Kematian seharusnya menjadi akhir. Bagi Sayyidah Yasmeen, pewaris takhta yang dikhianati, itu adalah sebuah awal.
Ia terlahir kembali dalam tubuh mungilnya yang berusia sepuluh tahun, namun dengan jiwa yang menanggung luka dan ingatan kelam akan masa depan. Ingatan akan ambisi keji ayahnya sendiri yang merenggut nyawanya, dan ingatan akan pengkhianatan dari sosok yang paling ia cintai—yang kelak menjadi algojonya.
Kini, di balik senyum polos seorang anak, tersembunyi pikiran seorang ratu yang sedang menyusun strategi. Setiap bisikan di lorong istana adalah petunjuk, setiap wajah adalah calon sekutu atau musuh tersembunyi. Ia harus meruntuhkan tirani dari dalam, menggagalkan persekongkolan sebelum terjadi, dan menulis ulang takdir dengan darah dan kecerdasan.
Namun, saat ingatan menjadi senjata paling mematikan dan musuh terbesar bersembunyi di balik kenangan manis, dapatkah Yasmeen merebut kembali mahkotanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon INeeTha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Yang Berpaling dan yang Berkhianat
Hening. Kelelahan yang baru saja merayap pergi dari pundak Yasmeen kini kembali dalam wujud adrenalin. Zahir tahu betul. Dia tahu persis bahwa Yasmeen tidak bisa mencabut janji penyerahan administratif Oasis Azhar tanpa menantang seluruh birokrasi Kekaisaran, dan itu membutuhkan waktu.
Dia tidak ingin menunggu.
Jika Faris berhasil mencapai Oasis dan menyerahkan kunci irigasi kepada sekutu Al-Muntasir, penolakan formal Yasmeen hanya akan menjadi selembar perkamen tak berharga. Zahir telah memainkan kartu terakhirnya: tindakan fisik yang mendahului hukum. Jika Faris berhasil, mereka akan kehilangan Oasis Azhar untuk selamanya, dan Nayyirah akan menjadi gurun yang cepat atau lambat akan mati, sama seperti di kehidupan lalu Yasmeen.
Yasmeen menutup matanya sejenak, menenangkan denyutan di pelipisnya. Dia berusia sepuluh tahun. Tubuhnya terasa kecil di balik gaun sutranya, tetapi jiwanya adalah seorang penguasa tua yang sudah berulang kali mengalami pengkhianatan ini.
“Baiklah,” katanya, suaranya kembali dingin, jernih, dan setajam kristal gurun. “Khalī, ini adalah kesempatan emas, bukan kemunduran.”
Tariq mengerutkan dahinya. “Kesempatan, Sayyidah? Jika Oasis jatuh, kita kalah!”
“Kita tidak akan membiarkannya jatuh,” jawab Yasmeen, bangkit dan berjalan mondar-mandir. “Faris hanyalah bidak catur yang terpisah dari papan. Jika kita mengejarnya sekarang, Zahir akan curiga bahwa kita tahu tujuannya adalah Oasis Azhar.
Jika kita gagal menangkapnya sebelum ia tiba di sana, dia akan lari, dan kita akan kehilangan bukti konkrit tentang kerja sama Zahir dengan Al-Muntasir.”
“Lalu apa yang harus kita lakukan?” Tariq bertanya, ketidakpastian memancar darinya.
“Kita akan mengubah narasi,” ujar Yasmeen, senyum tipis yang penuh bahaya muncul di wajahnya. “Zahir ingin menempatkan Faris di Oasis untuk menjaganya. Kita akan menggunakan kepergian Faris untuk menghancurkan Zahir, bukan hanya menghalanginya.”
Ia mendekat ke Tariq, merendahkan suaranya seolah tembok pun punya telinga. “Khalī, kumpulkan sepuluh orang terbaik. Orang-orang yang bisa menunggang kuda cepat dan tidak bertanya terlalu banyak. Mereka tidak akan mengejar Faris menuju Oasis.”
Tariq menunggu. Jantungnya berdebar kencang. Cara berpikir Sayyidah kecil ini terlalu cepat, terlalu bengis, untuk usianya.
“Faris tahu sandi di Oasis. Jika ia ditangkap dalam perjalanan, ia akan dipaksa untuk mengakui motif Oasis, dan itu hanya akan memperburuk hubungan kita dengan Kekaisaran saat ini. Aku tidak mau menuding Hazarah sampai aku benar-benar siap.”
“Jadi?”
