"Tolong mas, jelaskan padaku tentang apa yang kamu lakukan tadi pada Sophi!" Renata berdiri menatap Fauzan dengan sorot dingin dan menuntut. Dadanya bergemuruh ngilu, saat sekelebat bayangan suaminya yang tengah memeluk Sophi dari belakang dengan mesra kembali menari-nari di kepalanya.
"Baiklah kalau tidak mau bicara, biar aku saja yang mencari tahu dengan caraku sendiri!" Seru Renata dengan sorot mata dingin. Keterdiaman Fauzan adalah sebuah jawaban, kalau antara suaminya dengan Sophia ada sesuatu yang telah terjadi tanpa sepengetahuannya.
Apa yang telah terjadi antara Fauzan dan Sophia?
Ikuti kisahnya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 𝐈𝐩𝐞𝐫'𝐒, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 26
Renata tulikan pendengarannya saat ponsel yang ia letakkan di atas nakas terus berdering, hanya menoleh sekilas memastikan siapa yang menghubunginya. Setelah tahu siapa sang pemanggil ia kembali menggulung tubuhnya dengan selimut, hujan yang merintik sejak jam 10an membuat suhu semakin dingin sehingga tubuh malas untuk bergerak turun dari tempat tidur.
Jarum jam terus berdetak membersamai malam yang sunyi ditemani rintik hujan yang menimpa atap dan dedaunan, menjadi melodi yang kian mengundang rindu. Namun di saat bersamaan pula kantuk mulai datang menyapa, membelai raga yang lelah dalam penantian. Mengantarkan jiwa pada ketenangan dari lelah yang tak berujung.
.
.
Renata mengerjap saat samar-samar suara adzan Subuh berkumandang. Ia bangkit tetapi tak langsung turun dari tempat tidur, ia memilih duduk bersila sembari menggulung rambutnya. Ponsel yang berada di atas nakas hanya diliriknya tanpa disentuh, padahal biasanya benda pintar tersebut menjadi tujuan utama saat bangun tidur. Entah itu ada hal yang penting atau tidak, tapi benda tersebut seakan menjadi hal yang tidak boleh terlewat untuk di cek. Meskipun hanya sekedar melihat waktu yang jelas-jelas sudah ada penunjuknya yang menempel di dinding.
Renata langkahkan kakinya menuju kamar mandi untuk segera berwudhu.
"Nduk, sudah bangun? Boleh ibu masuk?"
Renata turunkan tangan yang sudah hampir membuka pintu kamar mandi, ia segera memutar tubuhnya sambil berseru. "Masuk Bu!"
Bu Rohmah menyembulkan kepala dengan wajah yang sedikit pias.
"Ibu kenapa?"
"Nduk, ibu harus pulang hari ini juga. Kamu enggak apa-apa kan?"
"Iya, ada apa? Coba ibu cerita!" Renata meraup wajah bu Rohmah penuh khawatir, "Bapak kenapa?" Tanya nya dengan suara yang mulai tercekat membayangkan sesuatu telah terjadi pada pak Amar.
"Diana mengalami pendarahan hebat dan sekarang dalam perjalanan ke rumah sakit, kalau ibu enggak pulang malah bingung disini. Kamu enggak apa-apa kan?"
"Iya bu, enggak apa-apa. Kalaupun aku enggak kerja pasti ibu aku antar, sebentar aku cari tiket pesawat dulu semoga hari ini ada penerbangan sebelum tengah hari."
"Ibu naik kereta saja."
Renata menyambar ponselnya tanpa menggubris Bu Rohmah yang memintanya untuk naik kereta saja.
"Nduk, ibu naik kereta saja enggak apa-apa."
"Bu, naik kereta lama. Ini sudah dipesenin tiket pesawat jam 11.00." Renata mengangkat ponsel dan memperlihatkan layarnya pada sang ibu.
"Kita harus berangkat setengah 9 bu takut macet, enggak apa-apa kan cuma diantar sampai bandara?" Renata menatap bu Rohmah yang ikut duduk di sebelahnya.
"Enggak apa-apa ibu udah biasa sekarang, kan udah beberapa kali juga. Sebaiknya kamu sholat dulu nduk."
"Iya Bu." Renata bangkit melangkah ke kamar mandi diikuti tatapan sendu bu Rohmah. Helaan napas di hembuskan perempuan yang masih mengenakan atasan mukena tersebut. Ibu tahu kamu saat ini sedang tidak baik-baik saja, tapi ibu yakin kamu pasti bisa melewati ujian rumah tangga ini nduk. Do'a ibu selalu menyertai setiap langkahmu.
Dengan cepat bu Rohmah berdiri dan melangkah ke arah jendela saat pintu kamar mandi kembali terbuka, ia pura-pura menyibukkan diri membuka gorden untuk menyembunyikan bulir yang mengembun di kedua sudutan matanya.
"Bu, aku sholat dulu ya. Gorden biar aku yang buka nanti, ibu siap-siap saja nanti setengah 9 kita berangkat ke bandara."
