Hidup Arabella hancur ketika pamannya tega menjualnya pada Edward Frederick, seorang mafia berkedok Ceo yang terkenal kejam, dingin, dan arogan, hanya demi melunasi hutang akibat kebangkrutan perusahaan.
Dengan kaki kanan yang cacat karena kecelakaan di masa lalu, Arabella tak punya banyak pilihan selain pasrah menerima perlakuan sang suami yang lebih mirip penjara ketimbang pelindung.
Perlahan, keduanya terseret dalam permainan hati, di mana benci dan cinta tipis perbedaannya.
Mampukah Arabella bertahan dalam pernikahan tanpa cinta ini? Ataukah justru dia yang akan meluluhkan hati seorang Edward Frederick yang sekeras batu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 24
Begitu mobil berhenti di depan restoran mewah bertingkat tiga itu, Ara langsung merasa gugup.
Orang-orang yang datang ke tempat itu semuanya berpakaian glamor dan percaya diri. Sesuatu yang membuat Ara justru ingin berbalik pulang.
Edward yang berjalan di sampingnya sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda ingin mundur. Dengan jas hitam elegan dan langkah mantap, pria itu tampak seperti raja di tengah rakyatnya. Ia bahkan tidak memperhatikan tatapan orang-orang yang menoleh ke arahnya, atau ke arah wanita yang berjalan di sebelahnya.
Begitu mereka melangkah masuk ke dalam restoran, suasana langsung berubah. Bisik-bisik kecil terdengar di sana-sini, beberapa wanita menatap iri pada Ara, sementara sebagian pria hanya bisa kagum pada ketampanan Edward.
Ara, di sisi lain, menunduk dalam-dalam. Ia merasa tidak nyaman menjadi pusat perhatian. Apalagi, dengan kakinya yang masih sedikit pincang, ia takut ada yang menertawakannya.
Edward menatap sekilas ke arah Ara, menyadari rasa gugup yang tampak jelas di wajah istrinya.
“Jangan pedulikan mereka,” ucapnya datar. “Kau bersamaku. Tidak ada yang berani menyentuhmu.”
Kata-kata itu berhasil membuat hati Ara sedikit tenang, meskipun nada Edward tetap dingin seperti biasa.
Mereka duduk di meja paling pojok dekat jendela besar yang menghadap ke taman. Tak lama, pelayan datang membawa buku menu.
Tanpa banyak bicara, Edward memesan banyak makanan. Mulai dari steak premium, salmon panggang, pasta, sup krim, hingga beberapa hidangan penutup yang bahkan namanya sulit diucapkan.
Ara menatap daftar pesanan itu dengan mata membulat.
“Sebanyak ini? Siapa yang akan menghabiskannya?”
“Kau,” jawab Edward menatapnya santai.
“A-apa?” Ara hampir tersedak ludahnya sendiri. “Aku tidak mungkin menghabiskan semua ini.”
“Coba saja,” jawab Edward singkat. “Aku ingin melihatmu makan dengan puas malam ini.”
Ara akhirnya pasrah. Ketika pelayan datang membawa steak sapi yang masih mengepul hangat, aroma dagingnya membuat perut Ara langsung keroncongan. Ia tersenyum kecil tanpa sadar. Sudah lama sekali ia tidak makan makanan semewah ini.
Dengan hati-hati, ia memotong daging dan mencicipinya. Matanya langsung berbinar.
“Enak sekali…” ucapnya lirih.
Edward memperhatikannya dari seberang meja. Senyum tipis muncul di sudut bibirnya saat melihat bagaimana Ara makan dengan polos, bahkan tanpa peduli kalau sudut bibirnya sedikit belepotan saus.
“Kau makan seperti anak kecil,” gumam Edward pelan sambil mengambil serbet. Ia kemudian bersandar sedikit dan mengusap lembut sudut bibir Ara. “Berantakan.”
Pipi Ara langsung memanas. “Aku bisa membersihkannya sendiri,” ucapnya gugup.
Edward hanya mengangkat alis, memasang ekspresi datar untuk menutupi rasa hangat yang tiba-tiba muncul di dadanya saat bersama Ara.
Namun, suasana hangat itu seketika berubah ketika seorang pria datang menghampiri meja mereka.
