JANGAN ABAIKAN PERINGATAN!
Sadewa, putra seorang pejabat kota Bandung, tak pernah percaya pada hal-hal mistis. Hingga suatu hari dia kalah taruhan dan dipaksa teman-temannya membuka mata batin lewat seorang dukun di kampung.
Awalnya tak terjadi apa-apa, sampai seminggu kemudian dunia Dewa berubah, bayangan-bayangan menyeramkan mulai menghantui langkahnya. Teror dan ketakutan ia rasakan setiap saat bahkan saat tidur sekali pun.
Sampai dimana Dewa menemukan kebenaran dalam keluarganya, dimana keluarganya menyimpan perjanjian gelap dengan iblis. Dan Dewa menemukan fakta yang menyakiti hatinya.
Fakta apa yang Dewa ketahui dalam keluarganya? Sanggupkah dia menjalani harinya dengan segala teror dan ketakutan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 26. MENEMBUS DIMENSI
Ruangan itu masih diliputi aura ganjil, seakan udara di dalamnya lebih padat daripada biasanya. Kehadiran Andi membuat waktu seperti berjalan lambat. Sadewa, Arsel, dan Tama merasakan dada mereka dipenuhi perasaan bercampur: gentar, kagum, sekaligus harapan yang tipis namun nyata.
Eyang menghela napas panjang. Lalu ia berkata dengan nada nyaring oleh kewibawaan, "Kalian harus tahu ... masuk ke dunia gaib bukan perkara sederhana. Ada hukum yang berlaku di sana, berbeda dengan hukum manusia. Jika melanggar, kalian bisa hilang di sana selamanya, terlupakan oleh bumi."
Sadewa menelan ludah, bahunya menegang. "Eyang, apakah benar hanya itu satu-satunya cara? Tidak ada jalan lain?"
Tatapan Eyang menusuk, dalam, tapi penuh kasih sayang. "Nak, sukma ibumu kini terikat di sana. Selama masih ada kesempatan, kalian harus berani melangkah. Jika tidak, tubuh ibumu akan terus layu, dan ikatan kalian sebagai anak akan putus di dunia ini. Itulah jalan yang dipilih takdir."
Keheningan merayap.
Arsel menggenggam bahu Sadewa, memberi isyarat bahwa mereka tidak sendirian. Tama menghela napas, mencoba meredakan guncangan dalam dirinya.
Andi kemudian melangkah maju, meski kakinya tidak menapak lantai. Suaranya berat, namun teduh, seperti air yang menetes di tengah malam. "Aku bisa membuka jalan. Tapi ada syarat. Dunia kami hanya menerima mereka yang siap menyelaraskan diri, jiwa, raga, dan niat. Jika salah satu goyah, pintu itu akan menelanmu."
Arsel menatap kakaknya dengan tegas. "Apa yang harus kami lakukan, Kak?"
Andi memandang ke arah Eyang, seakan meminta restu. Eyang mengangguk pelan, lalu bangkit berdiri. Gerakannya lambat, namun berwibawa. Ia berjalan menuju sebuah lemari tua di pojok ruangan, membuka pintu kayu berukir. Dari dalamnya, ia mengeluarkan sebuah kotak kayu jati tua yang dihiasi ukiran bunga teratai.
Kotak itu ia letakkan di meja. Bunyi klik terdengar ketika kunci diputar. Saat tutupnya terbuka, aroma harum cendana semakin pekat. Di dalamnya tersimpan beberapa benda: seutas benang merah panjang, sebilah keris kecil berbalut kain, dan tiga buah manik-manik hitam berkilau.
"Ini, adalah warisan yang sudah lama kusimpan. Benang merah untuk menyatukan kalian bertiga, agar langkah kalian tak tercerai ketika melewati batas. Keris ini untuk perlindungan, melawan makhluk yang mencoba menghalangi. Sedangkan manik hitam ini adalah penjaga ingatan, agar kalian tak lupa siapa diri kalian ketika dunia di seberang mencoba menelan kesadaran."
Sadewa menatap benda-benda itu dengan mata bergetar. Rasanya seperti sedang memegang kunci menuju sesuatu yang ia tak mengerti, tapi juga tak bisa ia hindari.
