Sepagi ini Adam Halilintar bersama pemuda desa sudah mangkal di depan sebuah Sekolah PAUD, demi melihat Ibu Guru Jingga, guru honorer di sekolah tersebut, kembang desa yang menjadi idaman dan rebutan para pemuda desa.
"Ibu guru datang," seru salah satu kawan barunya yang bekerja sebagai penadah aren.
Lalu dari balik semak, muncul seorang gadis yang ditunggu-tunggu sedari tadi.
Ketika lewat di depannya, matanya mengamati gadis itu dari atas ke bawah. Otaknya merespon dengan cepat informasi yang ditangkap matanya, spontan memberikan penilaian terhadap gadis itu.
Di bawah standar.
Hatinya mendongkol karena gadis yang ditunggunya ternyata jauh dibawah ekspektasinya.
Deretan wanita yang pernah jatuh ke dalam pelukannya, kelasnya jauh di atas wanita yang baru lewat tadi.
Bila ia turut menggoda Ibu Guru Jingga seperti pemuda desa, lantas berpacaran dengan gadis itu, maka akan menjadi pencapaian terburuk dalam sejarah percintaannya.
Ia yakin, dirinya akan menjadi bahan tertawaan dan bahan lolucon teman-temannya di kota.
Karena kenakalan Adam, ayahnya mengirimnya untuk belajar agama di sebuah desa. Di desa itu, ia menemui kehidupan yang jauh berbeda dari tempat asalnya.
Bagaimana petualangan cinta selanjutnya setelah ia tinggal di desa tersebut?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ina As, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
26. Hai Gadis Kampung Kopi
Awalnya Jingga membuka pintu lebar-lebar dan hanya berdiri di ambang pintu kamar 202 itu. Namun begitu kakinya merasa lelah, ia melorotkan tubuh dan duduk di atas lantai. Ia menyadari, tingkahnya duduk di ambang pintu kamar sangat norak, kampungan.
Adam Halilintar sungguh membuatnya dilema. Ia tak tenang berada di hotel itu, apalagi harus berada di dalam kamar berdua dengan Adam. Tetapi tidak tega meninggalkan pria gondrong yang sedang cedera akibat kesalahannya. Terlebih lagi tidak ada sanak saudara yang menemani pria dari kota tersebut.
Tapi sampai kapan ia berada di tempat itu?
Wajar bila hatinya diliputi kegelisahan.
"Setelah aku keluar dari panti rehab, aku kena grebek polisi lagi. Itulah sebabnya aku dikirim ke Bukit Hejo."
"Narkoba lagi?" lirihnya.
"Bukan. Pergaulan bebas. Kamu mengertikan maksudku?" sahut Adam Halilintar.
Tiba-tiba perutnya seperti teraduk mendengar pengakuan Adam. Padahal ia sudah menduga pria urban macam Adam memiliki gaya hidup yang tidak jauh dari musik, narkoba dan pergaulan bebas.
Ia merasa jijik dan mual membayangkan pengakuan Adam yang terakhir. Tidak habis pikir begitu mudahnya Adam mengumbar aib sendiri yang mestinya ditutupi. Bukankah kita selalu berdoa agar Tuhan menutup aib-aib kita? Ataukah hal tersebut menjadi kebanggaan tersendiri bagi pria itu?
"Aku yakin kamu pasti jijik mendengar kelakuanku. Mau muntah? Silahkan ke kamar mandi."
Mengapa pula Adam bisa menebak bila ia mual mendengar semua pengakuannya?
"Aku sudah lama mengamati dan mengawasimu. Penampilanmu memang jauh berbeda dengan gadis-gadis yang aku temui di kota. Kamu tidak sekeren mereka."
Sudah tahu dirinya tidak keren, mengapa Adam terus mendekatinya?
"Tetapi kamu memiliki kecantikan tersendiri. Setiap menatapmu, aku melihat kesejukan dan kedamaian pada dirimu, yang tidak dimiliki mereka," gumam Adam.
Meskipun ia menyadari bila kata-kata yang dituturkan oleh Adam hanya gombalan belaka, namun tidak urung mampu menyejukkan perasaannya. Hatinya meleyot. Tulang-tulangnya serasa melunak.
Beruntung ia mengambil tempat diluar jangkauan pandangan pria gondrong itu. Sehingga dirinya yang salah tingkah sebab belum pernah mendapat rayuan macam itu, tidak tertangkap netra Adam.
"Awalnya aku berpikir, aku dikirim ayahku ke Bukit Hejo untuk belajar agama karena kenakalanku. Tapi aku baru menyadari bila Tuhan yang mengirim aku ke Bukit Hejo, untuk menemukan tulang rusukku yang hilang."
