Harap bijak dalam membaca!
Felix yang merupakan anak yatim piatu dengan kepribadian yang cuek dan kasar tinggal di Panti Asuhan Helianthus tapi setelah berumur 10 tahun Panti Asuhan tersebut kebakaran dan yang selamat hanya dia seorang dan 2 petugas dapur.
Akhirnya Felix tinggal di Panti Asuhan Arbor bertemu dengan empat orang anak yang seumuran dengannya dan untuk pertama kalinya membuka diri untuk menjalin persahabatan.
Di sekolah barunya 'Gallagher' ada yang menganggap ia adalah pelaku dari kebakaran tersebut, ada juga yang menganggap ia adalah pembawa sial karena hanya dia anak yang berhasil selamat dan membuat orang di dekatnya menderita.
Saat Felix dipenuhi rasa bersalah untung saja ada sahabatnya Cain dan si Kembar 3 yang selalu menemani dan mereka melakukan banyak petualangan bersama.
Tapi tetap saja ia menganggap dirinya tidak beruntung hingga sebuah kekuatan aneh dalam dirinya muncul dan rambut hitamnya mulai berubah sedikit demi sedikit menjadi hijau.
Apakah benar Felix termasuk orang yang tidak beruntung?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ittiiiy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ch.24 - Rumah Pohon Terancam
"Apa harus orang yang dikenal baru bisa ia tolong?" tanya Cain dalam hati.
"Kau bisa mendengar suara apa saja?" tanya Cain.
"Aku bisa melihat kereta api dan ...."
Cain memotong kalimat Felix, "Kau bisa melihatnya juga?"
"Aaaaaaa!!!" Felix berteriak dan mengeluarkan air mata darah berwarna gelap.
"Felix???!" Cain yang mencoba menenangkan Felix tanpa disadari menatap mata Felix yang terlihat seperti memutar film di lingkaran mata hijaunya membuat Cain memgetahui itu adalah stasiun kereta api yang ia kenal.
"Itu stasiun kereta api di kota Barrow," Cain tahu karena hampir tiap hari dulu dia bepergian bersama bibinya sewaktu kecil.
"Felix kita harus kesana menghentikannya!" perintah Cain yang menarik Felix berdiri.
Felix yang merasa matanya perih tidak bisa membuka matanya dan hanya menurut ikut Cain ke dalam kelas.
"Kecelakaan Kereta Api di Stasiun Barrow menewaskan 1.260 jiwa ...." kata anak-anak yang membaca berita lewat handphonenya.
"Hah?" Felix langsung membuka matanya saat Cain melepas tangan yang menariknya itu.
Cain langsung duduk lemas dan Felix yang tiba-tiba melupakan pedih matanya ikut duduk juga.
"Kenapa kejadiannya terlambat diketahui Felix? Sudah diketahui jumlah korban jiwa berarti kejadiannya sudah beberapa saat yang lalu," Cain menarik-narik rambutnya.
Cain yang memerhatikan Felix mengucek-ngucek matanya jadi sadar kembali, "Kau tidak apa-apa?"
"Terlambat juga kau bertanya, tadi hanya menarik-narikku saja."
"Hahaha, maaf tadi aku terbawa suasana."
Felix yang menatap Cain penuh kekhawatiran mulai berbicara "Lagipula kita tidak bisa menolong mereka, sepertinya ini hanya kilasan balik suatu kejadian bukannya aku bisa melihat masa depan."
Cain hanya bisa tersenyum kecut mendengar seseorang yang tidak tahu kekuatannya sendiri, "Ayo kita ke ke ruang kesehatan!"
"Ruang kesehatan? Siapa yang sakit?" tanya Dea.
"Gak ada yang sakit," jawab Cain.
Untung saja Felix sudah menghilangkan jejak air mata darah di pipinya.
"Terus ngapain kesana?"
"Menurutmu kenapa orang yang tidak sakit pergi ke ruangan kesehatan?" tanya Felix.
"Em ... untuk malas-malasan," jawab Cain diikuti tawa Felix.
Dea hanya ikut tertawa kecil, tidak tahu harus bereaksi seperti apa dengan lelucon yang tidak bisa dipahaminya itu.
Untung saja Pak Egan tidak jadi mengajar karena menjadi panitia penerimaan siswa/siswi baru.
Felix dan Cain pergi ke ruang kesehatan sekolah yang sudah seperti Rumah Sakit saja karena fasilitas yang lengkap dan memiliki banyak tenaga medis.
"Ada yang bisa saya bantu?" tanya perawat itu.
Cain menunjuk mata Felix, "Mata saya perih," kata Felix sambil mendorong tangan Cain.
"Kartu pelajarnya?"
Felix menyerahkan kartu pelajarnya dan langsung diantar oleh perawat itu menuju ruangan dokter mata.
Lama Felix diperiksa, tapi tidak ditemukan kejanggalan apapun. Akhirnya dilakukan pemeriksaan umum dan kembali ke kelas untuk menunggu hasilnya.
***
Terlihat banyak yang datang untuk mendaftar masuk di SMP dan SMA Gallagher yang akan dibuka pada Januari mendatang.
"Apa sekolah kita seterkenal ini?" Teo dan Tom ikut mengintip diantara Felix dan Cain.
"Kalian sudah datang?" tanya Cain.
"Jadi kita makan siang dimana?" tanya Tom.
"Di atap?" sahut Teo.
"Terlalu terang," Cain kemudian menatap Felix.
