UNLUCKY
Saat lahir aku sudah tidak diinginkan...
Dan sesuatu yang tidak diinginkan tentu saja harus dibuang.
Bahkan aku lebih buruk daripada permen karet. Orangtua ku seharusnya sebelum membuang ku, harusnya memanfaatkan ku terlebih dahulu, setidaknya...
Tapi orang di Panti Asuhan selalu menanamkan hal ini kepada kami, "Kalian itu tidak ditinggalkan oleh orangtua kalian, tapi hanya dititipkan. Mereka pasti punya alasan tersendiri kenapa harus melakukan itu."
Telingaku terasa berdenging mendengar hal omong kosong yang sudah ku hafal itu, "Orang dewasa adalah mereka yang tahu mana yang baik dan mana yang buruk, saat berbicara ataupun bertindak mereka dapat kontrol sebaik mungkin."
"Omong kosong!" kataku pelan.
"Felix, jangan berkata seperti itu," Kata Bu Panti kepadaku, tentu dengan suara lembut dan tak lupa ekspresi wajahnya yang tersenyum.
"Jika saja bukan roti yang ku pegang akan ku lemparkan kewajahnya tapi aku pun lapar dan jika bertindak semauku pasti akan kena hukuman dan tidak dapat sarapan pagi," kataku dalam hati.
"Anak-anak yang ada disini adalah anak yang sial dan tidak beruntung," setidaknya... aku tidak tahan hanya diam saja.
Kurasakan tatapan mata sembap semua yang ada diruangan ini yang merasakan hal sama denganku.
"Jika kalian itu sial, pasti kalian tidak akan lahir ke dunia ini dan tahu apa kalau kamu tidak beruntung sedangkan belum menjalani hidup dengan benar. Kamu baru umur 10 tahun Felix, untuk mengatakan dirimu tidak beruntung masih terlalu cepat. Besok, lusa, bisa saja nanti siang kata-kata itu akan kau tertawakan."
***
Mendengar namaku saja dipanggil sudah membuatku kesal, Felix yang artinya beruntung.
Jangan katakan kalau aku ini nakal apalagi mengatakan kalau aku ini kekanak-kanakan, usia bukanlah ukuran seseorang sudah dewasa dan aku yang sudah hidup 10 tahun ini bisa saja lebih banyak tahu dibanding yang sudah berumur 20 tahun.
Aku tidaklah sombong, jika itu pemikiran kalian. Hah, sombong... lagipula apa yang bisa ku sombong kan.
"Inilah aku, Felix... anak laki-laki umur 10 tahun tinggal di Panti Asuhan Helianthus... TIDAK BERUNTUNG!"
Begitulah caraku memperkenalkan diri.
***
Ibu Panti menyarankan agar aku tidak disekolahkan di sekolah umum karena sikapku yang buruk, "Tahu apa mereka," kataku, "Apa mereka psikiater yang bisa mendiagnosis mental ku seperti menentukan makan siang."
"Sudah ku bilang aku hanyalah tidak beruntung, itu saja. Kenapa mereka susah payah berfikir mencarikan solusi agar aku ini berperilaku baik."
"Hai Felix"
"...."
"Kamu ingat aku kan? aku..."
"Dasar bodoh, tentu saja ingat... Kamu Dea dari kelas 2-6 kita pernah satu kelas waktu kelas 1. Caramu memperkenalkan diri terlalu basa-basi, membosankan dan buang-buang waktu."
"Maaf... aku hanya takut kamu lupa."
"Lupa? setiap kali bertemu, kamu selalu mengatakan hal yang sama... ibarat buku aku sudah baca tamat 10x."
"Setidaknya kamu ingat aku menyapamu sebanyak 10x."
"Kenapa kamu tersenyum?!"
"Apa ada orang tersenyum karena sedih?"
"Tentu saja ada, hahh... sudahlah aku malas menjelaskan. Mau kamu apa?"
"Apa harus ada alasan menyapa teman?"
"Tentu saja harus! Dan sejak kapan kamu adalah temanku?!"
"Apa untuk berteman denganmu aku harus meminta izin terlebih dahulu?"
"Tidak perlu..."
"Kan, tidak perlu... Hahaha"
"Iya tidak perlu. Mengapa harus meminta sesuatu yang tidak akan diberikan."
Felix pergi meninggalkan Dea.
***
Seandainya kita bisa memilih untuk bisa tidak dilahirkan tapi hak memilih pun ditiadakan untuk kami.
Kami baru bisa memilih setelah lahir, karena hak memilih hanya ada bagi mereka yang hidup. Kehidupan setiap detiknya adalah pilihan.