Tama mengulurkan tangan, menyentuh manik itu perlahan. "Rasanya hangat," gumamnya.
Eyang tersenyum samar. "Hangat itu tanda hidup. Selama kalian bisa merasakan kehangatannya, berarti kalian masih manusia. Jika tiba-tiba dingin, maka kalian sudah terlalu jauh ditarik oleh dunia lain."
Arsel menunduk hormat. "Terima kasih, Eyang. Kami akan menjaganya."
Namun Andi tidak serta-merta menerima keputusan itu. Ia menatap Sadewa dengan sorot mata tajam, seolah ingin menembus hingga ke dasar jiwa.
"Sadewa, apakah kamu sungguh siap? Jalan ini bukan sekadar menjemput sukma ibu kamu. Jalan ini akan membuka tabir takdir kamu sendiri. Kamu bisa jadi korban, atau kamu bisa jadi kunci."
Sadewa tersentak. "Kunci?"
Andi tidak menjawab langsung. Ia mendekat, lalu menunduk hingga wajahnya sejajar dengan Sadewa. Suara gaib itu berubah lirih, hampir seperti bisikan.
"Kamu lahir dengan sesuatu yang dunia kami kenali. Itulah sebabnya ibumu dijadikan umpan. Musuh tidak mengincar ibumu semata tapi dirimu. Jika kamu masuk, mereka akan tahu kamu datang. Dan mereka akan menunggu kamu. Jiwa para Akasha adalah incaran para makhluk tak kasat mata terutama yang gelap," kata Andi.
"Akasha?" tanya Sadewa tak mengerti.
"Kalau semua beres kau akan tahu tentang itu, sekarang fokus saja dulu," kata Andi tersenyum ramah.
Jantung Sadewa berdegup keras. Tubuhnya gemetar, keringat dingin merayap di pelipis. Namun dalam hatinya ada suara kecil yang menolak mundur. Ia mengingat wajah ibunya, senyum hangat, suara lembut, dan doa-doa yang selalu menyelimutinya.
"Aku tidak peduli," kata Sadewa dengan suara bergetar tapi mantap. "Kalau pun aku dijadikan umpan, aku akan tetap pergi. Karena aku nggak bisa hidup jika ibuku hilang begitu saja."
Andi menatapnya lama, lalu akhirnya tersenyum tipis. "Jawaban yang jujur. Baiklah. Aku akan mengantarkan kalian."
Arsel dan Tama menghela napas lega, meski rasa takut masih bercokol di dada mereka.
Eyang kembali duduk, matanya sendu. Meski usianya panjang dan ia sudah melihat banyak hal, beban perpisahan tetap menusuk hatinya.
"Kalian bertiga, jangan hanya bergantung pada benda ini, atau pada Andi. Ingatlah satu hal: niat kalian harus murni. Jangan bawa dendam, jangan bawa serakah. Bawa cinta, karena cinta yang akan membimbing kalian pulang," kata Eyang.
Sadewa menunduk, matanya berkaca. Arsel dan Tama juga menatap lantai, menahan haru. Kata-kata Eyang selalu seperti mantera yang menyentuh hati.
Lalu Eyang mengangkat tangannya, merapal doa dalam bahasa Jawa kuno, suaranya bergetar bagai aliran sungai. Suasana ruangan berubah khidmat. Angin berhenti, dupa yang terbakar mengeluarkan asap yang melingkar-lingkar naik ke langit-langit, membentuk pusaran halus.
Andi berdiri tenang di samping mereka, tubuh samar itu tampak semakin nyata. "Doa ini membuka jalan agar kalian tak ditolak dunia kami," jelasnya.
Ketika doa usai, Eyang menurunkan tangan dengan perlahan. "Pergilah malam ini bulan berada di puncak. Di situlah tabir paling tipis. Kalian akan memerlukan semua keberanian yang kalian punya."
Hening menyelimuti ruangan. Mereka semua tahu: jalan pulang semakin tipis, tapi jalan menuju dunia lain mulai terbuka.
Sadewa, Arsel, dan Tama duduk bersila di ruang tengah kos mewah itu. Eyang duduk di kursi rotannya, mata terpejam, jemarinya menggenggam tasbih tua yang manik-maniknya sudah kusam. Asap dupa kembali memenuhi ruangan, harum dan menusuk, seperti menghubungkan bumi dengan langit.
