Dulu, Kodasih adalah perempuan cantik yang hidup dalam kemewahan dan cinta. Namun segalanya telah lenyap. Kekasih meninggal, wajahnya hancur, dan seluruh harta peninggalan diambil alih oleh negara.
Dengan iklas hati Kodasih menerima kenyataan dan terus berusaha menjadi orang baik..
Namun waktu terus berjalan. Zaman berubah, dan orang orang yang dulu mengasihinya, setia menemani dalam suka dan duka, telah pergi.
Kini ia hidup dalam bayang bayang penderitaan, yang dipenuhi kenangan masa silam.
Kodasih menua dan terlupakan..
Sampai suatu malam...
“Mbah Ranti... aku akan ke rumah Mbah Ranti...” bisik lirih Kodasih dengan bibir gemetar..
Mbah Ranti adalah dukun tua dari masa silam, penjaga ilmu hitam yang mampu membangkitkan apa pun yang telah hilang: kecantikan, harta, cinta... bahkan kehidupan abadi.
Namun setiap keajaiban menuntut tumbal..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arias Binerkah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 25.
Arjo berdiri tegak di tengah ruangan, tongkat kayunya mengeluarkan suara krek halus saat ia menggesernya ke depan, tepat mengarah ke dada Kodasih.
“Saiki tugasmu: eling elingen kabeh rasa sing tau panjenengan tutup… lan kenalno marang bayangan iki.”
(Sekarang tugasmu: ingat semua rasa yang pernah kau kubur… dan perkenalkan pada bayanganmu.)
Kodasih menelan ludah. Napasnya membeku di tenggorokan.
Bayangan di hadapannya bergerak.. bukan seperti manusia bergerak, melainkan seperti kabut hitam yang mengerti rasa takut.
Ia menatap makhluk itu. Dan seketika, tanpa permisi, kenangan kenangan itu membanjirinya.
Kehidupan susah di saat ia kecil,.. tubuh menggigil dingin.. perut sakit karena kelaparan.. perasaan ketakutan oleh bentakan para priyayi dan Tuan Nyonya Belanda..
Warastri, dengan senyum lembut yang dulu menjadi cahaya hidupnya, pergi bersama keluarganya...
Pak Sastro, Pak Karto, Mbok Piyah... yang harus pergi ke alam lain karena usia..
Taniguchi, lelaki asing bermata dalam berwajah tampan, yang nyaris membuat hatinya hidup kembali, namun justru menghancurkan wajahnya hingga ia tak mengenali diri sendiri... ternyata Taniguchi hanya memberi harapan palsu..
Dusun....desa... yang perlahan menjauh.
Bisik bisik warga di belakang punggung.
Kesepian yang merayap di malam malam panjang... bahkan di sepanjang hari hari tuanya..
Tubuh menua. Kulit mengeriput.
Kerinduan terlarang untuk tetap muda… tetap cantik… tetap dianggap ada....
Kodasih menahan napas, tetapi ingatan itu menancap seperti ratusan jarum panas.
Bayangan itu menajamkan bentuknya. Dari kabut menjadi siluet... Dari siluet menjadi makhluk...Dan dari makhluk menjadi sesuatu yang tampak… kelaparan....
Ia mendesis.
“Das…siiiih… iki… pangananku…”
(Dasih… itu makananku…)
Kodasih hampir ingin mundur. Tapi dia memaksa dirinya tetap diam.
“Aku tahu,” katanya lirih. “Kau hidup dari rasa sakitku.”
Bayangan itu melangkah. Suara pijakan tak ada. Tapi Kodasih merasakan lantai bergetar.
“Tanpa aku… kowe ringkih…”
(Tanpa aku… kau lemah…)
Kodasih mengembuskan napas, dingin, gemetar.
“Tanpa kau… aku tidak sempurna.”
Dan untuk pertama kali, bayangan itu tampak bingung.
Ia berhenti. Menggunakan bentuk kepala samar untuk memiringkan diri, seperti anak kecil yang tidak memahami kalimat yang baru ia dengar.
Arjo tiba tiba berteriak:
“SEKARANG, NYI! SEBUTKAN NAMAMU!”
Kodasih merasakan sesuatu naik dari perutnya.. bukan keberanian, tapi kemarahan yang sudah lama ia kubur.
Ia menatap makhluk itu dan berseru:
“Aku Dasih.
Aku Kodasih.
Aku cantik. Aku dukun sepuh.
Aku orang gelap. Aku orang terang.
Aku keduanya.”
Bayangan itu bergetar keras.. seperti kain basah yang diperas petir.
Lalu pecah.
Tubuhnya meleleh menjadi cairan hitam pekat yang merangkak di lantai seperti darah yang mencari pulang.
Cairan itu melompat ke dada Kodasih.
WUUUUUUUSSSHHHH...
Seluruh joglo berderak, angin menderu dari arah yang bukan dari pintu ataupun jendela.
Tubuh Kodasih terpental. Ia menjerit, suaranya seperti robek.
Arjo menahan bahunya, berusaha membuatnya tetap duduk.
“Nyi! Tarik napas! Panjenengan bukan korban! Bukan budak! Tetapi panjenengan TUAN, pemilik bayang itu!”
