Diana, dia adalah seorang ibu muda beranak satu. Istri yang sangat patuh pada suaminya dan juga memiliki cinta yang besar pada keluarga kecilnya. Tak pernah terbayangkan olehnya, jika sang suami yang terkesan pendiam dan hanya mau berinteraksi pada orang yang telah di kenal bahkan mampu menduakan cintanya.
Diana seorang yatim piyatu, dan hanya memiliki seorang kakak perempuan. Disitulah kesulitan yang akan ia hadapi sendiri, tak ada tempat pengaduan ketika ada luka di hatinya.
Akan kah kisah cintanya dalam berumah tangga bisa bertahan setelah di duakan? Tentu, karena Diana hidup mempunyai prinsip dan juga kepercayaan. Wanita pintar tidak akan kalah pada wanita penggoda.
Dan cerita ini asli karangan author semata, hanya saja sudah sering terjadi di linkungan hidup sekitar kita. Mari simak cerita manarik ini, yang mampu membuat hati tersentuh di setiap pembacanya.
No penjiplakan dan copy paste ya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sellamanis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 27
Sebulan berlalu, Diana lebih memilih untuk berdamai dengan keadaanya dan memaafkan suaminya. Karena ia juga masih memikirkan masa depan anaknya.
Bagas tidak risigne hanya saja meminta pindah bagian, karena pengajuan surat pengunduran dirinya di tolak, sebab kinerjanya yang di akui sangat profesional.
Perubahan sifatnya sangat jauh, ia lebih memanjakan istri dan anaknya. Dan pulang tidak pernah telat, jika ada keperluan mendadak akan senantiasa mengabari istrinya. Bukan mudah untuk menghindar dari Risah, bahkan walaupun sudah tidak satu ruangan Risah terus saja seperti mencari kesempatan untuk dapat bertemu.
Hanya saja Bagas mulai curiga dengan Risah. Pasalnya ia sering sekali masuk ke ruangan pak Darma. Padahal kalau menurut kerjaan, Risah sama sekali tidak ada urusan dengan atasannya itu.
Cuma pikiran itu Bagas buang jauh-jauh, toh tidak ada urusan lagi dengannya, mau dia jalan dan tidur dengan siapa juga bukan urusannya, pikirnya.
Hari-hari yang mereka lewati jauh lebih baik. Diana lebih memilih memendam aib keluarganya, yang tidak ia ceritakan ke siapapun, termasuk kakak dan mertuanya. Yang tau hal ini hanya pelakunya sendiri.
Karena menurutnya, jika ia ceritakan kepada orang lain, pasti akan tetap berujung dengan kata pisah. Ia sangat tidak mau itu.
Ia hanya terus berdoa untuk kejujuran suaminya juga keutuhan rumah tangganya.
Pagi itu, entah kenapa senyum di wajah Diana terus saja mengembang. Bahkan setiap langkah ia selalu menebar senyum walaupun tidak ada yang melihat saat ini. Diana menghidangkan makanan di meja makan sembari menunggu suaminya siap mandi, dan berangkat kerja.
"Ayah udah siap."
"Iya sayang."
Ciuman hangat di pagi hari mendarat di kening dan pipi mulus istrinya.
Ya kehangatan ini kembali terjalin dengan sendirinya.
"Nanti pulang jam berapa yah? Lembur enggak?"
"Belum tau sayang, kenapa?"
"Hem, nanti temani Diana ke dokter ya?"
Bagas kaget, dan cepat-cepat mengunyah dan menelan makanannya.
"Kamu sakit? Kenapa enggak bilang? Yaudah biar ayah ijin aja enggak masuk kantor ya?"
"Enggak usah yah, Diana hanya hehe."
"Sayang tolong bicara jangan berbelit-belit. Ayah khawatir."
"Diana udah telat satu minggu yah. Diana mau check ke dokter."
"Maksudnya kamu hamil sayang?"
"Iya tapi belum pasti, Diana enggak mau tespeck mau langsung ke dokter aja biar lebih jelas."
"Alhamdulillah. Yaudah ayah ijin hari ini enggak masuk kantor, dan kalau memang benar, Minggu depan kita bakal adakan syukuran, mengundang anak yatim ya."
"Yah, jangan berharap dulu. Iya semoga ajakan, cuma Ana enggak mau nanti terlalu berharap ujungnya kecewa. Udah ayah masuk kantor aja ya."
Bagas tidak menghiraukan perkataan istrinya, ia langsung pergi berjalan dan meninggalkan makanannya begitu saja. Diana kaget, ia mengira Bagas marah karena menolak untuk libur hari ini.
"Hallo pak, selamat pagi."
"(Iya gas, ada apa pagi-pagi udah telfon)."
