Niat hati memberikan pertolongan, Sean Andreatama justru terjebak dalam fitnah yang membuatnya terpaksa menikahi seorang wanita yang sama sekali tidak dia sentuh.
Zalina Dhiyaulhaq, seorang putri pemilik pesantren di kota Bandung terpaksa menelan pahit kala takdir justru mempertemukannya dengan Sean, pria yang membuat Zalina dianggap hina.
Mampukah mereka menjalaninya? Mantan pendosa dengan masa lalu berlumur darah dan minim Agama harus menjadi imam untuk seorang wanita lemah lembut yang menganggap dunia sebagai fatamorgana.
"Jangan berharap lebih ... aku bahkan tidak hapal niat wudhu, bagaimana bisa menjadi imam untukmu." - Sean Andreatama
ig : desh_puspita27
---
Plagiat dan pencotek jauh-jauh!! Ingat Azab, terutama penulis gamau mikir dan kreator YouTube yang gamodal (Maling naskah, dikasih suara lalu up seolah ini karyanya)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 06 - Tidak Pantas
"Ehem ... ma-maaf."
Sean menundukkan pandangan, entah kenapa bibirnya sama sekali tidak bisa dikontrol. Zalina yang sempat terkejut kini bingung dengan sikap Sean. Dia meminta maaf, hanya karena sebuah panggilan yang sebenarnya wajar saja. Sayang ... terdengar manis, tapi kenapa keduanya jadi sekaku ini.
"Mas cari aku?"
Mas? Lagi-lagi Zalina memanggilnya dengan panggilan itu. Panggilan asing dan selalu berhasil membuat sesuatu dalam diri Sean menggelora. Dia bukan pria baik-baik, masa lalu Sean sudah begitu puas dengan hal duniawi hingga dia bosan bahkan muak dengan wanita.
Namun, stigmanya tentang wanita kenapa jadi terpatahkan dalam sekejap mata. Dia yang biasanya selalu menatap lawan jenis hingga membuat wanita tak berkutik dengan rayuannya, kini justru berbalik.
Sean menghindari tatapan mata Zalina. Entah apa sebabnya, tapi yang jelas dia merasa tidak pantas menatap wanita ini, sungguh. Semua yang Sean miliki seakan tidak berguna, ketampanan, kekayaan dan kekuasaan dibalik pengaruh namanya hilang tak bermakna.
"Mas," panggil Zalina lebih lembut lagi, Sean yang tadinya terdiam kini menata wajahnya sekilas.
"Iya? Kenapa, Zalina?" Sean menyembunyikan kegugupannya, aneh sekali situasi semacam ini.
"Mas cari aku? Atau butuh sesuatu?"
Zalina kembali bertanya sembari terus menatap lawan bicaranya. Semalam dia sempat gugup, tapi melihat Sean dengan pakaiannya pagi ini mata Zalina tersihir. Pria ini tampak berbeda seakan bukan pria dengan celana sobek-sobek dan jaket hitamnya malam itu.
"Hm, i-iya aku mencarimu."
Ujian Sean sudah berat, kini wanita itu tersenyum begitu hangatnya. Jelas saja Sean mendadak panas dingin. Zalina mengira sang suami butuh dirinya untuk bersiap di kamar hingga tanpa pikir panjang, Zalina meminta Sean untuk ke kamar.
"Ck, dia sedang mengujiku atau bagaimana? Sean ... seharusnya kau tidur."
Dia menggerutu sembari terus mengikuti langkah Zalina menuju kamar mereka. Langkah keduanya begitu pelan, tubuh sang istri yang berada di depan membuat batin Sean berperang. Dua energi dalam dirinya masih sama-sama kuat, naluri laki-laki yang merindukan kehangatan dan jiwa yang merasa rendah diri berkecamuk saat ini.
"Di sini memang tidak ada air hangat, Mas kuat, 'kan mandinya?"
"Hah?"
Mendadak persis manusia bodoh. Dia bukan terkejut karena keadaan yang berbeda dengan rumah utamanya, lagi pula pagi ini bukan kali pertama Sean mandi pagi di sini. Namun, dia hanya tidak fokus dengan pertanyaan Zalina hingga pada akhirnya membuat sang istri salah kaprah.
"Kalau tidak kuat, aku siapkan dulu ... tunggu di sini."
"Bisa, aku mandi apapun bisa. Apalagi mandi ber_ astaghfirullah, Sean!!" ber-suhu dingin, kemarin aku juga mandi pagi jadi tenang saja."
Hampir, Sean menggeleng cepat seraya mengusir otak tengilnya yang ternyata masih saja tidak tahu diri. Zalina hanya tersenyum tipis melihat reaksinya, sama sekali tidak berpikir apa yang ada dalam benak Sean saat ini.
Dia hanya fokus menyiapkan pakaian untuk sang suami, baju-baju Sean yang diberikan Zean kemarin sudah sempat Zalina rapikan. Jika dilihat dari perlakuan keluarga suaminya, Zalina menangkap bahwa mereka sama sekali tidak keberatan Sean menikahinya.
"Zalina maaf, handuknya dimana? Kemarin aku mandi di rumah mas Agam ... apa harus kuambil yang di sana?" tanya Sean baru menyadari setelah melepas baju kokonya.
Jika keadaan mereka tidak begini, tentu saja Sean akan menjadikan hal ini sebagai modal dusta untuk menarik istrinya ke kamar mandi. Sayang, situasinya memang tidak sama dan jelas Sean harus hati-hati dalam bertindak.
"Aku lupa, sebentar, Mas."
"Apa tidak bisa dia berhenti memanggilku seperti itu? Mas-mas, kuterkam tahu rasa kau, Zalina."
"Iya, aku tunggu."
Bibirnya berdusta, apa yang dia pikirkan tidak terucap dan kini memilih duduk di tepian tempat tidur. Dia melirik sang istri melalui ekor matanya, tidak butuh waktu lama Zalina kini menghampiri dan menyerahkan handuk baru untuknya.
"Ini, sarungnya lepas juga ... jangan dibawa ke kamar mandi."
"Di sini? Malu lah."
Dia mengerutkan dahi seraya berdecak kesal karena semakin lama, tindakan Zalina seakan tengah menggodanya. Padahal, tidak sama sekali, Zalina yang paham jika Sean mungkin risih dengan kehadiran dirinya segera berlalu keluar. Lagi pula, tugasnya telah selesai, pikir Zalina.
"Ingat janjimu, Sean ... kau hanya sementara, cintanya bukan dirimu ayo sadar sedikit saja."
Sepertinya memang kepalanya butuh segera didinginkan, terus bersama Zalina membuat sesuatu seakan terbakar dalam dirinya. Terlebih lagi, tutur lembut wanita itu seolah membuatnya terpedaya.
"Dia pakai sabun ini? Hm ... wangi sekali."
Sudah tahu udara di sana dingin, airnya jelas semakin dingin. Bukannya cepat-cepat mandi, Sean justru membaca kandungan dalam sabun mandi cair milik sang istri. Tidak hanya itu, semua hal di sini mungkin dia perhatikan. Termasuk, sabun cair yang dia ketahui kerap berada di kamar mandi Mikhayla, sang kakak.
"Hahaha dimana-mana ada, apa seluruh wanita di dunia ini pakai sabun yang sama?"
.
.
- To Be Continue -