"Iya cepetan, sudah hampir jam 5." Sahut bu Rohmah tanpa menoleh. Setelah memastikan Renata memulai sholatnya dengan tergesa ia keluar dari kamar, air mata yang sedari tadi di bendungnya jatuh berhamburan mengiringi ayunan langkahnya menuruni tangga.
.
.
.
"Iya mas, enggak apa-apa. Semalam aku sudah tidur makanya pas hp bunyi aku enggak dengar." Dusta Renata seraya menyuapkan nasi goreng yang kini mendadak hambar di mulutnya. "Oiya mas, ibu mau pulang pagi ini mbak Diana masuk rumah sakit pendarahan. Ibu naik pesawat jam 11.00 sebentar lagi aku antar ibu ke bandara."
"Astaghfirullah, pendarahan kenapa? iya enggak apa-apa antar ibu yang penting hati-hati, kabarin mas kalau sudah sampai bandara dan kembali ke rumah ya sayang. Insya Allah nanti kalau kamu ada libur mas akan ambil cuti dan kita ke Solo."
"Iya mas, terimakasih banyak. Sekarang aku mau siap-siap."
"Iya sayang, argh rindu banget sayang. Tungguin mas ya, akan secepatnya mas selesaikan pekerjaan di sini. Habis ini mas transfer ya buat gantiin tiket ibu dan uang jajannya. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Renata meletakkan ponsel dan kembali fokus pada sarapannya, namun tak lama kemudian ponselnya bunyi karena notif dari salah satu aplikasi m-banking nya. Ada sejumlah uang masuk disusul pesan dari Fauzan.
"Sayang uangnya sudah masuk? itu buat gantiin beli tiket ibu sama uang cashnya kasihkan semua buat ibu."
"Iya mas"
*******
"Zan, ada apa dengan istrimu?" Kartika menatap intens wajah Fauzan yang baru kembali bergabung di meja makan.
"Enggak ada apa-apa bu, Zan cuma khawatir dari semalam hp nya aktif tapi enggak di angkat-angkat ternyata Rena nya sudah tidur."
"Memang kamu nelepon Rena jam berapa?" Ikram yang sedari tadi hanya mendengarkan obrolan Fauzan dan Kartika, kini paruh baya itu bersuara.
"Jam 11 an pak." Jawab Fauzan diakhiri deheman.
"Pas sampai enggak dikabarin?" todong Ikram dengan tatapan menyelidik. Lagi-lagi Fauzan terdiam dan menunduk membuat Ikram yakin kalau putranya itu tidak ada komunikasi ketika tiba di kediamannya.
"Zan, bapak tahu kamu lelah. Tapi usahakan harus memberi kabar sama istri, bukan berarti itu sebuah laporan tapi itu sebuah penghargaan pada pasangan. Kamu disini tenang sedangkan istrimu disana pasti gelisah menunggu kabar darimu." Tutur Ikram panjang lebar memberi petuah pada putra yang tinggal satu-satunya itu.
Fauzan mengangguk sambil menghela napas, "Iya pak, Zan juga nyesel."
"Zan nanti kalau teleponan lagi sama Rena jangan lupa sekalian bicarakan masalah permintaan ibu yang waktu itu."
"Iya Bu, nanti Zan bicarakan sama Rena. Tapi sebaiknya mobil yang sudah ada tidak usah di jual sekarang ambil baru saja."
"Tunggu! Ini maksudnya apa bu, Zan?" Ikram menatap anak dan istrinya bergantian.
"Itu pak, kan ibu sudah bilang minta Zan tukar tambahin mobil kita dan ternyata Zan malah mau beliin." Sahut Kartika dengan wajah yang berbinar. "Kamu memang terbaik Zan, semoga rezekimu semakin lancar mengalir deras seperti air." Ucap Kartika diakhiri kata Aamiin.
"Zan sudah minta tolong teman yang kebetulan kerja di showroom mobil, nanti sore dia akan datang ke sini."
"Zan, apa ini enggak berlebihan nak? Apa Renata sudah tahu dan setuju?" Ikram menatap Fauzan, tak ada raut bahagia di wajah pria 55 tahun itu sangat berbeda dengan Kartika yang terlihat bahagia dan bangga.
"Pak! Zan itu anak kita, dia anak yang baik dan sadar dia bisa seperti ini karena kita dan do'a-do'a kita. Bapak pernah dengar kan, seorang anak laki-laki itu sampai kapanpun tetap milik ibunya!"
"Bu, tapi bukan seperti ini juga! Zan itu sudah punya istri dan kehidupan sendiri. Bagaimana kalau bapak yang melakukan itu pada orang tua bapak tanpa sepengetahuan ibu?"
Happy reading.
hahaha ketawa jahat
emang makin agak agak ini bumer satu ini😤😤
biar neng Rena bisa punya alasan kalau mau pisah sama Fauzan 🤩🤩🤩🤩