Andaikan aku bisa memilih untuk lahir sebagai Dea, putri pemilik sekolah. Aku pun akan menyapa aku yang menyebalkan dengan ceria. Tapi aku terlahir sebagai aku yang disapa oleh mereka yang beruntung jadi jangan salahkan aku jika aku balik menyapa dengan kasar, karena aku terlahir sebagai aku jadi mau bagaimana lagi...
Jangan mengharapkan aku meminta maaf, setidaknya itu adalah hak karena menjadi diriku. Hak ku untuk berterimakasih sudah dirampas dan dikuasai oleh para Ibu Panti yang memaksa kami berterima kasih kepada para pemberi sumbangan.
"Anak ini tampan sekali," kata seorang donatur.
"Namanya Felix... Bu," jawab Bu Panti.
"Bahkan untuk menjawab saja apa aku harus diwakilkan. Perkenalkan nama saya Felix," kataku datar
Ibu Panti menatapku kaget, "Dia kurang pandai bersosialisasi Bu."
Mulai lagi menceritakan kisah ku, tahu apa dia tentang ku... aku saja tidak mengenal diriku sendiri.
***
Malam yang dingin, bahkan dengan selimut dan kami yang tidur saling berhimpitan tidak menimbulkan rasa hangat.
"Kak Felix, aku dingin."
"Aku tidak peduli!"
"Apa aku bisa memelukmu?"
Aku langsung bangun dan tak lupa mengambil selimut dan bantal ku keluar. Aku mulai berbaring di atas kursi yang ada ditaman.
Ternyata dingin bisa menghilangkan harga diriku, tak kuat rasanya... aku berjalan hendak masuk kedalam ruangan lagi tapi sebuah serpihan kayu gosong terlempar dihadapan ku saat aku berjalan sambil menunduk.
Saat kuangkat kepalaku rasa dinginku pun hilang dengan panas yang begitu hebat terasa sampai membakar selimut yang ku kenakan dan tak lama kemudian kesadaranku pun hilang. Ingatan terakhirku adalah saat sebuah pecahan dinding gedung akan mendarat di wajahku dan ku hadang dengan tanganku. Kulihat tanganku berdarah, "Kenapa darahku berwarna hitam?" untung saja kesadaranku hilang sebelum aku merasakan sakitnya.
"Panti Asuhan Helianthus terbakar menewaskan puluhan anak dan Petugas Panti, yang berhasil selamat hanya 1 anak dan 2 orang Petugas Dapur sekarang dirawat di Rumah Sakit terdekat sedangkan yang lainnya meninggal dunia saat mereka sedang tertidur lelap."
Suara tv yang terdengar nyaring membangunkanku, inginku lempari agar diam tapi rasa sakit menghentikan ku.
"Dia sudah bangun!" kata seorang paman berseragam.
Mereka menghampiri dan mengelilingi tempat tidurku. Untungnya ada perawat yang menghentikan mereka dan menyuruh mereka keluar ruangan, "Menyebalkan sekali melihat mereka berdiri mengelilingi ku seperti tadi."
"Halo, nama kamu siapa?"
"Felix!"
"Halo Felix, nama saya Suster Luna. Bagaimana lukamu, apa terasa sakit?"
"Hahh!" aku bangun dan mulai mengingat segala yang terjadi, ku pandangi tanganku yang penuh balutan dan ku raba dahiku yang terasa sangat sakit. Tenggorokanku terasa sempit, sulit untuk bernafas dan keringatku bercucuran. Tubuhku terasa dipenuhi es, dingin sekali dan aku kehilangan kesadaran lagi.
Saat aku terbangun paman berseragam bertambah jumlahnya mengelilingiku, "Benar-benar menyebalkan," kataku dalam hati.
"Halo nak, bagiamana keadaanmu?"
Entah kenapa aku tidak bisa menggerakkan mulutku. Inginku menjawab dengan jengkel, "Tentu saja tidak baik!" tapi mulutku tak bisa kubuka.
Aku ingin berteriak tapi tak bisa, tanpa sadar aku mengeluarkan air mata.
"Jangan menangis, nak!"
Siapa yang menangis? yang benar saja... aku hanya mengeluarkan air mata tapi tetap saja aku tidak bisa mengeluarkan kata sedikitpun.
***
1 bulan berlalu dan aku masih saja tidak bisa berbicara. Ada-ada saja menurutku, "Sekarang aku malah cacat sekarang?!"