Begitu pandainya pria itu meramu kata-kata manis untuk memikat hati. Membuatnya panas dingin kelimpungan oleh kata-kata yang ia sudah tahu bila hanya bualan semata.
Di dalam hati ia berdoa, agar Tuhan menyelamatkannya dari godaan dan rayuan Adam Halilintar. Supaya ia tidak terbawa perasaan dan terkecoh, sebab yakin ada maksud tersembunyi dibalik rayuan pria itu.
"Berilah ruang untuk bernavigasi di hatimu. Karena tulang rusukku tidak mungkin dimiliki orang lain."
Seorang wanita baiknya tidak lekas percaya dengan ucapan-ucapan yang indah. Sebab pria yang serius tidak akan banyak omong. Langsung datang ke orang tua meminta menjadi pendamping hidup secara halal.
"Kamu ke kota naik apa?"
Sejenak ia bisa bernafas lega sebab Adam berhenti merayunya.
"Motor."
"Sama siapa?
"Sendiri."
"Naik motor sejauh itu sendiri?" Nada suara Adam halilintar terdengar tak percaya.
"Kamu nginap di sini saja ya?" Tawaran Adam Halilintar yang membuatnya melonjak kaget.
"Apa?" pekiknya, tak percaya kalimat yang baru didengarnya.
"Jangan kaget gitu deh, maksud aku bukan di kamar ini. Nanti aku booking-kan kamar di hotel ini. Jangan terlalu sering berprasangka buruklah padaku."
"Terima kasih, aku nginap di rumah bibi saja."
"Jadi kamu mau ninggalin aku sendiri di sini? Tega kamu Jingga," ujar pria yang terbaring di atas tempat tidur.
Tuhan mengabulkan doanya, sebab dari kamar sebelah, kamar 201, ia melihat dua orang pria yang sangat familiar keluar dari kamar. Pemuda Bukit Hejo, Ramli dan Yunus. Ia pun bisa segera pulang dan terselamatkan dari rayuan Adam Halilintar.
***********
Bagaimana Adam tidak murka, bila pasukan berani matinya kali ini mengacaukan rencananya. Burung merpati hutannya yang sudah bermain-main di dalam perangkap terlepas dan terbang jauh sebelum terjerat.
"Kalian memang tidak bisa diandalkan. Susah payah mendapat momen seperti ini, kalian malah mengacaukan," umpatnya.
"Tadi Jusman nelpon dari lobby. Habis beli makanan dia sama Arsal di warung, soalnya makanan hotel mahal. Tapi nggak tahu caranya naik lift dia, jadi minta dijemput di bawah bos. Eh pas buka pintu, keluar dari kamar, ada cewek yang manggil. Kirain siapa. Ternyata Ibu Guru Jingga," jelas Ramli cengengesan.
"Salah bos sendiri, kenapa ibu guru disuruh duduk di ambang pintu, nggak disuruh duduk di dalam kamar. Kan ada kursi," tambah Ramli, semakin membuatnya geregetan. Ingin melempar empat orang sekaligus keluar jendela kamar.
"Emang tadi turun pake apa?" bentaknya pada Jusman.
"Pake tangga bos," sahut Jusman.
"Lah kenapa naiknya nggak pakai tangga saja? Harus pake lift segala?" kesalnya.
"Mau belajar pakai lift bos, mumpung lagi di kota," sahut Jusman dengan wajah lugu. "Biar nanti nggak malu-maluin Bos lagi."
Ia gagal melewatkan malam di hotel bersama Jingga. Padahal ekspektasinya, Jingga akan merawatnya. Menyuapinya, membantunya naik turun tempat tidur, memapahnya ke kamar mandi. Semua gagal gara-gara pasukan berani matinya.
Tapi setidaknya ia sudah memiliki nomor handphone Jingga sehingga ia bisa menghubungi wanita itu nanti malam.
Ia lalu membuka perban yang melilit di tubuhnya. Tiba-tiba saja ide untuk berenang mumpung masih di hotel terbersit dalam kepalanya.
"Ada yang mau ikut renang nggak?" ajaknya.
"Mau, mau Bos." Jusman yang paling cepat menyambut ajakannya.
"Aku ikut ya, Bos?" Ramli mengajukan diri penuh harap.
"Semua boleh ikut," serunya. Senang bisa memberi pengalaman pertama bagi anggota pasukannya menginap di sebuah hotel.
Ia tak dapat menahan tawanya melihat tingkah norak pasukannya saat mereka tiba di kolam renang hotel. Dimana tiga orang gadis yang memakai pakaian renang duduk di pinggir kolam renang bercengkerama.
Ia masuk ke ruang ganti, mengganti pakaiannya dengan celana renang. Lalu membungkus bagian bawah tubuhnya dengan handuk dan keluar dari ruang ganti.
Maksud hati ingin mendekati gadis-gadis di pinggir kolam renang, tapi mendapati pasukan berani matinya lebih agresif.
