Kayyisa nggak pernah mimpi jadi Cinderella.
Dia cuma siswi biasa yang kerja sambilan, berjuang buat bayar SPP, dan hidup di sekolah penuh anak sultan.
Sampai Cakra Adinata Putra — pangeran sekolah paling populer — tiba-tiba datang dengan tawaran absurd:
“Jadi pacar pura-pura gue. Sebulan aja. Gue bayar.”
Awalnya cuma kesepakatan sinting. Tapi makin lama, batas antara pura-pura dan perasaan nyata mulai kabur.
Dan di balik senyum sempurna Darel, Reva pelan-pelan menemukan luka yang bahkan cinta pun sulit menyembuhkan.
Karena ini bukan dongeng tentang sepatu kaca.
Ini kisah tentang dua dunia yang bertabrakan… dan satu hati yang diam-diam jatuh di tempat yang salah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dagelan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26: Latihan & Sorotan
Langit agak mendung tapi udara segar—seperti udara sebelum hujan yang bikin hati sedikit tenang tapi juga cemas. Aku menelan napas panjang, mengenakan kaos longgar warna abu, celana training hitam yang udah agak usang, sepatu yang masih layak untuk lari setidaknya, dan—tentu saja—ikat rambut merah jambu yang sudah mulai melar karena dipake berulang-ulang. Rasanya seperti akan terjun ke medan perang, tapi medannya… cuma lapangan lari kota yang kumal di beberapa sudut.
Cakra sudah menunggu di tribun, duduk santai sambil ngemil energy bar. Rambutnya agak berantakan karena angin, jaket sporty hitam sedikit terbuka, tapi tetap… pangeran sekolah level dewa yang bikin cewek di kejauhan ngeliatin.
“Siap, Sa?” sapanya santai banget—seolah aku cuma hadir untuk ikut minum kopi bareng, bukan latihan lari yang bikin jantung mau copot.
Aku menelan ludah, napas agak tercekat. “Sebisanya… Kalau pingsan di tengah lapangan, lo yang tanggung jawab bawa gue pulang. Jangan biarin gue jadi tontonan!”
Dia tertawa pelan, menepuk pundakku dengan lembut. “Janji gue temenin lo sampai akhir. Jangan khawatir—gue nggak bakal ninggalin kok.”
Aku cuma bisa mengangguk, sambil berharap jantungku nggak meledak di putaran pertama.
Latihan dimulai. Aku ngos-ngosan sejak awal—kaki gemeteran, napas tersengal, kayak orang yang baru belajar berjalan. Tapi Cakra ada di sampingku, pelan-pelan menyesuaikan langkahku jadi nggak tertinggal. Tiba-tiba aku sadar. Latihan ini bukan cuma soal fisik, tapi tentang bagaimana aku terlihat di dunia Cakra—di mana semua mata selalu tertuju ke dia, dan karenanya juga ke aku.
Di lintasan, beberapa peserta lain dari Runner Team sudah menunggu. Dan… oh tidak. Salah satu teman Cakra, Arvin, ikut juga—cowok tinggi yang selalu terlihat keren dan sedikit cuek.
“Eh… mereka ikut juga?” gumamku, sedikit panik. Tambah satu orang dari “kelompok sultan” yang ngeliatin gue lari ngos-ngosan.
Arvin cuma nyengir, mata sedikit bersinar—seolah dia sedang memantau aku dan Cakra sekaligus, kayak juri di acara bakat.
Aku menghela napas panjang. Sedikit ngeri, tapi juga tidak terbiasa dengan hadirnya mereka membatin. Gue kayak figuran di reality show elit yang cuma disorot karena berdampingan sama bintang utama.
Cakra tertawa pelan, lalu menepuk pundakku lagi. “Santai. Fokus sama latihan dulu. Dia cuma mau nonton kok, nggak mau kasih kritik.” komentar Cakra seolah tahu isi pikiranku.
Di putaran kedua, ketegangan mulai terasa. Seorang siswa dari kelas lain yang aku nggak kenal muncul di pinggir lapangan, berdiri sambil menyipitkan mata ke arah Cakra. Suaranya agak keras, cukup buat semua orang mendengar.