Andi berdiri di tengah lingkaran mereka, sosoknya semakin jelas dibanding sebelumnya. Seakan malam itu, dunia memberinya izin untuk menampakkan diri dengan lebih nyata. Mata hitamnya berkilat, tenang sekaligus penuh rahasia.
"Waktunya telah tiba," ucap Andi. Suaranya bergema samar, seolah keluar dari dua dimensi sekaligus.
Eyang membuka mata perlahan. "Ingatlah, anak-anakku. Saat kalian melangkah, jangan toleh ke belakang. Jangan hiraukan suara yang mencoba memanggil dengan nama kalian. Dunia astral penuh tipu daya."
Sadewa mengangguk, menelan ludah. "Baik, Eyang."
Arsel meraih benang merah dari kotak kayu, lalu mengikatkannya ke pergelangan tangannya sendiri. Ia lalu melilitkan ujungnya ke pergelangan Tama dan Sadewa. "Dengan ini kita tetap bersama," ujarnya pelan.
Tama menatap benang itu lama, lalu tersenyum tipis. "Kalau salah satu dari kita terseret, semoga yang lain bisa menarik kembali."
Andi mengangkat tangannya ke udara. Cahaya samar mulai muncul dari telapak tangannya, seperti bara api putih yang berdenyut perlahan. Ia kemudian mengayunkannya ke bawah, menciptakan garis bercahaya di lantai kayu. Garis itu membentuk lingkaran sempurna, lalu meluas hingga melingkupi mereka bertiga.
"Pejamkan mata," perintah Andi.
Sadewa, Arsel, dan Tama menurut.
Hening.
Lalu perlahan, mereka merasakan sesuatu yang aneh. Tubuh mereka menjadi ringan, seolah beban daging dan tulang dicabut satu per satu. Nafas terasa panjang, tapi tidak lagi membutuhkan udara. Di telinga mereka, suara dunia nyata menjauh, digantikan bisikan asing yang datang dari segala arah.
Ketika mereka membuka mata kembali, dunia sudah berubah.
Kos mewah itu masih ada, tapi tidak sepenuhnya sama. Warna-warna memudar menjadi abu-abu kebiruan, seakan dilukis dengan tinta air. Langit-langitnya tinggi, namun bergelombang seperti lautan. Angin bertiup tanpa arah, membawa suara-suara samar: tawa, tangis, jeritan, bisikan.
Sadewa memegang dadanya, merasakan jantungnya berdetak dua kali lipat lebih cepat. "Apakah kita sudah masuk?" tanyanya.
Andi menoleh, wajahnya serius. "Inilah perbatasan dunia astral. Belum seluruhnya. Masih lapisan pertama. Dari sini, kalian akan berjalan."
Tama menatap sekeliling, bulu kuduknya berdiri, ini berbeda dengan dunia rogo sukmo yang sering mereka masuki. "Rasanya ... seperti mimpi buruk," kata Tama.
Arsel meraih tangan Sadewa, memastikan adiknya itu tidak gentar. "Jangan takut. Selama kita bersama, kita bisa."
Mereka mulai melangkah. Lantai kayu yang tadinya keras, kini terasa lunak bagai kabut padat. Setiap langkah meninggalkan jejak berkilau, lalu menghilang pelan. Di kejauhan, muncul jalan panjang yang berliku, bercahaya samar seperti perak cair.
Andi berjalan di depan, tubuhnya melayang ringan. "Ikuti aku. Jalan ini yang terhubung pada sukma ibumu."
Mereka menapaki jalan itu. Semakin jauh melangkah, semakin terasa tekanan aneh di dada mereka. Udara semakin berat, seperti dipenuhi bisikan yang tak henti-henti memanggil nama mereka.
"Sadewa ... Sadewa ...," suara itu terdengar di telinga, merdu namun menyeramkan.
Sadewa spontan menoleh. Dari kabut di sisi jalan, muncul sosok yang menyerupai ibunya. Wajahnya sama, suaranya sama, tangannya terulur.
"Anakku ... ikut Ibu ... jangan tinggalkan Ibu ...."
