Nayla, seorang ibu tunggal (single mother) yang berjuang menghidupi anak semata wayangnya, Nando, dan neneknya, tanpa sengaja menolong seorang wanita kaya yang kecopetan. Wanita itu ternyata adalah ibu dari Adit, seorang pengusaha sukses yang dingin namun penyayang keluarga. Pertemuan itu membuka jalan takdir yang mempertemukan dua dunia berbeda, namun masa lalu Nayla dan status sosial menjadi penghalang cinta mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon tanty rahayu bahari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26: Rasa yang Tak Bisa Bohong
Satu bulan kemudian.
Lantai 3 Rahardian Tower disulap menjadi arena pertarungan rasa. Hari ini adalah hari penentuan vendor katering baru untuk kantin karyawan.
Ada tiga kandidat yang lolos seleksi administrasi:
CV. Boga Prima: Pemegang kontrak lama, perusahaan katering besar dengan puluhan staf berseragam rapi.
Delight Catering: Katering hotel bintang tiga yang menawarkan menu western.
Dapur Nando: Usaha rumahan yang dikelola seorang ibu tunggal dengan satu asisten (Nenek Ijah yang bersikeras ikut membantu).
Nayla berdiri di belakang meja sajinya. Tangannya dingin dan sedikit gemetar. Ia mengenakan celemek bersih bertuliskan logo baru "Dapur Nando" yang didesain oleh Rian. Di sebelahnya, Nenek Ijah tampak tenang sambil mengelap piring saji, seolah sedang berada di dapur sendiri.
"Jangan minder, Nduk. Liat tuh sebelah, pancinya emang kinclong, tapi baunya kurang nendang," bisik Nenek Ijah menyemangati, melirik sinis ke arah chef berseragam putih tinggi di sebelah mereka.
Nayla tersenyum tipis. "Iya, Nek. Bismillah."
Menu andalan yang Nayla bawa hari ini bukan nasi uduk (karena untuk makan siang), melainkan Paket Nasi Liwet Komplit: Nasi liwet teri medan, ayam bakar madu, tumis daun pepaya (yang dijamin tidak pahit), tahu bacem, dan sambal bajak khas Nenek.
Masakan rumahan yang sederhana, melawan Chicken Cordon Bleu dan Beef Teriyaki dari kompetitor.
Pukul 11.30 WIB.
Panel juri memasuki ruangan. Mereka terdiri dari Kepala GA, Perwakilan Serikat Pekerja, dan 10 karyawan acak dari berbagai divisi yang dipilih sebagai taster.
Sistem penilaiannya adalah Blind Test. Makanan disajikan dalam piring bernomor tanpa nama katering.
Adit tidak ada di sana.
Sesuai janjinya, ia tidak ingin kehadirannya mempengaruhi objektivitas juri. Ia mengurung diri di ruangannya di lantai 40, memantau lewat layar CCTV dengan jantung berdebar lebih kencang daripada saat ia memimpin RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham).
"Ayo, Nay... Kamu pasti bisa," gumam Adit sambil meremas bola antistres di tangannya.
Di lantai 3, proses pencicipan dimulai.
Para juri mencicipi Piring A (Beef Teriyaki).
"Enak, tapi dagingnya agak keras. Sausnya terlalu asin," komentar salah satu karyawan.
Lanjut ke Piring B (Ayam Bakar Madu - Nayla).
Ruangan hening sejenak saat para juri menyuapkan nasi liwet dan ayam bakar itu.
Rian, yang terpilih menjadi salah satu juri perwakilan karyawan, memejamkan mata saat mengunyah.
"Gila..." gumamnya pelan. "Ayamnya lembut banget, bumbunya ngeresep sampe ke tulang. Dan tumis daun pepayanya... kok bisa nggak pait tapi tetep seger?"
Kepala GA, seorang bapak tua yang terkenal rewel soal makanan, mengangguk-angguk serius. Ia mengambil sendok sambal lagi. Dan lagi.
"Ini mengingatkan saya sama masakan ibu saya di kampung," komentar Kepala GA pelan. "Nasi liwetnya pulen, gurihnya pas, nggak bikin enek."
Lanjut ke Piring C (Chicken Cordon Bleu).
"Tepungnya ketebelan. Kejunya udah dingin jadi keras," kritik perwakilan serikat pekerja.
Setelah semua mencicipi, para juri berdiskusi sebentar dan mengisi lembar nilai. Nayla hanya bisa menunggu dengan napas tertahan di sudut ruangan bersama vendor lain.
Pukul 12.15 WIB. Pengumuman.
