Di kehidupan sebelumnya, Emily begitu membenci Emy yang di adopsi untuk menggantikan dirinya yang hilang di usia 7 tahun, dia melakukan segala hal agar keluarganya kembali menyayanginya dan mengusir Emy.
Namun sayang sekali, tindakan jahatnya justru membuatnya makin di benci oleh keluarganya sampai akhirnya dia meninggal dalam kesakitan dan kesendiriannya..
"Jika saja aku di beri kesempatan untuk mengulang semuanya.. aku pasti akan mengalah.. aku janji.."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aplolyn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 26
Keesokan paginya, halaman depan kediaman keluarga Hambert sudah ramai dipenuhi mobil mewah dan wartawan.
Kilatan kamera, suara mikrofon, dan kerumunan reporter menciptakan suasana heboh yang tidak biasa.
Emily berdiri di balik tirai kamarnya, menatap pemandangan itu dengan wajah muram.
"Apakah keputusanku benar? Huh.. yasudahlah.. lagi pula hidupku juga tidak akan lama lagi"
Ketukan terdengar di pintu. Ethan masuk dengan jas rapi, wajahnya penuh percaya diri.
Tadi malam Emily sudah memaksa agar dirinya bisa kembali ke apartementnya namun di tolak oleh sang ayah, dia menyuruh Emily menginap bahkan hari ini menyuruhnya untuk tidak pergi kuliah, tentu saja Emy pergi sehingga hanya dia, sang ayah dan Ethan di sana..
“Ayah sudah menunggu di ruang tamu. Pers sudah siap. Hari ini nama keluarga kita akan kembali bersinar.”
Emily menoleh dengan tatapan tajam. “Bersinar untuk siapa? Untuk keluarga, atau untukmu dan ayah?”
Ethan terdiam sebentar, lalu tersenyum tipis. “Untuk kita semua, Emily. Percayalah, ini langkah terbaik.”
Emily tidak menjawab, dia hanya mengambil gaun navy sederhana yang sudah disiapkan di atas tempat tidur.
Bukan gaun pesta besar, tapi cukup anggun untuk menampilkan citra seorang putri keluarga besar yang akan bertunangan dengan pewaris Hilton Grup.
Ruang tamu utama telah disulap menjadi ruangan konferensi pers kecil, karpet merah terbentang, bunga segar menghiasi setiap sudut, dan backdrop besar bertuliskan:
"Pertunangan Albert Raiko Hilton dan Emily Marleight Hambert"
Tuan Gerson berdiri di depan, penuh wibawa. Di sampingnya, Albert duduk tenang, jas hitamnya begitu rapi, wajahnya serius namun karismatik.
Para eksekutif Hilton Grup dan Hambert Grup duduk di kursi khusus, sementara wartawan menyiapkan pertanyaan.
Emily akhirnya masuk, semua kamera langsung mengarah padanya, kilatan lampu kamera menyilaukan, dia menegakkan tubuh, menampilkan senyum anggunnya.
Albert berdiri menyambutnya, lalu dengan sikap penuh perhitungan, dia mengulurkan tangan, Emily menatapnya sebentar sebelum akhirnya menyambut uluran itu.
Sorak kecil terdengar, kamera semakin gencar mengambil gambar.
Tuan Gerson membuka acara dengan suara lantang. “Hari ini, dengan penuh kebahagiaan, saya umumkan bahwa putri saya, Emily Hambert, akan resmi bertunangan dengan Tuan Albert Hilton, pewaris Hilton Grup. Pertunangan ini bukan hanya menyatukan dua individu, tetapi juga dua keluarga besar dan masa depan yang lebih kuat.”
Tepuk tangan terdengar, meski sebagian besar datang dari pihak keluarga dan tamu undangan. Para wartawan lebih sibuk menulis, mencatat, dan menyiapkan pertanyaan.
Salah satu reporter mengangkat tangan. “Tuan Albert, apa alasan Hilton Grup memilih Hambert Grup sebagai mitra strategis? Apakah ini semata bisnis, atau ada faktor pribadi?”
Semua mata tertuju pada Albert.
Pria itu tersenyum samar, lalu menjawab dengan suara dalam. "Hilton Grup selalu memilih mitra berdasarkan visi jangka panjang. Hambert Grup memiliki nilai yang sama dengan kami, dan tentu saja.. keputusan pribadi saya untuk bertunangan dengan Emily memperkuat ikatan itu. Namun, biar saya tegaskan, ini bukan sekadar pernikahan bisnis. Ini juga tentang hubungan pribadi yang saya pilih dengan sadar."
Kata-kata itu membuat riuh ruangan. Reporter lain segera mengajukan pertanyaan.
“Nona Emily, apakah Anda setuju dengan pertunangan ini sepenuhnya, atau hanya karena tekanan keluarga?”