Sadewa tercekat, hampir melangkah ke arah sosok itu. Namun benang merah di pergelangannya menegang, ditarik oleh Arsel dan Tama.
"Sadewa, jangan!" teriak Arsel. "Ingat pesan Eyang, jangan hiraukan suara itu!"
Sadewa gemetar, air matanya hampir jatuh. "Tapi itu Ibu, Sel."
Andi menoleh, matanya berkilat. "Bukan. Itu hanya jelmaan. Dunia ini akan memancing kelemahan kalian. Jika kau ikuti, kau akan hilang."
Sadewa terhuyung, tapi akhirnya menggeleng keras. "Benar, aku nggak boleh terjebak. Aku akan menemukan Ibu."
Sosok itu pun menghilang, lenyap menjadi asap. Jalan perak kembali tenang, meski suara-suara masih berbisik dari segala arah.
Perjalanan belum berakhir. Kabut semakin pekat, hingga hanya langkah mereka yang terlihat jelas. Dari kejauhan, terdengar gemuruh seperti ribuan sayap mengepak. Lalu muncullah bayangan besar yang melintang di jalan, sesosok makhluk hitam tinggi menjulang, matanya merah membara, tubuhnya bersisik seperti ular namun bersayap kelelawar.
Sadewa mundur, napasnya tercekat. "Apa itu?"
Andi mengangkat tangannya, wajahnya tetap tenang. "Itu penjaga gerbang. Tidak semua bisa melewatinya. Hanya mereka yang diperkenankan."
Makhluk itu mengeluarkan suara geraman rendah, lalu berbicara dalam bahasa yang asing, berat, dan bergema. Namun entah bagaimana, Sadewa bisa mengerti.
"Siapa yang berani melintasi jalan ini? Yang berdaging tidak berhak," kata sang penjaga.
Andi maju selangkah. "Mereka bersama aku. Mereka datang untuk menjemput sukma seorang ibu yang ditawan tanpa hak."
Mata merah itu berpaling pada Sadewa, menelannya dengan tatapan menakutkan. "Ketika anak ini memiliki tanda yang dibenci kaum kegelapan. Jika kalian masuk ke dunia mereka, maka mereka tidak akan melepaskan kalian."
Sadewa membeku. Arsel segera berdiri di depan, menghadang. "Kami hanya ingin mengambil apa yanh telah mereka ambil."
Tama menggenggam keris kecil dari Eyang, mengangkatnya dengan tangan bergetar. "Kami tidak akan mundur."
Suasana menegang. Makhluk itu mengangkat sayapnya, udara bergetar keras. Namun Andi mengangkat tangannya, cahaya putih memancar dari tubuhnya.
"Dia bersama aku. Jika kau menghalangi, maka kau melawan hukum tertua. Kami tahu resikonya, tapi kami harus ke sana karena ada ruh manusia yang diambil oleh makhluk laknat itu," kata Andi tegas.
Makhluk itu terdiam, lalu menunduk perlahan. Sayapnya merapat, tubuhnya mundur ke sisi jalan, membuka celah.
"Baiklah. Tapi ingat, anak manusia. Langkahmu telah dicatat. Kau tidak bisa lagi kembali seperti semula. Mereka akan tahu siapa kalian. Mereka akan memburu kalian sama seperti leluhur kalian dulu," kata sang penjaga lagi.
Sadewa menggigil, tapi ia melangkah maju. Benang merah di pergelangan mereka terus menjaga agar langkah tetap seirama.
"Terima kasih, kami akan langsung kembali setelah mendapatkan apa yang kami cari," kata Andi lalu menoleh ke belakang, menatap Arsel, Tama, dan Sadewa dengan serius.
Mereka menatap kabut pekat yang berputar di ujung jalan, seperti pusaran raksasa yang menelan cahaya. Itulah pintu menuju lapisan lebih dalam dari dunia astral, tempat sukma Ibu Sadewa ditawan. Tempat para makhluk kegelapan berada.
Dengan hati yang berdegup kencang, mereka melangkah masuk bersama-sama, benang merah mengikat erat, dan doa Eyang masih bergema di dada mereka.
ikutan emosi,kalut,takut n apa y,gtu lah pokoknya mah
ternyata bener kn jadi tumbal
kenapa si dewa ini
apa ayahnya Dewa???