"Ayo ke atap, lagipula sekarang ... dimanapun pasti sedang ramai kecuali diatap," Felix berbicara sambil melirik Cain seakan menjelaskan bahwa ia tidak apa-apa.
Setelah mereka tiba di atap banyak orang yang ingin mendaftar datang kesana membuat mereka jadi canggung karena usia mereka semua rata-rata usia anak SMP dan SMA sedangkan mereka masih anak SD.
"Aku pikir sekolah kita luas, kenapa mereka bisa sampai kesini?" bisik Teo.
"Sudah ... ayo cepat makan!" perintah Felix.
"Wah sekolah ini besar dan luas sekali, semoga kita bisa lulus masuk disini ya ...." kata anak yang memakai baju kotak-kotak.
"Mereka tidak tahu ya kalau disini ada Hantu Merah muda?" bisik Tom.
"Apalagi bisa bertemu Hantu Merah Muda, aku jadi penasaran sekali ingin bisa dikerjai," kata anak disebelah yang memakai baju kotak-kotak tadi.
Mendengar itu Cain dan Felix langsung menyemprotkan makanannya, "Aaaaah dasar!" Cain pun jadi sebal dan mengingat kembali saat ia dikerjai Mertie. Sedangkan Felix langsung kehilangan selera makannya.
"Kalian kenapa?" tanya Tom
Sepertinya hanya yang pernah dikerjai Hantu Merah Muda yang tahu bagaimana perasaan Cain dan Felix.
Merekapun kembali ke kelas dan langsung dipanggil ke ruang belajar mandiri yang biasanya dipakai saat mulai petang tapi karena begitu banyak yang datang mendaftar maka semua guru ikut terjun langsung membantu proses pendaftaran.
"Sepertinya mereka akan merekrut guru baru lagi untuk SMP dan SMA," kata Teo sambil menyalakan dan mematikan lampu meja belajarnya.
"Sekolah nanti akan ramai sekali," decak Felix.
"Kan bagus kalau ramai ...." Tom mendorong kursinya menuju arah Felix.
Tapi Felix menendangnya dan kursi Tom kembali terdorong menjauh.
Kebanyakan anak-anak hanya memainkan handphonenya disana karena tidak ada guru yang mengawasi. Cain dan Felix sibuk menulis tugas sejarahnya tadi pagi sedangkan Teo dan Tom cekikikan sambil memainkan handphone berdua.
"Kau tidak penasaran dengan handphone baru ...."
"Aku tidak membawanya," Cain memotong kalimat Felix.
"Tadi kau terlihat bersemangat sekali, tapi tidak membawanya?"
"Aku meninggalkannya dikamar karena mereka berdua membawa hp jadi kita tidak bisa menghubungi Tan kalau ada masalah."
"Kan, kalau di panti banyak yang bisa dihubungi ...."
"Tapi kan lebih bagus kalau tidak usah merepotkan orang lain," Cain kembali serius menulis.
"Semakin aku mengenal Cain, semakin aku tidak tahu dia orang yang seperti apa. Dia itu seperti buku yang terbuka tapi susah untuk dibaca," kata Felix dalam hati.
Tirai ruang belajar mandiri itu terbuka dan menampilkan langit yang sudah berubah mulai gelap.
"Kalian sudah boleh pulang ...." kata Pak Egan menyalakan lampu yang membuat semua yang duduk disana sontak langsung menyipitkan mata karena tiba-tiba ruangan yang gelap tadi berubah jadi terang.
Seisi ruangan langsung riuh gembira karena bisa pulang cepat. Mereka semua mematikan lampu belajar masing-masing dan saat Felix dan Cain mematikan lampu belajarnya, dari lampu itu langsung mengalir cairan berwarna merah muda memenuhi meja dan tugas sejarah yang ditulisnya susah payah tadi.
Felix dan Cain langsung geram dan menatap Mertie yang berdiri memakai tasnya dan mengibaskan rambutnya keluar ruangan terlihat santai sambil melirik dengan penuh ejekan.
Karena kebanyakan dari mereka yang bersemangat mendengar pulang cepat bahkan tidak memerhatikan Felix dan Cain yang kena kejahilan Hantu Merah Muda lagi.
Cain memukul wajahnya, "Tolong bilang ini hanya mimpi."
"Sudah cepat, tulis lagi!" kata Teo.
"Iya, mumpung Bu Janet belum pulang," tambah Tom.
Felix dan Cain menuju meja Teo dan Tom mulai menulis lagi, kali ini mereka tidak memerdulikan tulisan harus rapi yang penting selesai. Sementara Teo dan Tom membersihkan meja Felix dan Cain.
Seragam hijau Felix dan Cain yang terkena cairan berwarna merah muda sudah seperti kue saja dilihat. Mereka membersihkannya di kamar mandi setelah mengumpulkan tugas sejarahnya yang ditulis seperti cakar ayam.
"Dasar si ...."
Felix menyenggol Cain yang hampir menyebut nama Mertie saat ada Teo dan Tom diluar kamar mandi yang sedang asyik menghina anak-anak yang lalu-lalang datang mendaftar.
"Ayo kita hancurkan Rumah Pohonnya!" kata Felix.
"Kau mengajak orang yang tepat saudaraku," Cain menepuk bahu Felix.
Mereka berdua membuka pintu kamar mandi dengan tatapan membara sambil membuka jas seragam luarnya dan hanya memakai kaos dalam seragam yang bergaris-garis hijau itu.
"Ada apa dengan mereka?" tanya Tom.
...-BERSAMBUNG-...
endingnya nanggung banget, belum ada cerita setelah felix jadi caelvita loh >.<
selamat felix