Kodasih gemetar hebat. Bagian gelap dalam dirinya berputar seperti badai. Ia menggigit lidahnya sampai logam besi... darah.. terasa di mulut.
Dan kemudian.. senyap.
Kodasih membuka mata.
Mata manusia.
Dan mata gelap yang bukan dari dunia ini.
Keduanya miliknya.
Arjo tersenyum tipis.
“Selesai, Nyi…”
Di belakang Kodasih, selendang bayangan menjulur… memanjang… berdenyut seperti makhluk yang baru lahir.
Ia berdiri.
Masih goyah.
Tetapi berdiri.
Arjo menunduk hormat.
“Panjenengan… Ratu Bayangan... Penguasa bayangan.”
Dari dalam dada Kodasih, suara berbisik:
“Kita saiki siji… wong-wong sing nuduh kowe… bakal ngrasakke wujudmu sing sejati…”
(Kita kini satu… dan mereka yang merendahkanmu… akan merasakan wujudmu yang sebenarnya…)
Kodasih tersenyum pelan.
Dan itu bukan senyum manusia.
🌑🌑🌑
Sejak malam itu, udara di sekitar joglo berubah, menjadi lebih berat, lebih pekat.. Meskipun warga sudah bergotong royong membersihkan dan memperbaiki joglo Kodasih
Tidak ada yang bisa melihat perubahannya dengan jelas.. tapi orang orang merasakan sesuatu yang menempel pada kulit mereka setiap kali berada atau hanya sekedar lewat di dekat joglo tua itu.
Sesuatu yang mengawasi...
Sesuatu yang menunggu...
Suatu sore Kodasih duduk di serambi. Sayap bayangannya.. karena itu bukan lagi sekadar selendang.. namun bergerak pelan seperti bernapas.
Ia bergumam:
“Wes wayahe aku mbayar utangku marang urip.”
(Sudah waktunya aku membayar hutangku pada hidup.)
Bayangan dalam dadanya membalas:
“Lan urip bakal mbayar bali marang kowe.”
(Dan hidup akan membayar kembali padamu.)
Di kejauhan, anjing anjing di dusun bawah tiba tiba menggonggong, melolong... tapi tidak berani mendekat.
“AAAAAAAAUUUUUUUUUU”
“Aaaaauuuuuuuuuuuuuu....”
Waktu pun terus bergulir, di malam harinya..
Seorang ibu mengetuk pintu joglo sambil menggendong anak laki lakinya yang pucat kebiruan. Tubuhnya sangat panas. Dokter puskesmas bahkan dokter kota sudah angkat tangan.
Perempuan itu mendapat bisikan dalam hatinya, agar membawa anaknya ke Joglo Nyi Kodasih..
“Nyi… nyuwun tulung…”
(Nyi… mohon tolong…)
Kodasih membuka pintu perlahan. Sorot matanya.. dua lapis itu.. membuat perempuan tersebut mundur setengah langkah.
Kodasih tidak berkata apa apa. Ia hanya menatap anak laki laki di dalam gendongan itu..
Bayangan di belakangnya memanjang, menyeret lantai, bergerak bagai akar pohon kuno.
Perempuan itu berbisik, ngeri, “N… niku opo…?”
(Itu… apa…?)
“Aku hanya melihat keadaannya.” Ucap pelan Kodasih..
Bayangan itu terus bergerak.. menyentuh dada anak itu, menembus kulitnya tanpa luka. Bocah itu menjerit keras, tubuhnya melengkung seperti dipelintir sesuatu dari dalam.
Setitik asap hitam keluar dari pori pori sang anak.
Kodasih mengusap dahinya.
“Wes metu. Sing mangan panasé wis tak buwang.”
(Sudah keluar. Yang memakan panas tubuhnya sudah kubuang.)
Nafas bocah itu langsung teratur.
Ibunya menangis dan mencium tangan Kodasih.
“Matur nuwun… matur nuwun… Nyi..”
(Terima kasih… terima kasih… Nyi..)
Namun dari dalam, bayangan bergemuruh:
“Enak, Dasih… rasa lara iku… panganan manis…”
(Enak, Dasih… rasa sakit itu… makanan manis…)
Kodasih menahan bisikan itu.
“Tenang. Kita tidak memangsa manusia. Kita hanya menolong.”
Bayangan itu hanya tertawa pendek.
Beberapa hari kemudian, seorang pemuda datang di malam buta.
“Nyi… aku pingin dheweke ndelok aku… ora kudu tresna… mung ndelok wae ora opo opo…”
(Aku ingin dia melihatku… tidak perlu mencintaiku… hanya melihatku saja tidak apa apa…)
Kodasih mengamati rautnya.
Ada luka batin yang manis....setidaknya bagi bayangan dalam dirinya.
Ia mengambil minyak gelap dari botol tua.
“Tutup matamu.” Perintah Kodasih pada pemuda itu
Bayangan itu merayap, masuk ke ubun ubun pemuda itu..
Pemuda itu mengerang .....
yakinlah bahwa setial karya mu akan jadi
pelajaran di ambil.sisi baik nua dan di ingat sisi buruk nya
mksh mbk yu dah bikin karya yg kuar biasa
"Angin kotor " aku bacanya "Angin kolor" 🤣🤣🤣 mungkin karena belum tidur semalaman jd bliur mataku 🤣🤣🤣🤣