Kebakaran Panti Asuhan menjadi berita yang tidak ada habisnya jadi perbincangan. Terkadang aku iri melihat betapa cepat mereka berbicara. Cara mereka berbicara yang tidak ada titik komanya melaju begitu cepat. Seperti kereta api, secepat itulah gosip beredar.
Kini aku tinggal di panti asuhan Arbor dan menjalani tes psikologi tiap minggu dan konseling tiap 2 minggu sekali.
Dokter Mari, walau suaranya terdengar menyebalkan tapi dia satu-satunya yang tidak memandangku dengan tatapan aneh.
Selama sebulan ini ada yang menatapku dengan kasihan adapula yang menatapku takut dan menghindari ku.
Banyak rumor yang beredar bahwa pelaku yang membakar panti asuhan bisa saja adalah aku.
Padahal sudah kukatakan sejak dulu aku bukanlah anak nakal.
Walau ibu panti dan anak-anak yang lain begitu menyebalkan tapi ibu panti tetaplah mereka yang merawat ku sejak kecil dan anak-anak panti walau selalu menggangguku mereka selalu menyimpan lauk untukku jika aku terlambat datang untuk makan.
Mereka menyebalkan tapi tidak menyebalkan sampai aku harus membakar panti juga apalagi melukai.
Dokter Mari, tak seperti orang lain pada umumnya yang menyebalkan dengan bertanya dan berbicara basa-basi.
Bahkan dia tidak memerhatikanku dan hanya memandang keluar jendela dengan menyeruput teh nya yang masih beruap.
Saat aku mulai menulis di kertas. Ia mulai memerhatikanku,
"Apa aku tidak akan bisa berbicara lagi?" tulis ku.
"Pertanyaan itu hanya kamu yang bisa jawab!"
"Jadi aku bisa berbicara normal lagi?"
"Tentu saja."
"Tapi kenapa aku tidak bisa melakukannya? sekuat apapun aku tidak bisa melakukannya..."
"Jangan salahkan mulut karena tidak bisa berbicara tapi tanyakan hati kamu apa sudah siap berbicara?"
Menulis untuk berbicara seharusnya menyebalkan tapi anehnya aku nyaman-nyaman saja.
Panti asuhan Arbor adalah Panti Asuhan yang sangat besar berbeda dengan Panti Asuhan Helianthus dulu yang kecil. Disini Felix memiliki kamar sendiri. Walau Dokter Mari menyarankan agar dia berbagi kamar dengan anak lain untuk bisa menstimulus supaya mau berbicara tapi Felix tidak mau teman sekamar.
***
Tok...tok
Felix bangun membukakan pintu kamarnya.
"Aku membawakanmu makanan, karena aku tidak melihatmu diruang makan tadi."
Sejauh ini yang paling mengganggu Felix adalah Luna. Benar, dia suster yang menangani waktu Felix di Rumah Sakit.
Dia dulu adalah anak panti asuhan disini tapi saat akhir pekan dia selalu datang membantu pekerjaan di panti.
Felix meraba tali yang menggantung buku dilehernya untuk menulis tapi ternyata ia lepas di meja.
"Kan, susah kalau mau bicara harus tulis dulu."
"Kakak ini benar-benar tahu cara membuat orang jengkel," kata Felix dalam hati.
Saat Felix ingin meraih nampan makanannya, Luna meninggikannya.
"Bagaimana kalau makannya ditaman sambil lihat teman-teman kamu main bola pasti bikin makanan lebih enak..."
Felix menginjak sepatu kets Luna yang hampir menumpahkan makanan dan akhirnya menutup pintu kamarnya.
"Memangnya kau ini Putri Rapunzel," teriak Luna dari luar.
Felix kemudian membuka pintu dan memukul nampan hingga makanan jatuh dan kembali menutup pintu.
"Terus saja begitu sampai rambutmu panjang dan jadi iklan shampo," belum selesai kalimat Luna, Felix membuka pintu dengan membawa gantungan baju ditangannya.
Melihat itu Luna tertawa kecil, "Aku hanya bercanda, mau aku ambilkan makanan lagi?"
***
2 bulan berlalu sejak insiden kebakaran itu dan Felix masih belum mau berbicara.
Menurut 2 Petugas Dapur panti yang berhasil selamat, mereka dari pasar membeli makanan untuk sarapan pagi dan saat sampai didepan panti hendak membuka pintu mobil sebuah ledakan besar langsung mengenai mobil dan membuat mobil terlempar.