"Maaf pak mengganggu. Saya ijin hari ini ya pak, mau temani istri saya check up ke dokter."
"(Istri kamu sakit?)"
"Enggak pak, cuma sepertinya yang maha kuasa telah memberi saya kepercayaan untuk menimang anak lagi."
"(Oh selamat ya. Tapi hari ini tidak ada meeting kan?)"
"Tidak pak, kosong jadwal."
"(Yaudah kalau begitu, saya beri ijin)."
"Terima kasih banyak ya pak."
Ternyata ia benar-benar nekat dan menelfon atasannya untuk ijin hari ini. Sungguh Bagas kali ini tulus, sekaligus senang mendengar kabar di pagi hari. Bagas berjalan ke arah meja makan lagi dan kembali duduk. Diana tercengang dan belum sempat bertanya Bagas sudah menjelaskan semua.
"Ayah libur sayang."
"Ayah ih, Ana bilang kan sepulang kerja juga enggak apa yah."
"Jadi enggak hargain usaha ayah yang meminta ijin nih?"
"Bukan begitu yah, tapi."
"Udah sayang. Ayah mau lanjut makan, kamu makan yang banyak. Sini ayah yang suapin ya?"
Akhirnya Diana mengalah, dan Bagas makan sekalian menyuapi istrinya.
Setelah selesai makan, Bagas menggendong Diana menuju kamar, bahkan sangking senangnya ia tak membiarkan Diana kelelahan. Di kamar terlihat Alif yang masih tidur dengan pulasnya. Entahlah apa yang akan dikatakan anak bijak itu kalau tau bundanya di bopong ala-ala putri raja.
"Sayang kamu istirahat dulu, biar ayah bereskan meja, lalu mengechek email. Nanti kalau Alif udah bangun barulah kita bersiap ke dokter ya."
Dan kembali mengecup kening istrinya.
"Yah, udah biar Ana nanti yang bereskan. Ayah berlebihan deh kayak Ana baru sekali ini aja hamil."
"Sayang, biarlah dengan cara ini ayah nebus kesalahan ayah. Semoga kali ini perempuan ya sayang."
"Yah, tapi ini kan juga belum pasti, Ana takut malah ayah kecewa kalau ini hanya keterlambatan biasa."
"Enggak, tapi ayah yakin sayang. Udah ya."
Bagas berlalu keluar kamar dan meninggalkan istrinya yang berbaring. Diana pun kembali terlelap karena memang udara pagi yang masih sejuk, mungkin hari ini awan tampak mendung. Sehingga sudah jam 7 lewat masih sedikit gelap.
Diana kembali terbangun jam 09 pagi. Dan tidak mendapati anaknya di samping ia tidur. Diana turun dan berjalan keluar kamar, berniat mencari anak dan suaminya.
Ternyata Alif dan Bagas berada di ruang tv. Alif juga udah segar, kelihatan kalau sudah mandi.
"Yah, Alif udah mandi ya?"
"Udah sayang."
"Kenapa Alif enggak bangunkan bunda nak?"
"Udah, tapi bunda enggak bangun."
"Ah kenapa bunda enggak mendengar ya?"
"Kirain Alif bunda sakit."
"Enggak kok sayang, Alif belum makan kan?"
"Udah bunda, tadi sama ayah di suapin."
Diana tersenyum hangat. Hatinya sangat damai saat ini.
"Ya udah ayo kita bersiap sekarang sayang."
Ucap Bagas.
Mereka bersiap akan pergi, Diana berjalan dulu bersama Alif keluar rumah, sementara Bagas bertugas mengunci pintu rumah.
Saat akan membuka pagar teras rumah nampak Bu Salmah berbincang dengan wanita paruh baya dan seorang wanita muda sambil menunjuk ke arah rumahnya. Diana pun berjalan mendekat bermaksud menghampiri. Tapi langkah terhenti tatkala melihat dan merasa mengenali wanita itu.
Deg.
Jantungnya terasa berhenti berdetak.
Risah? Mau apa dia kesini? Dan wanita tua itu siapa? Apakah ibunya? Ada apa ini ya Allah, kenapa perasaanku tidak enak begini.
"Nah itu dia tuan rumahnya."
Ucap Bu Salmah menunjuk ke arah Diana.
"Ana, ini ada yang cari kamu sama Bagas."
Ucapnya lagi.
Diana hanya berdiri mematung. Melihat dengan cara tidak suka. Diana sudah berusaha melupakan kesalahannya tanpa menegur apalagi melabraknya. Tapi kali ini Risah datang lagi, datang langsung kerumahnya. Bahkan membawa orang tua. Pikirannya kembali menerawang ke arah jauh, berusaha mencari tau tanpa menunggu penjelasan.