“Tangkap Faris sebelum fajar. Dia mungkin berhenti di Desa Khamsin untuk mengisi perbekalan. Tetapi jangan publikasikan penangkapannya sebagai pengkhianat politik,” perintah Yasmeen, matanya memancarkan perhitungan tajam.
“Ketika kau kembali, sebarkan desas-desus, Khalī. Katakan bahwa Faris telah mencuri perhiasan-perhiasan milik mendiang Sayyidah Ameera—ibuku—atas perintah Zahir, dengan tujuan untuk menjualnya di utara.”
Tariq tercekat. “Perhiasan Yang Mulia Ameera? Bukankah itu… harta keluarga yang sangat sensitif?”
“Ya, sensitif. Dan memalukan,” kata Yasmeen dingin.
“Tidak ada yang lebih merusak reputasi seorang pria terhormat selain tuduhan bahwa ia terlalu miskin dan tamak hingga harus mencuri dari mendiang istrinya sendiri, untuk mendanai pelariannya ke utara. Skandal pencurian dan kerakusan akan melahap Zahir lebih cepat daripada tuduhan pengkhianatan politik, yang masih bisa ia sangkal sebagai kesalahpahaman administrasi.”
Ini adalah manuver cerdas. Kehilangan Oasis adalah masalah besar bagi Nayyirah, tetapi bagi rakyat dan para Wazir, kehilangan kehormatan jauh lebih buruk bagi Zahir.
Tuduhan pengkhianatan Oasis masih ambigu; tuduhan pencurian pribadi dari seorang janda membuatnya terlihat sebagai monster.
Tariq menelan ludah. “Itu pukulan telak, Sayyidah. Tepat ke ulu hatinya.”
“Aku ingin menghancurkan apa yang tersisa dari dukungan sosialnya,” kata Yasmeen.
“Tanpa dukungan itu, pengasingan yang akan kuberikan padanya besok akan terasa ringan, dan para Wazir akan sepenuhnya berada di pihak kita. Bawa kembali Faris hidup-hidup. Dia adalah bukti. Jika dia melawan, lumpuhkan, jangan bunuh. Kita masih membutuhkannya.”
“Baik, Sayyidah. Saya akan bergerak sekarang.” Tariq memberi hormat militer, wajahnya tegang tetapi kini penuh semangat. “Namun… apa yang akan dilakukan Zahir? Jika saya meninggalkan istana dengan sepuluh pengawal terbaik, ia akan tahu bahwa penjaga di sini berkurang. Bukankah ia mungkin mencoba serangan balik?”
Yasmeen berjalan ke arah jendela, menatap ke arah Sayap Barat, tempat Zahir ditahan. “Aku tahu ia frustrasi. Aku tahu ia terpojok. Namun, Khalī, Zahir bukanlah pejuang, dia hanya tikus got. Ia beroperasi di bawah selimut, dengan racun dan perjanjian rahasia. Dengan hilangnya Faris, mata dan telinganya hilang. Dia terlalu sibuk meratapi nasibnya untuk merencanakan perlawanan fisik.”
Yasmeen menoleh kembali ke Tariq. “Namun, agar ia tidak mendapat ide, pastikan penjaga yang tersisa disebar secara strategis, seolah jumlahnya masih penuh. Dan biarkan Sayyid Zahir mendengarkan rumor dari kejauhan bahwa aku sedang sibuk mempersiapkan pernikahan dan merapikan kamar ibuku. Fokusnya harus kembali padaku, bukan Oasis.”
“Baik Sayyidah perintah akan segera dilakukan,” janji Tariq. Dia berbalik, aura kegelisahan bercampur tekad menyelimutinya. Malam ini adalah penentu apakah rencana Yasmeen untuk menguasai istana benar-benar berfungsi.
Kamar itu hening setelah kepergian Tariq. Aroma lilin malam dan wangi bunga mawar kering mendominasi. Yasmeen, duduk sendirian di depan meja marmer, merasa kelelahan yang mematikan.
Baru lima hari sejak dia bangkit. Lima hari perang non-stop melawan pria yang memanggil dirinya ayahnya. Ia telah menghabiskan waktu setahun dari kehidupan lalu, dikompres menjadi seminggu penuh teror.
Kekuatan datang dengan kesepian, pikirnya getir. Di masa lalu, aku terlalu naif. Aku percaya pada cinta. Aku percaya pada darah. Aku percaya pada kata-kata Zahir dan kebaikan pura-pura yang ditunjukkan Mehra. Kini, tidak akan ada lagi ruang untuk itu.
