Tiba-tiba Azzam menghentikan kegiatannya, dia tersadar karena Alana tidak merespon permainannya.
"Kenapa berhenti?" tanya Alana dengan suara parau, pipinya memerah seperti tomat, matanya berbinar seakan ingin menangis.
Azzam tertegun memandangi wajah polos istrinya itu, nampak jelas bahwa Alana tidak menyukainya.
"Maaf, aku tidak bermaksud-"
Azzam menarik diri sehingga tangan Alana terlepas dari tongkat miliknya yang sudah semakin mengeras seperti batu.
Meski menyakitkan, Azzam terpaksa menahannya, keningnya mengernyit merasakan sesuatu yang menusuk-nusuk di bagian intinya.
Ya, ini sangat tidak enak, kepala Azzam tiba-tiba berdenyut.
Kemana akan dia lampiaskan hasratnya itu? Dia tidak ingin memaksa Alana melakukannya.
Azzam cepat-cepat menjauhi istrinya dan memasuki bilik kecil yang ada di kamar mandi itu. Karena tidak tahan, dia terpaksa melakukan pelepasan sendiri.
Azzam menggeram sembari menutup mata, tangannya tengah sibuk mengurut tongkatnya.
Di luar bilik, Alana bisa melihat apa yang tengah dilakukan suaminya itu, jarak keduanya hanya dibatasi dinding kaca.
Alana merasa bersalah, hatinya mencelos mendengar erangan suaminya. Tapi apa yang bisa dia lakukan? Dia benar-benar belum siap menyerahkan dirinya.
Apa Alana berdosa membiarkan Azzam menderita? Bukankah seharusnya Alana lah yang menjadi tempat Azzam melepaskan bi*rahinya?
Alana ingin menyusul masuk, tapi kakinya terasa berat untuk di langkahkan, dia pun memilih berlari meninggalkan kamar mandi.
Beberapa menit berselang, Azzam keluar dari kamar mandi setelah membilas tubuhnya, kepalanya terasa dingin usai mengeluarkan cebongnya.
Sangat disayangkan, Azzam terpaksa membuang benihnya yang seharusnya ditampung oleh Alana.
Usai mengenakan pakaian, Azzam meninggalkan kamar, langkahnya sontak terhenti kala mendapati tubuh istrinya yang tengah meringkuk di atas sofa, Alana memeluk lututnya dan menyembunyikan wajahnya.
Azzam menaikkan sebelah alis lalu mendekati Alana dan duduk di sampingnya. Azzam merentangkan tangan dan menarik Alana ke dekapan dadanya.
"Sudah, jangan sedih begitu!" ucap Azzam sembari mengusap lengan Alana pelan, dia tau Alana merasa bersalah karena tidak bisa memenuhi keinginannya.
"Maafkan aku, aku-"
"Tidak perlu minta maaf, aku yang salah." sela Azzam, seharusnya dia lah yang meminta maaf karena tidak bisa mengendalikan hasratnya.
Alana mendongak dan mematut manik mata Azzam dengan intim, air matanya menetes membasahi pipi.
Azzam yang melihat itu lantas tersenyum dan beralih mengusap pucuk kepala Alana, lalu menghapus jejak air mata yang baru saja tumpah di pipi istrinya.
"Jangan nangis, jelek tau." seloroh Azzam seraya mencubit hidung Alana gemas.
Alana mengerucutkan bibir, dia terlihat sangat lucu dengan hidung memerah seperti badut.
"Yakin tidak marah?" tanya Alana dengan suara serak, matanya juga nampak sembab.
"Tidak ada alasan untuk marah, aku sadar dimana posisiku." Azzam menghela nafas berat. "Jalani saja hubungan ini seperti air yang mengalir, kemana arus membawa kita, maka disitulah tempat kita sebenarnya." imbuh Azzam.
Alana terdiam dan memutus pandangannya, ucapan Azzam barusan bak cambuk yang melukai sekerat raganya.
Apa maksud Azzam? Apa dia akan menyerah ketika haluan mereka berbeda arah?
Saat Alana tengah melamun, Azzam melepaskan pelukannya lalu mengajak istrinya itu ke meja makan, perutnya sangat lapar setelah menguras tenaga tadi.
Di meja makan, keduanya duduk berhadap-hadapan, baik Alana maupun Azzam tidak ada yang mengeluarkan suara. Hening, hanya bunyi sendok dan piring yang terdengar.
Bahkan setelah makan pun tidak ada yang berbicara sepatah katapun. Alana membawa piring kotor ke dapur sedangkan Azzam memilih masuk ke kamar.
Azzam duduk di kursi meja kerja yang sengaja di tempatkan di kamar itu, tidak ada tempat lain karena apartemen itu hanya memiliki satu kamar.
Lalu Azzam membuka laptop, dia harus tau bagaimana perkembangan perusahaan selama dirinya tidak ada.
Saat laptop menyala, tiba-tiba mata Azzam tertuju pada email yang masuk dari salah seorang staf kantor. Azzam langsung membukanya, setelah membaca isi email itu, dia pun menghubungi staf itu.
Dalam percakapan yang tengah berlangsung, terdengar Azzam membahas tentang seorang wanita.
Wanita yang dimaksud adalah calon sekretaris yang diminta Azzam terakhir menginjak kantor beberapa hari yang lalu.
"Aku butuh sekretaris yang masih muda, cantik, pintar dan juga smart. Kalau wanita itu mempunyai ciri-ciri yang aku sebutkan, maka terima saja!" ucap Azzam dengan lantang.
Ya, barusan telinga Azzam mendengar derap langkah kaki yang semakin mendekat ke arahnya. Dengan senang hati, Azzam sengaja menaikkan volume suara agar si pemilik langkah mendengarnya.
Benar saja, langkah Alana sontak terhenti saat mendengar kata-kata yang keluar dari mulut Azzam itu.
Tangan yang tengah memegang cangkir berisi kopi tiba-tiba bergetar, raut wajah Alana seketika berubah sendu.
Alana pikir waktu itu Azzam cuma memanasi nya, tapi ternyata dia salah. Azzam benar-benar mencari sekretaris baru sebagai penggantinya.
Alana melanjutkan langkahnya, dia menaruh kopi itu di meja kerja Azzam dan lekas berbalik badan. Dia pun berjalan mendekati ranjang dan mengambil bantal, lalu membawanya ke luar tanpa bicara sepatah katapun.
Setelah Alana benar-benar menghilang, Azzam menoleh ke arah pintu, seringai tipis nampak melengkung di sudut bibirnya.
Di luar sana, Alana membaringkan diri di sofa, terlihat jelas ada guratan kekecewaan terpancar di wajahnya.
Wanita muda, cantik, pintar dan smart, jelas kriteria tersebut berbanding terbalik dengan dirinya.
Wajar Azzam mencari sekretaris seperti itu, dia juga tampan dan pintar. Harusnya Alana sadar diri, dia tidak akan bisa menjadi seperti yang Azzam inginkan.
Wajah pas-pasan, pendidikan cuma sebatas SMA, pintar juga tidak.
"Brengsek, dasar suami tidak tau diri, sudah punya istri tapi-"
"Aaaah..."
Alana menjerit dan memukul bantal dengan beringas, melampiaskan amarahnya yang membumbung tinggi hingga ubun-ubun.
Dari ambang pintu kamar yang terbuka, Azzam senyum-senyum sendiri seperti orang gila. Dia tidak menyangka aktingnya tadi berhasil memancing emosi istrinya.
Senang rasanya membuat Alana kesal, itu artinya Alana takut suaminya main gila dengan wanita lain.