kisah nyata seorang anak baik hati yang dipaksa menjalani hidup diluar keinginannya, hingga merubah nya menjadi anak yang introvert dengan beribu luka hati bahkan dendam yang hanya bisa dia simpan dan rasakan sendirian...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Widhi Labonee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Terkena Panah Cupid
Tiwi tersenyum sendiri mengingat semua kejadian di musholla setiap kali dirinya tarawih. Masih dengan modus yang sama, cowok yang belakangan diketahui bernama Rudy Hartono itu pun selalu menggenggam jemarinya meski dilapisi kain gorden pembatas itu.
Tapi semalam saat ada kajian dan ceramah malam 17 ramadhan sesudah sholat witir, yang dilanjut dengan pembagian kue dan buah, cowok itu sedikit menyingkap gorden pembatas dan dengan tanpa ragu menggenggam jemari Tiwi secara langsung sepanjang acara.
Deg, pyaassssshhh…
Tiwi dapat merasakan jika wajahnya memerah sekarang. Jantungnya berdetak cepat diluar kendalinya. Ada rasa yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata yang hadir dalam hati gadis remaja itu. Ditariknya tangannya perlahan tapi genggaman itu malah semakin diperkuat oleh Rudy, memaksa Tiwi menyerah pasrah. Saat waktu pulang, Rudy sudah berdiri menunggu di depan gerbang.
“Boleh bareng pulangnya Dek?” tanyanya sembari tersenyum manis.
Tiwi yang saat itu sedang berjalan bersama teman-teman dan juga adik keponakannya itu pun menjadi malu. Karena menjadi bahan ceng-cengan semuanya.
“Suiiitt suiiitt… pacaran nih yee…” goda Suwarni yang rumahnya hanya berjarak empat rumah dengannya itu.
“Hayooo, mbak Tiwi pacaran..nanti aku bilangin Mbah Mirah lhooo..” kata Lili polos.
“Waduh, patahlah hati abang Dek, kalau ternyata dikau lebih memilih dia..” Fatkhur yang dari dulu mati-matian naksir Tiwi itu.
Rudy tertawa mendengar ucapan dan godaan dari anak-anak lain itu. Dia malah mengambil tempat berjalan di sisi kanan Tiwi. Agar gadis pujaan hatinya ini bisa berada di sisi dalam trotoar, sedang dia di sisi luar, ditepi jalan langsung.
“Kenapa? Malu ya..?” Tanya Rudy dengan tetap tersenyum pada Tiwi.
Melihat senyum itu, Tiwi rasanya ingin jungkir balik dan salto saking bahagianya.
“ Kok malah bengong Dek?”
“Nggak, ngapain malu? Kan masih pakai baju lengkap…” jawab Tiwi lirih.
Hahahahha… Rudy tertawa.
“Aku suka kamu Dek Tiwi,” ucap Rudy sambil memegang lengan gadis remaja yang menghentikan langkahnya itu karena kaget.
Saat ini mereka sedang berada di barisan paling belakang dari banyaknya anak yang berjalan pulang tarawih itu.
Andai tidak ditepi jalan, dan sedang berada di kamarnya, mungkin Tiwi akan memilih pingsan di tempat karena mendengar ungkapan hati cowok yang jadi idola banyak gadis itu.
“Bagaimana dengan kamu Dek? Apakah kamu juga punya rasa yang sama denganku?” tanya Rudy lagi.
Tiwi yang masih berusaha menata debaran jantungnya yang tidak beraturan itu pun hanya bisa menunduk. Kemudian dia memaksa melepaskan pegangan Rudy di lengannya, dia melanjutkan langkahnya menuju rumah dengan agak tergesa. Setengah berlari Tiwi meninggalkan Rudy yang masih memandangnya dengan pandangan penuh cinta itu.
‘Hm,, mungkin kamu masih malu mengakuinya Dek, aku akan menunggu jawaban darimu Dek…’ batin Rudy.