Zain, Ruqayyah, bahkan Harith Al-Qaim… semua hanyalah bayangan masa lalu yang harus dia atur posisinya. Terutama Zain, bibit kebencian yang akan tumbuh menjadi dalang di balik terbunuhnya dirinya di kehidupan lalu.
Dia meraih cangkir teh rempah yang disiapkan Umm Shalimah, menyesapnya perlahan. Tugas hari ini selesai: Zahir kalah parah, ancaman Oasis Azhar telah dicegah melalui cara yang jauh lebih merusak, dan ia kini punya bukti tambahan untuk pengadilan Zahir.
Saat dia hendak memejamkan mata sebentar untuk mengambil jeda yang sangat singkat dari ketegangan politik, Yasmeen mendengar suara ketukan pintu yang sangat pelan. Suara itu begitu pelan hingga nyaris tak terdengar. Bukan ketukan Umm Shalimah yang bersemangat, atau ketukan resmi dari Wazir.
Ketukan itu gugup, nyaris memohon.
“Masuk,” ujar Yasmeen, merasa sedikit waspada. Ia sudah memerintahkan penjaga istana agar semua urusan disaring melalui Tariq dan Umm Shalimah.
Pintu terbuka, memperlihatkan sesosok wanita yang merayap masuk dengan hati-hati. Itu adalah Mehra.
Wajah Mehra, yang biasanya dihiasi kepalsuan dan ketenangan yang dibuat-buat, kini benar-benar berantakan. Matanya merah dan bengkak karena menangis, rambutnya agak berantakan, dan ia menggenggam sesuatu yang ia dekap ke dadanya.
Dia terlihat ketakutan. Ketakutan yang jujur, pikir Yasmeen.
Mehra berjalan, lututnya bergetar, mendekati meja. Dia tidak berani menatap langsung Yasmeen, pandangannya terarah pada kotak kayu berukir yang ia genggam erat—kotak yang sama yang pernah dilihat Yasmeen dibawa Zahir dari ruang obat, tempat racun disimpan.
“Sayyidah,” Mehra berbisik, suaranya kering seperti kerikil gurun. “Saya harus berbicara denganmu.”
Yasmeen menurunkan cangkir tehnya, gerakan yang menimbulkan bunyi porselen yang memecah keheningan.
“Silakan, Robbatun Mehra. Aku kira Abī-ku, suamimu, berada di bawah penahanan rumah tangga. Aku tidak menyangka ia mengizinkanmu berjalan-jalan,” ujar Yasmeen dengan nada dingin.
Mehra menggeleng. Air mata baru mulai membanjiri pipinya. “Saya... saya menyelinap keluar. Dia marah, Yang Mulia. Dia menakutkan. Dia terus-menerus mengancam. Dan dia menyalahkan Ruqayyah. Dia bilang... dia bilang jika anak itu tidak terlalu banyak makan, kotak ini akan sudah digunakan.”
Mehra mendorong kotak kayu itu ke atas meja. Ini adalah racun yang dicuri Zahir. Bukti nyata. Tetapi kenapa Mehra membawanya ke sini?
“Robbatun Mehra, aku tidak mengerti. Kenapa kau menunjukkan ini padaku?” tanya Yasmeen.
Mehra menjatuhkan diri berlutut di lantai yang dingin. Kepalanya menunduk dalam-dalam. Semua martabat yang ia bangun sebagai istri kedua kini hilang total. Ia adalah seorang ibu yang putus asa.
“Saya mendengar teriakan Zahid dari kamar sebelah saat Tariq menyeretnya pergi tadi,” isak Mehra. “Dia mengatakan... dia mengatakan jika rencananya gagal, Sayyid Zahir tidak akan kembali untuk kami. Dia bilang… dia bilang saya bodoh karena tidak mendengarkan peringatan para pelayan. Juga dia… dia mengklaim saya beruntung Ruqayyah yang keracunan, bukan Anda.”
Mehra mendongak, matanya yang gelap kini penuh keputusasaan dan ketakutan, bukan kepura-puraan. Dia benar-benar mengkhianati Zahir sekarang.
“Sayyidah,” bisik Mehra, air matanya menetes ke atas karpet. “Dia janji padaku. Dia janji jika kau pergi, entah karena kematian, pernikahan, atau karena alasan lain, dia akan memberiku pengakuan untuk Zain. Dia bilang padaku bahwa kau yang menghalangi Zain mendapatkan warisan Nayyirah. Dia bilang padaku... dia bilang kalau Sayyidah pergi, ia akan memberikan hadiah besar untuk anakku. Apa isi hadiahnya, Sayyidah?”