Satu-satunya hal yang lebih buruk dari dunia yang rusak adalah mengetahui ada dunia lain yang tersembunyi di baliknya... dan dunia itu juga sama rusaknya.
Rania (21) adalah lulusan arsitektur terbaik di angkatannya. Sekarang, dia menghabiskan hari-harinya sebagai kurir paket. Baginya, sarkasme adalah mekanisme pertahanan, dan kemalasan adalah bentuk protes diam-diam terhadap industri yang menghancurkan idealisme. Dia hanya ingin hidup tenang, mengabaikan dunia, dan membayar sewa tepat waktu.
Tapi dunia tidak mau mengabaikannya.
Semuanya dimulai dari hal-hal kecil. Bayangan yang bergerak sepersekian detik lebih lambat dari seharusnya. Sensasi dingin yang menusuk di gedung-gedung tua. Distorsi aneh di udara yang hanya bisa dilihatnya, seolah-olah dia sedang melihat kota dari bawah permukaan air.
Rania segera menyadari bahwa dia tidak sedang berhalusinasi. Dia adalah satu-satunya yang bisa melihat "Dunia Cermin"-sebuah cetak biru kuno dan dingin yang bersembunyi tepat di balik realita
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PumpKinMan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 26: RESONANSI SPASIAL
Lampu neon tunggal di atas kepala mereka berdengung dengan frekuensi rendah yang tidak stabil, memandikan interior trailer kontainer yang berkarat itu dengan cahaya hijau pucat yang sakit-sakitan.
Di luar, generator diesel yang mereka hidupkan mengeluarkan suara *thrum-thrum-thrum* yang teredam, sebuah detak jantung mekanis di dalam kuburan beton.
Reza tertidur. Atau setidaknya, dia *berpura-pura* tertidur.
Dia berbaring miring di atas terpal yang berdebu, matanya terpejam rapat, tetapi tubuhnya kaku karena tegang. Dia terlalu takut untuk bergerak. Dia telah menyaksikan Rania, temannya, menghabiskan dua puluh menit terakhir dengan efisiensi yang dingin untuk menghidupkan generator tua, menyambungkan kabel, dan membangun pos komando darurat.
Dia mengintip dari balik bulu matanya.
Rania duduk di depan monitor CRT tua itu. Wajahnya, yang dulu selalu diwarnai oleh sarkasme atau kelelahan idealistis, kini menjadi topeng yang tenang dan tidak terbaca. Diterangi oleh cahaya hijau monitor, dia tampak seperti sesuatu yang lain. Sesuatu yang *kuno*. Dia tidak terlihat kedinginan. Dia tidak terlihat takut. Dia hanya... *bekerja*.
Reza memejamkan matanya lagi, berpura-pura tidur. Dia lebih takut pada temannya yang "sunyi" ini daripada pada monster di luar.
Di depan layar, Rania mengabaikan segalanya. Dia mengabaikan bau apak di trailer. Dia mengabaikan suara generator. Dia mengabaikan denyutan samar rasa sakit dari luka bakar di lehernya.
Pikirannya jernih. Efisien.
Di layar, folder-folder *hard drive*-nya terbuka. *'CATATAN KULIAH'*, *'TUGAS_DESAIN_3D'*, *'REFERENSI_VISUAL'*.
Dan folder utamanya: *'SKRIPSI_MASTER_FINAL_OK_BANGET'*.
Nama folder yang konyol. Sebuah peninggalan dari Rania yang *dulu*. Rania yang masih percaya pada ironi.
Rania yang "sekarang" mengabaikan sentimen itu. Dia mengklik folder itu.
Dia tidak membuka file dokumen utamanya. Belum. Dia membuka sub-folder: *'CATATAN_LAPANGAN_SITUS_KUNO'*.
Rangkaian file gambar dan dokumen teks terbuka. Ini adalah inti dari penelitiannya. Foto-foto yang dia ambil sendiri selama program studi lapangan yang melelahkan.
Dia mengklik sebuah file: *'CANDI_GEDONG_SONGO_ANALISIS.txt'*.
Dia membaca catatannya sendiri. Kata-kata itu terasa asing, ditulis oleh orang lain yang penuh gairah.
*Rania (Dulu): "Gila. Ruang utama di Candi III terasa... menekan. Bukan menakutkan, tapi 'berat'. Langit-langitnya rendah, dan pintunya sangat sempit. Aku harus menunduk untuk masuk. Rasanya... seperti ada yang sengaja merancang ruang ini untuk membuatmu merasa kecil, merasa 'tunduk' sebelum kau melihat arca di dalamnya. Ini bukan hanya struktur; ini adalah manipulasi emosi."*
Rania (Sekarang) menatap teks itu. Amulet di dadanya terasa dingin. Otaknya yang logis menerjemahkan data emosional itu.