Bagas keluar dan berjalan.
"Sayang, kenapa melamun? Ada apa?"
Diana hanya diam. Dan Bagas menatap ke arah yang Diana tatap.
Bahkan kali ini rasa kagetnya melebihi rasa kaget yang Diana rasakan. Ia mengerutkan keningnya heran.
Wanita paruh baya itu nampak berjalan mendekat bersama Risah. Dan Bu Salmah kembali melanjutkan menyapu halamannya yang sempat tertunda karena ada orang yang menanyakan rumah tetangganya.
Risah menunduk tidak berani menatap satu diantara dari mereka.
"Nak Bagas?"
"Iya Bu. Ibu siapa? Dan ada apa datang kesini bersama wanita ini? Saya mau pergi sekarang Bu?"
Ucap Bagas sopan.
"Maaf, tapi bisakah kita bicara sebentar? Ini penting, Oiya perkenalkan saya ibunya Risah."
Ibu?? jadi ini adalah ibu dari wanita jal**g ini? Batin Diana.
"Ada perlu apa Bu?"
"Bisakah sebentar aja kita bicara nak? Enggak enak kalau di dengar tetangga, malu."
Ucapnya lagi.
"Malu? Maksudnya ini ada apa ya? Kenapa harus malu?"
Jawab Diana tidak suka.
Ibu Risah terdiam dan menatap Risah lalu menatap Bagas. Ia nampak menghela nafas berat.
"Baiklah ayo silahkan masuk dulu."
Akhirnya Bagas mengalah.
Mereka masuk dengan pikiran yang berkecamuk. Terutama Diana, senyum yang di wajahnya sedari tadi mengembang sudah hilang. Berganti dengan raut wajah yang lesu dan sayu.
Setelah masuk mereka duduk di kursi teras rumah. Nampak jelas di antara mereka semua pada ragu untuk memulai pembicaraan.
"Katakanlah Bu, ada apa?"
Tanya Bagas.
"Begini, saya mau tanya. Apa sebelumnya nak Bagas memiliki hubungan terlarang dengan anak saya Risah? Sebelumnya maaf untuk istri nak Bagas ya."
"Kenapa harus bahas masa lalu itu?"
Jawab Bagas ketus.
"Memang ini masa lalu, tetapi di balik masa lalu kalian ada yang harus kalian pertanggung jawabkan."
"Maksudnya? Ibu kalau bicara jangan berbelit-belit, langsung saja keintinya."
Diana yang sudah tidak bisa menahan emosi, bahkan sudah tidak melihat bahwa itu adalah orang tua.
Dan kali ini Risah mendongakkan wajahnya melihat ke arah Diana.
Ha? Ini bukannya istri mas Bagas yang kemarin itu kan? Kenapa dia bisa berubah menjadi secantik ini? Apa aku yang salah lihat waktu itu? Batin Risah.
Dan mereka terdiam tidak ada yang menjawab.
"Bisa tolong langsung biacara Bu? Kami akan pergi ke dokter."
Ucap Bagas lagi.
Ibu Risah nampak menarik nafas untuk memulai pembicaraan.
"Aku hamil, aku hamil anak Bagas."
Ucap Risah yang memotong sebelum ibunya bicara.
Spontan Diana berdiri kaget, begitu juga dengan Bagas, ia langsung menoleh dengan tatapan amarah.
"Maksud kamu apa!!!" Bentak Bagas.
"Aku memang hamil anak kamu mas, kamu harus tanggung jawab."
"Sudah-sudah, jangan pakai emosi. Kita bicarakan baik-baik."
Ibunya menenangkan.
"Terserah kalian, aku permisi."
Ucap Diana dan berlalu berjalan ke dalam rumah, menyambar kunci dari tangan Bagas dan kembali membuka pintu.
Ia langsung masuk ke kamar, menangis sejadi-jadinya. Semua barang ia lemparkan, bahkan kaca rias pun sudah pecah. Tubuhnya lemas seperti tak bertulang.
Aku harus apa sekarang? Kenapa di saat yang indah ini malah dia datang dengan membawa ke kacauan.
"Ayah, ayah kenapa marah-marah?"
Tanya Alif polos.
"Alif sayang, masuk dulu ya temani bunda sana, ayah masih ada tamu."
Alif pun mengangguk dan masuk ke dalam rumah menyusul bundanya.
Kini tinggallah tiga orang yang akan menyelesaikan perkara dengan keputusan yang akan mereka ambil.
Bersambung..
fight dong tp dgn elegan
suami dah celup msh ditrima
ah sungguh egois lelaki
Rama tersirat ada kejahatan dibalik kebaikannya selama ini
cari masalah aja sih