Kemudian dia pun melanjutkan langkahnya, menyeberang jalan dan masuk ke dalam lorong kecil yang merupakan jalan pintas menuju kost nya.
—---------
Di dalam kamar, Tiwi berdiri didepan kaca lemari milik neneknya yang cukup lebar itu. Dia memutar tubuhnya. Kemudian memegang kedua pipinya, dan tersenyum sendiri.
‘Apakah aku cantik? Mengapa mas Rudy bisa suka sama aku ya? Padahal aku kerempeng, hidungku juga nggak mancung. Hm, mungkin dia cuma menggodaku saja, tidak serius…’ batin Tiwi.
Ceklek.
Pintu Kamar neneknya dibuka dari luar. Dan bu Mirah pun masuk. Setelah menutup dan mengunci kembali pintu kamar itu bu Mirah naik ke ranjang , bersiap untuk tidur. Karena nanti harus bangun jam dua malam untuk memasak nasi untuk makan sahur. Ismawan tidak mau makan sahur dengan nasi dingin. Dia minta disediakan nasi panas. Sedangkan di tahun itu 1989 masih belum ada magiccom kan? Jadi terpaksa bu Mirah yang bangun pagi sekali untuk menanak nasi.
Melihat sang cucu yang berdiri berkaca, tidak biasanya itu, akhirnya wanita tua itu bertanya.
“ Kok tumben malam-malam berkaca Wi?”
Tiwi meringis sambil cengar cengir.
“Aku ini cantik apa ndak to Mbah?”
Bu Mirah tertawa kecil. Dia merasa lucu dengan pertanyaan sang cucu ini.
“Yaaa..jangan diketawain dong Mbahhhh…aku beneran tanya loh ini.” Ujar Tiwi merajuk.
“ Iya iya Ndhuk, maaf… kamu itu memang cantik, siapa yang berani mengatakan kamu jelek akan berhadapan denganku nanti. Biar aku jewer telinganya satu persatu,”bu Mirah berkata dengan nada serius.
“Hm..beneran mbah? Nggak bohong kan?” Tanya Tiwi mencoba meyakinkan.
“Iya…sumpah !” jawab si mbah tegas.
Tiwi pun tersenyum, lalu segera naik ke ranjang dan merebahkan diri di sebelah sang Nenek. Dengan penuh kasih bu Mirah membelai kepala gadis remaja disampingnya ini.
“ Kamu Itu beneran cantik Ndhuk, wajahmu itu tidak bosenin buat siapa saja yang memandangmu. Sekarang kamu sudah jadi gadis remaja. Ibarat bunga kamu adalah kuncup yang mulai mekar. Jadi akan banyak kumbang di luaran sana yang ingin hinggap mencium keharuman bunga itu. Untuk itu kamu harus pandai menjaga dirimu. Jangan sampai kamu salah langkah apalagi salah pilih. Mbah ndak ingin kamu menyesal seperti ibumu itu…” nasehat bu Mirah pada Tiwi.
Gadis remaja itu mendengarkan semua nasihat neneknya itu dengan seksama dan mencoba meresapi maksudnya. Selama ini dia banyak mendengar nasihat hidup dari sang Nenek menjelang tidur begini. Ibunya sudah tidak pernah lagi memperhatikan dirinya. Urusannya hanya berkutat tentang perputaran uang dalam perusahaan suaminya. Lainnya tentang rumah dan anaknya dia tidak mau tau. Bahkan Tiwi pun sekarang sudah sangat jarang bicara dengan ibunya. Pun dengan sang Bapak, hanya sesekali bentakan dia dapat jika Mas Adi atau dirinya dinilai melakukan kesalahan yang tidak sesuai dengan aturannya. Selebihnya mereka tidak lagi sering bicara sebagai bapak dan anak.
Menyedihkan Bukan?