*Terjemahan:* "Fungsi: Penekanan Gema-Ego. Pintu yang menyempit (compression portal) memaksa subjek menunduk, mengubah postur, yang secara langsung membatasi aliran Gema personal. Langit-langit rendah menciptakan 'tekanan' spasial, membuat Gema eksternal (dalam hal ini, Gema 'kekudusan' yang disengaja) terasa lebih dominan. Ini adalah bentuk dasar dari kontrol Gema arsitektural."
Rania bersandar di kursinya.
Dia baru saja membaca ulang catatannya, dan itu adalah sebuah paragraf dari manual instruksi supernatural.
Dia mengklik file lain. *'BOROBUDUR_ANALISIS_AKUSTIK.txt'*.
*Rania (Dulu): "Mereka bilang stupa berlubang di tingkat atas itu memiliki 'keajaiban' akustik. Aku mencobanya. Aku bersenandung dengan frekuensi rendah ke dalam salah satu lubang. Getarannya... aneh. Tidak memantul. Rasanya seperti... 'diserap' oleh batunya. Seluruh lantai itu terasa seperti garpu tala raksasa yang mati. Sangat sunyi di atas sana, bahkan di tengah keramaian."*
*Terjemahan:* "Struktur: Peredam Resonansi. Batu andesit, dipotong dengan presisi geometris spesifik (Stupa) dan diatur dalam pola fraktal (denah mandala), menciptakan 'kandang Faraday' akustik dan Gema. Mampu menyerap dan menetralkan frekuensi Gema yang liar. Ini adalah 'Segel' arsitektural. Mirip dengan teknologi Dion, tapi pasif dan permanen."
Rania menutup file itu. Tangannya sedikit gemetar.
Itu semua ada di sana. Selama empat tahun, dia telah, tanpa sadar, mendekonstruksi sihir kuno dan menuliskannya sebagai esai arsitektur. Dia telah memetakan "Titik Buta", "Peredam", dan "Segel" di seluruh negeri.
"Bima..." bisiknya pelan.
Dia tahu Bima sedang mengincarnya. Dia tahu Bima telah mengejek penelitian ini. Dan kini dia tahu *mengapa*.
Bima tidak mengejeknya karena itu "omong kosong". Dia mengejeknya karena Rania *tidak tahu* apa yang sebenarnya telah dia temukan. Dia seperti seorang anak kecil yang bermain dengan granat, mengira itu adalah mainan batu yang menarik.
Dia membuka file terakhir di dalam folder itu. Sebuah pindaian (scan) yang buram dari buku perpustakaan yang langka—buku yang dia temukan di bagian referensi khusus dan tidak diizinkan untuk dibawa pulang.
Judulnya: *"Geometri Suci dan Denah yang Tak Terlihat."*
Pindaian itu menunjukkan sebuah diagram. Pola geometris yang sangat rumit, terdiri dari lingkaran-lingkaran yang saling bersinggungan dan garis-garis presisi yang membelah bidang.
Dia menatapnya, dan rasa dingin yang familiar menjalari dirinya, menembus kebisuan amulet itu.
Dia mengenali pola itu.
Itu bukan hanya "Geometri Suci".
Itu adalah versi yang lebih tua, lebih kompleks, dan lebih *sempurna* dari sigil yang dia lihat di ruang bawah tanah Reza.
Itu adalah tanda tangan "Sang Geometer".
Dia telah menatap wajah musuhnya selama bertahun-J. Dia mengira itu adalah penelitian. Ternyata itu adalah peringatan.
Dia menutup folder "Catatan Lapangan" dan membuka file dokumen utamanya.
*'Resonansi Spasial: Analisis Pola Arsitektur Kuno dan Dampaknya Terhadap Persepsi Emosional Manusia.'*
Oleh: Rania Alamsyah.
Dia mulai membaca kata pengantarnya sendiri.
*"...Arsitektur lebih dari sekadar perlindungan. Arsitektur adalah bahasa. Ia adalah narasi yang kita bangun di sekitar kita. Dinding-dinding ini berbicara kepada kita dalam bisikan proporsi, cahaya, dan material. Mereka dapat membuat kita merasa aman, atau takut. Bebas, atau tertindas. Tujuan dari tesis ini adalah untuk berdebat bahwa ini bukan kebetulan, melainkan 'niat' desain yang disengaja oleh para arsitek kuno—sebuah teknologi emosional yang telah kita lupakan..."*
Kata-kata itu... *hangat*.
Mereka penuh gairah. Idealisme. *Kekacauan*.
Saat Rania (Sekarang) membacanya, dia merasakan sesuatu yang aneh.
Sebuah *glitch*.
Amulet di dadanya berdengung pelan, tidak nyaman. Logika dinginnya yang efisien berbenturan dengan data emosional yang datang dari layarnya.
Dia sedang membaca kata-kata dari dirinya yang "tidak ter-filter".