Kepala GA berdiri di depan podium kecil, memegang amplop hasil penilaian.
"Terima kasih kepada ketiga vendor yang sudah menyajikan menu terbaiknya. Berdasarkan akumulasi nilai dari segi rasa, kebersihan, presentasi, dan harga..."
Nayla meremas tangan Nenek Ijah.
"...Pemenang tender katering kantin Rahardian Group periode 2025-2026 adalah..."
Hening yang mencekam.
"...Peserta B, DAPUR NANDO!"
Tepuk tangan riuh membahana di ruangan itu. Rian bahkan berdiri dan bersorak paling kencang.
Nayla terpaku sejenak. Ia menang?
Ia mengalahkan katering hotel?
"Alhamdulillah!" seru Nenek Ijah, langsung memeluk cucunya.
Nayla menangis haru. Ia maju ke depan, menyalami Kepala GA dengan tangan gemetar.
"Selamat, Bu Nayla," ujar Kepala GA tulus. "Jujur, awalnya saya ragu sama katering rumahan. Tapi lidah nggak bisa bohong. Rasa masakan Ibu punya 'jiwa'. Karyawan pasti seneng makan siang di sini nanti."
"Terima kasih banyak, Pak. Saya janji akan jaga kualitasnya," jawab Nayla.
Di lantai 40, Adit melompat dari kursinya sambil mengepalkan tangan ke udara. "YES!!"
Sekretarisnya yang masuk mengantar berkas kaget melihat bosnya selebrasi sendiri. "Ada kabar baik, Pak? Saham naik?"
"Lebih bagus dari saham naik. Kita bakal makan enak tiap siang mulai besok!" seru Adit berseri-seri.
Sore harinya, setelah urusan kontrak selesai.
Nayla sedang membereskan peralatannya ketika pintu kantin terbuka. Adit masuk. Kali ini ia datang sebagai CEO, lengkap dengan jas rapinya, didampingi Pak Hadi HRD.
Semua orang di kantin langsung berdiri hormat.
"Selamat sore semua," sapa Adit berwibawa.
Ia berjalan lurus ke arah stan Dapur Nando. Nayla berdiri tegak, mencoba bersikap profesional meski hatinya berbunga-bunga.
"Selamat atas kemenangannya, Bu Nayla," ucap Adit formal, mengulurkan tangan.
"Terima kasih, Pak Aditya," Nayla menyambut uluran tangan itu. Genggaman mereka erat, menyalurkan pesan rahasia yang hanya mereka berdua yang tahu.
Aku bangga padamu.
Terima kasih sudah percaya padaku.
"Saya harap Ibu bisa memenuhi standar perusahaan kami. 500 porsi per hari bukan jumlah sedikit," lanjut Adit dengan nada bisnis.
"Siap, Pak. Saya tidak akan mengecewakan perusahaan... dan Bapak," jawab Nayla mantap.
"Bagus. Pak Hadi akan urus administrasi pembayaran uang muka. Pastikan semuanya lancar."
"Baik, Pak."
Adit hendak berbalik pergi, tapi ia berhenti sejenak dan berbisik sangat pelan, hanya bisa didengar Nayla.
"Nanti malem saya ke kontrakan. Nando minta pizza buat ngerayain kemenangan Ibu Bos."
Nayla menahan senyum, mengangguk kecil.
Adit berjalan keluar ruangan dengan langkah tegap. Di koridor, ia tersenyum lebar. Ia berhasil menahan diri untuk tidak memeluk Nayla di depan umum.
Nayla menatap punggung Adit yang menjauh. Ia melihat amplop kontrak di tangannya.
Nilai kontraknya cukup untuk melunasi hutang biaya rumah sakit dalam waktu setahun, bukan delapan tahun. Dan sisanya cukup untuk menyewa ruko yang lebih layak, menggaji karyawan, dan menabung masa depan Nando.
Nayla bukan lagi upik abu yang diselamatkan pangeran.
Dia adalah mitra bisnis sang pangeran.
Dia berdiri di atas kakinya sendiri.
"Ayo Nek, kita pulang," ajak Nayla pada Nenek Ijah. "Kita harus belanja ke pasar. Besok hari pertama kerja!"
"Ayo! Nenek mau beli daging rendang, mau masak spesial buat calon cucu mantu nanti malem," goda Nenek.
Nayla tertawa lepas. Hatinya penuh. Masa depan yang dulu gelap, kini terang benderang seperti matahari siang Jakarta.
...****************...
Bersambung...
Terima kasih telah membaca💞
Jangan lupa bantu like komen dan share❣️