Ramli, Arsal dan Jusman sudah lebih dahulu terjun ke dalam kolam, berenang dengan gaya andalan masing-masing untuk memikat burung betina. Sementara Yunus hanya duduk di tepi kolam renang, menjulurkan kaki ke air, dengan wajah malu-malu dan tidak percaya diri.
Namun ada yang salah dengan pasukannya. Sebab mereka berenang menggunakan pakaian lengkap. Celana jeans dan kemeja kotak-kotak andalan masing-masing. Sehingga petugas kolam renang meminta mereka keluar dari air.
Membuatnya terpingkal-pingkal tak mampu menahan tawa, melihat wajah malu tiga orang pasukannya diusir dari kolam.
"Mana ada yang renang pake jeans dan kemeja sih." Ia membuka handuk, melemparnya ke kursi dan memperlihatkan celana renangnya kepada tiga orang pasukannya yang sudah basah kuyup tapi diusir dari kolam renang. "Pakai celana gini nih."
"Malu, Bos. Bos sih putih, badannya bagus jadi nggak malu biar pakai ****** ***** doang. Aku item, malu kan sama cewek-cewek di sana," sungut Jusman. Masih sakit hati dipermalukan di depan para gadis.
"Nggak usah malu, tetap percaya diri biar item. Sana buka baju di ruang ganti!" Ia menyemangati pasukannya.
"Tapi kolorku sobek, Bos!" kekeh Ramli. "Pinjem kolor ya, Bos."
"Aku juga pinjam dong Bos. Punyaku udah kendor. Takut kedodoran," seru Arsal.
Dasar pasukan sableng, mana ada pinjam meminjam pakaian dalam.
*********
Setelah makan malam bersama keluarga di rumah Bibi Zaenab, Jingga membantu sepupunya mencuci piring di dapur. Saat sedang menyabun gelas, handphone yang ia letakkan di atas dispenser berdering.
Ia buru-buru membilas tangannya untuk membersihkan tangan dari busa sabun, lalu mengeringkannya menggunakan lap kain. Kemudian melangkah ke arah dispenser meraih handphone hendak menjawab telepon.
Tetapi begitu melihat pada layar handphone muncul nama Adam Halilintar, ia urung menjawab telepon. Hanya mengatur handphone-nya dalam mode silent, dan mengabaikan panggilan Adam Halilintar tiga kali.
Begitu hendak tidur, ia baru membuka kembali handphone -nya. Melihat deretan pesan dari Adam Halilintar. Sambil berbaring ia membaca pesan tersebut.
Adam Halilintar:
Terima kasih telah datang. Meskipun Buguyu datang hanya untuk menjaga pintu kamar hotel bukan menjaga aku, tapi bahagia sudah meluap-luap di dadaku.
Ia tertawa sendiri membaca pesan Adam Halilintar.
Adam Halilintar:
Tubuh ini rela terluka lagi, bila itu bisa membawa Buguyu datang kembali kepadaku.
Ia mendesah panjang menggeleng-gelengkan kepala. Yakin Adam Halilintar terlalu hiperbolis.
Adam Halilintar:
Buguyu, kamu benar-benar mengacaukan pikiranku. Tolong jangan jadikan mimpiku lebih indah dari kenyataan. Atau Buguyu ingin aku tidur terus nggak bangun-bangun?
Nggak apa-apa yang penting Buguyu tidur di sampingku.
Tidur di sampingnya? Wajahnya memanas seketika.
Adam Halilintar:
Hai gadis Kampung Kopi yang membuatku jatuh cinta! Kalau sudah dibaca ya dibalas dong, jangan jadikan aku macam arwah penasaran.
Tidak, ia membaca pesan Adam tapi sama sekali tidak punya niat membalasnya.
Adam Halilintar:
Ya udah, kalau nggak mau dibalas. Baca saja sudah cukup membuatku senang kok.
Aku punya penawaran untuk Buguyu, semoga Buguyu berkenan.
Adam Halilintar:
Aku mau menawarkan seluruh hidupku untuk Buguyu. Mau kan hidup bersamaku?
Ah Adam. Mengapa ia bisa dipertemukan dengan seorang pria yang memiliki gaya hidup yang jauh berbeda dengannya. Yang sangat gigih mendekati dan merayunya.
Ia berdoa semoga nalarnya tidak aus, digerus rayuan yang bisa membuat wanita kampung kurang pengalaman sepertinya kelimpungan terbawa perasaan.
Jingga:
Tidurlah, Dek. Biar luka-lukanya cepat sembuh.
duh seneng nya 😅
disiiirr buayaaaa buntung cap kadal kau Adam 😅
sa aee rayuanmu
mauttt beneeerrrr
Kayanya Viral nih tukang "bubur ganteng".