Sesaat, dia merasakan gelombang kesedihan yang luar biasa atas gadis yang menulis itu. Gadis yang begitu percaya pada "teknologi emosional" dan kini terjebak dalam tubuh yang dibisukan oleh "teknologi Gema".
Dia tersentak, mendorong kursinya menjauh dari meja.
Rasa sakit. Bukan rasa sakit fisik. Tapi rasa sakit *emosional*. Dan itu, entah bagaimana, berhasil menembus perisai amulet itu.
Batu itu tidak bisa menyaring data yang berasal dari *dirinya sendiri*.
Dia mencengkeram amulet itu. Dingin. Menenangkan. Dia memaksa emosi itu turun. Dia memaksa "Rania yang Dulu" kembali ke dalam kotak.
"Data tidak relevan," dia memaksa dirinya untuk berkata pada trailer yang kosong. "Itu... kontaminasi sentimental."
Dia kembali ke komputer, tapi dia tidak lagi membaca paragrafnya. Dia menggulir cepat ke bawah, melewati ratusan halaman teori dan argumen.
Dia berhenti di *Lampiran D: Kalkulasi Material dan Sudut.*
Ini dia. Dagingnya.
Halaman demi halaman berisi diagram garis murni. Perhitungan sudut presisi untuk "pembatalan akustik". Komposisi kimia batu andesit versus marmer dalam "konduktivitas Gema".
Ini bukan lagi tesis. Ini adalah buku resep.
Buku resep yang dicari Bima untuk membangun kuilnya. Buku resep yang bisa digunakan Ordo Pembersih untuk menyempurnakan senjata mereka.
Dan buku resep yang bisa Rania gunakan untuk... melawan.
Dia sedang mempelajari diagram untuk "Fokus Resonansi Lensa Ganda" (sebuah desain amfiteater kuno) ketika dia mendengarnya.
Atau lebih tepatnya, ketika Reza mendengarnya.
Reza, yang tadinya meringkuk diam, tiba-tiba duduk tegak. Matanya terbelalak, bukan lagi kusam, tapi penuh dengan adrenalin baru yang panik.
"Ssst!" desisnya.
Rania membeku. Dia mendengarkan.
Dia hanya mendengar dengungan generator dan angin malam yang samar. Amuletnya membisukan segalanya.
"Apa?" bisiknya.
"Seseorang... di luar," bisik Reza. "Aku dengar... langkah kaki. Di kerikil."
Rania langsung bergerak. Dia tidak panik. Dia efisien.
Dia mengulurkan tangan dan, dengan satu gerakan cepat, mematikan saklar lampu neon di atas kepala.
*KLIK.*
Trailer itu langsung terjerumus ke dalam kegelapan pekat, satu-satunya cahaya kini adalah cahaya hantu dari monitor CRT yang masih menyala.
Dia meraih pipa rebar-nya.
"Matikan generatornya," bisiknya pada Reza. "Itu terlalu berisik."
"Generatornya ada di luar!"
"Lewat jendela belakang. Tombolnya merah. Tekan."
Reza merangkak ke jendela kecil di belakang trailer.
Rania bergerak ke pintu depan kontainer, menekan dirinya ke dinding logam yang dingin. Dia mengintip melalui celah kecil di dekat engsel.
Dia tidak melihat apa-apa. Hanya kegelapan dan pilar-pilar beton yang samar.
*THUD. THUD. THUD.*
Jantung Rania meloncat. Bukan langkah kaki. Seseorang... sedang mengetuk. Mengetuk *kontainer mereka*.
Lalu sebuah suara. Suara seorang wanita. Terdengar tegang, tapi berusaha terdengar profesional.
"Halo?"
Reza membeku di dekat jendela.
"Halo! Ada orang di dalam?" panggil suara itu. "Saya... saya wartawan! Saya tidak bersenjata! Saya... saya menerima email Anda!"
Rania dan Reza saling memandang dalam kegelapan yang diterangi layar.
*Email?*
Rania memfokuskan pandangannya melalui celah. Dia melihatnya sekarang. Sebuah sosok ramping, memegang sesuatu yang besar (kamera?) dan senter. Seorang wanita. Sendirian.
Dia terlihat... normal.
"Jangan jawab," bisik Reza. "Itu jebakan. Itu pasti salah satu dari mereka."
"Mereka tidak mengetuk," balas Rania pelan. "Mereka mendobrak."
Dia menatap *hard drive*-nya yang masih terhubung ke komputer. Datanya. Lalu dia menatap wanita di luar.
Ini adalah variabel yang tidak terduga. Sebuah desain yang kacau.
Dia tidak bisa membiarkannya. Dia perlu tahu siapa dia.
Dia meletakkan rebar-nya, membuat keputusan sepersekian detik. Dia berjalan ke monitor dan mematikannya.
Kegelapan total.
Dia berjalan ke pintu.
"Halo?" balas Rania, suaranya terdengar keras di malam yang sunyi.