—------------
Pagi ini Tiwi sedang berjalan kaki berangkat ke sekolah. Hari-hari menjelang Ujian Akhir Nasional tinggal menghitung jari. Hari Raya Fitri sudah terlewatkan beberapa minggu lalu. Sejak peristiwa ungkapan hati dari Rudy itu Tiwi tidak pernah lagi bertemu dengan cowok itu. Memang sampai menjelang akhir puasa dia masih mengikuti tarawih dan seperti biasanya, Rudy masih menggenggam jemarinya di balik gorden pembatas. Tetapi saat pulang, Tiwi tidak pernah mendapati cowok itu berdiri didepan gerbang untuk menunggunya dan pulang bersama kembali. Ada sebait rasa rindu di hatinya ingin melihat wajahnya meski hanya sebentar. Tapi rupanya cowok itu menghilang entah kemana.
Dengan langkah agar cepat Tiwi berjalan menyusuri tepian jalan raya menuju sekolahnya. Tiba-tiba dia dikejutkan dengan kemunculan cowok yang selama ini memenuhi pikirannya itu. Tampak dia naik sepeda motor dengan mengenakan seragam SMA nya. Berhenti di depan Tiwi.
“Assalamualaikum Dek. Apa kabarmu? Mau berangkat sekolah ya? Ayo aku antar kamu dulu…” ujarnya lagi-lagi sambil melempar senyum manisnya.
Tiwi yang tengah menata nafasnya itu pun bingung harus bagaimana. Menerima Tawaran Itu atau menolaknya. Tapi waktu terus bergulir, dan Tiwi tidak mau dihukum lari putar lapangan jika dia terlambat nanti.
Akhirnya dia memutuskan untuk menerima tawaran dari Rudy. Yang kemudian menyuruhnya naik ke boncengan.
Tiwi pun naik ke boncengan belakang Rudy dan duduk dengan manis. Rudy pun melajukan motornya pelan, tanpa diduga dia menarik tangan Tiwi untuk memeluk pinggangnya.
Tiwi yang tidak siap itu pun kaget dan malah hampir jatuh tubuhnya membentur punggung lebar Rudy. Hidung Tiwi membentur punggung kokoh itu dan tercium bau harum parfum khas lelaki yang cukup maskulin itu..
Rudy tertawan kecil dan tangan kirinya memegang erat tangan Tiwi di pinggangnya, juga membelai lembut punggung tangan Tiwi itu.
Entah bagaimana lagi harus menggambarkan perasaan hati Tiwi saat ini. Pokoknya dia harus menjaga kewarasan otaknya yang tiba-tiba berisik ini.
Sesampai di depan sekolah Tiwi, Rudy menghentikan motornya. Tapi Tiwi masih belum turun dari boncengannya.
“Dek? Sudah sampai nih? Ketiduran?” Tanya Rudy lembut sembari mengusap-usap tangan Tiwi.
Gadis remaja yang segera sadar dari lamunan nggak jelasnya itu pun tergeragap turun dari motor.
“Eh, oh, eng..makasih banyak Mas..” ujarnya gugup.
Rudy tersenyum, dan saat Tiwi berbalik hendak melangkah masuk ke halaman sekolahnya itu, tiba- tiba Rudy menahan lengannya, membuat Tiwi menoleh.
“Ini, buatmu, bacalah nanti saja di rumah. Belajar yang rajin ya…” ujar pemuda itu sambil menyerahkan sebuah surat yang dia ambil dari saku baju seragamnya itu.
Tiwi pun mengangguk, lalu segera berlari masuk ke sekolahnya. Rudy memandangnya sambil menggelengkan kepalanya.
‘ Masih malu aja kamu Dek.. jadi makin gemes…’ batin Rudy dan segera menstarter motornya lalu beranjak dari depan gerbang sekolah Tiwi.
*********
Apa isi surat itu yaaa??
Hm… jadi pinisirin..