Hasil penyelidikan polisi menyatakan bahwa kebakaran dipicu oleh seseorang. Telah ditemukan bahan bakar minyak di segala penjuru gedung yang kebanyakan bahan dasarnya adalah bahan kayu dan sebuah korek api mahal berwarna biru dengan tulisan 'Dewi'. Tapi pemilik dari korek api itu tidak bisa ditemukan walaupun ditemukan itu tidak bisa membuktikan bahwa ia adalah pelakunya.
Petugas dapur, Adney dan Alvina menderita luka bakar yang banyak. Bahkan sebuah keajaiban mereka bisa selamat.
Felix juga meninggalkan bekas luka bakar dipergelangan tangannya dan di dahi dekat rambutnya.
"Untung saja kau tampan, kalau tidak kau akan terlihat seperti preman dengan bekas luka itu," ejek Luna.
Felix hanya menghembuskan napas keras... "Sudah kuduga kenapa hari ini ada yang aneh," ternyata karena Luna belum menjahilinya hari ini.
Selama ini Felix tidak pernah mengadu karena takut dianggap seperti anak kecil tapi ia menulis dengan huruf besar diperlihatkannya kepada Dokter Mari, "TOLONG JAUHKAN SAYA DARI LUNA YANG MENYEBALKAN!"
Dokter Mari tidak memerdulikannya dan mulai berjalan ke taman. Felix berlari mengejarnya dan memperlihatkan tulisannya lagi tapi diacuhkan lagi, Dokter Mari hanya menghembuskan napas kasar dan membuka permen untuk dimakan dan berjalan lagi.
Felix bingung, ia berlari sekuat tenaga tapi kenapa tidak bisa menyamai langkah Dokter Mari yang punya kaki yang panjang. Hingga akhirnya Felix membuka lembaran lagi untuk menulis tapi malah menabrak Dokter Mari, "Aw..."
"Hemmm... lucu sekali, kau yang menabrak kau yang kesakitan. Jangan cosplay jadi korban ya!"
Saat Felix hendak menulis, Dokter Mari melempar pulpen Felix ke dalam lapangan yang ada anak-anak sedang bermain bola didalamnya.
Felix geram dan menatap Dokter Mari penuh kebencian tapi Dokter Mari dengan santainya hanya duduk sambil mengisap permennya.
Felix ingin pergi meninggalkan Dokter Mari tapi kemudian ia terhenti saat,
"Aku sudah bilang kepada semua orang di panti untuk tidak memberikanmu alat tulis dan untuk panti asuhan yang berada ditengah hutan seperti ini tidak akan yang akan menjual pulpen atau apapun itu padamu."
Untuk pertama kalinya Felix tersenyum. Bukan tersenyum karena bahagia tapi karena tidak habis pikir, seperti seluruh dunia bergabung ingin mengerjainya.
Hingga tak ada jalan lain selain pergi ke lapangan dan mengambil penanya.
Saat berada ditengah lapangan dan memungut penanya, ia merasa diperhatikan oleh semua orang.
"Bisa oper bolanya?"
Ternyata bola ada disampingnya, Felix pun menendang bola itu kepada anak yang bertanya tadi dan mengopernya ke yang lain dan kemudian menghampiri Felix.
"Wah tendangan mu bagus juga, mau ikutan main? kamu bisa masuk di tim ku!"
Felix pun mengangguk.
"Namaku Cain," ia pun menepuk punggung Felix dan mulai berlari lagi mengejar bola.
"Pada akhirnya dia juga hanya seorang anak kecil," kata Dokter Mari sambil tersenyum dan menghembuskan napas kesal ketika merogoh sakunya dan permennya sudah habis.
***
Sejak saat itu Cain dan Felix sering bermain bola bersama walau Felix masih saja tidak mau berbicara terkadang membuat Cain sebal harus menunggu jawaban dari pertanyaan nya yang jika ditulis, Felix pun jawabannya hanya satu kata dan butuh waktu lama.
"Sepertinya sudah waktunya kamu untuk bicara lagi," kata Cain sambil menghembuskan napas.
Tak lama kemudian ada asap yang keluar dari jendela bangunan. Felix yang melihat itu langsung gemetaran dan duduk sambil menutupi wajahnya.
Cain yang bingung pun bertanya,
"Felix, kau kenapa?"
"CEPAT LARI DARI SINI!!!" teriak Felix lantang.
Akhirnya setelah 3 bulan lamanya Felix berbicara lagi.
...-BERSAMBUNG-...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 570 Episodes
Comments
gatauu
jejakk
2024-04-20
0
@Kristin
Komentar like dan Subscribed di sini juga o
2023-06-14
1
@Kristin
Komentar like dan Subscribed di sini juga
2023-06-14
1