Pertanyaan itu membuat ruangan hening. Semua menunggu jawabannya. Ethan tampak tegang, Tuan Gerson menatap tajam, memberi isyarat agar Emily berhati-hati.
Namun Emily mengangkat dagunya, tatapannya tenang namun penuh arti. “Saya tidak akan berdiri di sini jika saya tidak memilihnya. Keputusan ini adalah pilihanku, bukan sekadar paksaan. Jika aku menikah, itu karena aku siap mengambil jalan ini.”
Sorak dan tepuk tangan kembali terdengar, kali ini lebih meriah. Para wartawan sibuk menulis headline:
“Putri Hambert: Aku Memilih Pertunangan Ini.”
“Albert Hilton: Pernikahan Ini Bukan Sekadar Bisnis.”
Beberapa jam setelah konferensi, berita tentang pertunangan itu sudah menyebar luas. Media sosial penuh dengan foto-foto Emily dan Albert berdiri berdampingan.
Komentar warganet pun beragam.
[Mereka terlihat serasi banget! Pasangan bisnis sekaligus cinta, kayak drama Korea.]
[Apa benar-benar cinta? Jangan-jangan cuma bisnis doang.]
[Emily cantik sekali! Tapi tatapannya kok kayak dipaksa ya?]
[Albert Hilton itu dingin banget, tapi aku yakin dia sebenarnya jatuh cinta padanya.]
Di ruang pribadinya, Emily duduk di sofa sambil membaca berita dari ponselnya. Ia merasa seolah seluruh dunia menatap hidupnya, mengomentari setiap langkah yang bahkan baru saja di ambil.
Pintu diketuk, kali ini Albert yang masuk. Ia membawa secangkir teh hangat.
“Kau terlihat lelah,” katanya pelan.
Emily mendesah. “Aku tidak suka menjadi pusat perhatian seperti ini. Rasanya.. seperti semua orang menilai, padahal mereka tidak tahu apa pun tentangku.”
Albert meletakkan teh di meja kecil, lalu duduk di kursi seberang. “Aku mengerti. Dunia ini kejam, Emily. Mereka akan menilai tanpa tahu kebenarannya. Tapi biarlah mereka berbicara. Yang penting adalah apa yang kau putuskan untuk dirimu sendiri.”
Emily menatapnya lama. “Kau selalu terdengar begitu yakin.”
Albert tersenyum samar. “Karena kalau aku terlihat ragu, orang-orang akan menganggapku lemah. Dan dalam posisiku, kelemahan adalah sesuatu yang bisa membunuh.”
Albert menatapnya serius, lalu dengan nada tegas namun lembut, ia berkata, “Kau tidak sendirian. Ingat itu.”
Sementara itu, di ruang kerja Tuan Gerson, Ethan masuk dengan wajah serius.
“Ayah, aku khawatir. Publik memang mendukung, tapi Emily.. dia bukan tipe yang bisa dikendalikan lama-lama. Kalau suatu saat dia berubah pikiran di depan umum, itu bisa jadi bumerang.”
Tuan Gerson meletakkan cerutunya, wajahnya penuh keyakinan. “Tidak ada jalan kembali, Ethan. Begitu dunia tahu, Emily tidak punya pilihan selain melanjutkannya. Apa pun yang dia rasakan, dia akan tetap terikat.”
Ethan mengangguk, meski hatinya tetap gelisah, dia tahu Emily berbeda dan jika suatu saat Emily benar-benar melawan, bahkan Albert pun mungkin tidak bisa menahannya.
Malam harinya, Emily kembali ke apartemennya, dia duduk di depan meja dengan kanvas yang sudah di lukisnya meski baru setengah.
Beberapa hari yang lalu salah satu dosennya memberi tugas untuk membuat sebuah potret manusia, bukan orang random yang di lukis namun harus wajah dari salah satu keluarganya dan dari antara keluarganya, dia memilih untuk melukis ibu angkatnya dulu.
Meski akhirnya dia di usir, namun dia adalah satu-satunya ibu angkat yang tulus padanya.
"Jika memilih hidup kembali, aku ingin semua di ulang dari saat itu, seharusnya aku tidak kembali ke sini, seharusnya aku pergi mencari pekerjaan lebih cepat.."
Lalu Emily mengingat saat dimana dia pingsan dulu..
"Ah.. sama saja kalau aku pingsan lagi, mereka pasti menemukanku"
Kuas di tangan Emily terasa berat seolah ada ribuan beban yang membuatnya sulit berkreasi.
Ting..
Notifikasi pesan membuat Emily menunda pekerjaannya, disana ada pesan dari Albert.
[Jangan lupa, besok malam ada makan malam bersama keluarga besar..]