Pria berjas abu-abu dengan senyum angkuh, yang tak lain adalah salah satu rekan bisnis Edward.
“Edward Frederick,” sapa pria itu ramah, namun tatapannya langsung tertuju pada Ara. “Dan siapa wanita cantik ini?”
Edward hanya menjawab singkat, “Istriku.”
Pria itu tampak terkejut sesaat, tapi kemudian tersenyum lebar. Ia mengulurkan tangannya ke arah Ara.
“Oh, pantas saja. Ternyata Tuan Edward menyembunyikan permatanya.”
Sebelum Ara sempat berpikir, pria itu langsung mengambil tangan Ara dan menciumnya dengan sopan. Lebih tepatnya, berpura-pura sopan.
Ara menegang, tak sempat menarik tangannya karena terlalu terkejut.
Edward berdiri dalam sekejap. Tatapannya berubah tajam seperti bilah pisau. Ia meraih kerah kemeja pria itu dan mendorongnya ke meja dengan kekuatan penuh.
“Jauhi istriku!” ucapnya.
Suara benturan gelas dan piring menarik perhatian semua orang di restoran. Pria itu tersenyum sinis, menepuk-nepuk dadanya sendiri yang masih nyeri.
“Kau serius, Edward? Gadis ini istrimu?”
Edward tidak menjawab. Sorot matanya cukup untuk membuat siapa pun ketakutan, tapi tidak bagi pria itu. Ia justru tertawa.
“Seorang pria seperti kau menikahi gadis cacat seperti ini?” ucapnya dengan nada menghina, matanya menatap kaki Ara yang sedikit pincang. “Apa seleramu menurun? Sungguh menggelikan.”
Wajah Ara memucat. Ia menunduk dalam, menahan air mata yang hampir jatuh. Memang benar dia cacat, seharusnya dia tak berada di sini dan membuat suaminya malu.
Edward yang melihatnya langsung meledak. Rahangnya menegang, napasnya memburu.
Tanpa pikir panjang, ia kembali menghantamkan tinjunya ke wajah pria itu hingga bibirnya berdarah.
“Ucapkan satu kata lagi tentangnya, aku pastikan kau tak akan bisa bicara seumur hidupmu,” desis Edward dingin.
Restoran itu mendadak sunyi. Semua orang menatap mereka dengan ngeri, tak ada yang berani ikut campur.
Pria itu menatap Edward dengan marah, tapi tak berani membalas. Ia hanya mengusap darah di bibirnya, lalu berjalan pergi sambil mengumpat pelan.
Edward masih menahan amarah yang bergetar di dadanya.
Kenapa dia harus marah saat ada yang mengatai Ara? Tidak-tidak pasti ada yang salah!
Hanya dirinya yang berhak mengatai istrinya itu, bukan orang lain!
Lalu perlahan Edward berbalik menatap Ara yang masih menunduk.
“Lihat aku,” ucapnya pelan.
Ara mengangkat wajahnya dengan mata yang mulai basah.
“Jangan biarkan siapa pun merendahkanmu di depan mataku,” katanya lagi, suaranya kali ini tidak sekeras tadi. Justru terdengar tulus dan melindungi.
“Kau istriku. Dan aku tidak akan membiarkan siapa pun menghina istriku,” ucap Edward.
Ara menatap Edward lama. Kata istriku yang diucapkan Edward untuk ke sekian kalinya terdengar bukan sebagai label, tapi sebagai pengakuan.
Ia tersenyum tipis, meski masih ada air mata di ujung matanya.
“Maaf aku membuatmu malu,” bisiknya lirih.
Edward hanya diam, menatapnya lama sebelum berbalik memanggil pelayan untuk membayar tagihan.
“Bagus kalau kau sadar diri. Selera makanku hilang, kita pulang saja!”
Ara menjatuhkan bahunya. Padahal, ia baru saja mencicipi berapa potong steak yang begitu enak. Dan Edward malah mengajaknya pulang.
si detektif kecil kayak Conan 😄😄😄..
badannya aja yg pitik ga sama isi kepala nya,,
dari pada uncle mu yg 1/2 ons
aihhh mau ngapain merek apa Edward mau ngetes lolipop nya Sam Jul Jul