“Hei, Cak! Masih sibuk bikin semua cewek jatuh cinta sama lo, ya? Sekarang malah bawa cewek baru latihan bareng—mau tambah banyak penggemar ya?”
Aku menelan ludah, hati berdegup kencang sampe kepala pusing. Cakra berhenti sekejap, menatap siswa itu dengan tatapan dingin tapi tenang—tidak ada kemarahan, tapi aura dia… cukup kuat buat membuat beberapa peserta lain menunduk dan diam.
Ini pertama kalinya aku melihat sisi “terbebani” Cakra—yang biasanya adem, santai, dan nyaris tak tersentuh gosip. Seolah dia sudah terbiasa dengan ejekan kayak gitu, tapi tetap ada beban di hatinya.
Aku melirik ke Arvin dan Gio yang juga tiba-tiba ada di sisi lapangan. Ekspresi mereka? Menahan tawa tipis tapi waspada—seolah tahu situasi ini panas, tapi juga percaya Cakra bisa mengatasinya.
Cakra menoleh sebentar ke arahku, mata coklatnya tiba-tiba menenangkan. “Gue baik-baik aja. Jangan peduliin dia. Terus maju aja, ya?”
Lah? Dia malah ngomong begitu ke aku, padahal seharusnya kebalik bukan? Aku mengangguk kaku, nggak mau ambil pusing berusaha menyalurkan semua gugup ke kaki yang masih gemeteran. Napasku tetap nggak beraturan, tapi aku merasa… seolah berada di dunia baru. Dunia di mana sorotan pasti datang, tapi juga di mana aku belajar tentang sisi manusiawi sang pangeran sekolah yang selalu terlihat sempurna.
Latihan berlanjut, dan slowly but sure… chemistry kami mulai muncul. Setiap kali aku hampir tertinggal, Cakra menepuk pundakku untuk semangat, atau menarik tanganku sebentar agar tetap di jalur yang benar supaya nggak nyebrang ke lintasan lain. Sesekali, matanya menatapku—penuh perhatian, tapi… tidak berlebihan. Hanya cukup buat membuat jantungku deg-degan sampe lupa ngos-ngosan.
Sementara itu, Arvin dan Gio sesekali melirik. Ada kilatan penasaran di mata mereka, tapi nggak ada ejekan—malah mereka mulai menerima keberadaanku. Aku bahkan melihat Arvin memberi anggukan kecil ketika aku berhasil menyelesaikan putaran ketiga tanpa pingsan—seperti… “Oke, dia nggak cuma sekadar figuran. Dia beneran coba.”
Di akhir latihan, kami duduk di rumput sambil minum air dari botol yang dia bagikan. Keringat masih menempel di dahi, tapi ada rasa lega yang besar—seperti sudah menyelesaikan ujian yang susah.
Cakra menepuk pundakku, pelan. “Gimana? Masih kuat?”
Aku menatapnya, napas agak tersengal. “Ya… setengah hidup, setengah mati. Tapi… nggak terlalu buruk, Cak. Lebih buruk kalau gue sendirian—tentu aja, karena lo yang temenin.”
Yhahahaha! Tanpa sadar aku bilang kalimat flirting. Nggak papa kan? Gak papa lah, tapi, gimana reaksinya?
Cakra menatapku lama, senyum tipis muncul di wajahnya—senyum yang bikin mata dia bersinar. “Itu… berarti gue berhasil jadi partner latihan yang lumayan?”
Aku menahan senyum, tapi sulit banget. “Lumayan lah. Tapi jangan terlalu percaya diri—besok kalo gue pingsan, gue masih bisa nuntut lo!”
Dia tertawa, suara tawanya renyah dan tiba-tiba bikin suasana lebih ringan. Aku menyadari… latihan ini bukan cuma tentang fisik atau skill lari. Tapi, juga gimana aku harus belajar buat menghilang dalam satu jurus yang paling nyata, lari. Dari kenyataan.
✨ Bersambung…