Adaptasi dari kisah nyata sorang wanita yang begitu mencintai pasangannya. Menutupi segala keburukan pasangan dengan kebohongan. Dan tidak mau mendengar nasehat untuk kebaikan dirinya. Hingga cinta itu membuatnya buta. Menjerumuskan diri dan ketiga anak-anaknya dalam kehidupan yang menyengsarakan mereka.
Bersumber, dari salah satu sahabat yang memberi ijin dan menceritakan masalah kehidupannya sehingga novel ini tercipta untuk pembelajaran hidup bagi kaum wanita.
Simak kisahnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LaQuin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6. Kehidupan Airin
Bab 6. Kehidupan Airin
POV Airin
Mengurusi kehidupan rumah tangga ada suka dan dukanya. Melihat tumbuh kembang anak, hatiku bahagia. Tetapi terkadang merepotkan juga jika ada kesibukan lainnya selain mengasuh anak.
Kata Umi, menjadi seorang Ibu memiliki peran yang penting dalam rumah tangga. Karena kita di tuntut oleh tanggung jawab dan di kejar oleh waktu.
Wanita harus bisa mengatur waktu, agar rumah bisa terawat, anak dan suami pun mendapat perhatian.
Wanita harus bertanggung jawab, memilah dan memilih mana yang terbaik untuk anak dan suami, untuk sekarang dan di masa depan nanti.
Tapi terkadang, aku juga nggak bisa mengendalikan diri. Ada kalanya emosi menguasai diri jika situasi dan kondisi nggak berjalan lancar.
Anakku Selvia sudah berumur 6 tahun dan mengenyam pendidikan TK (Taman Kanak-kanak), yang tidak jauh dari rumah ku.
Keseharianku mengantar jemput anakku sekolah. Mengurus anakku yang masih balita, mengurus suami dengan segala keperluannya, juga rumah agar tetap bersih dan nyaman. Jika ada waktu luang, aku belajar membuat camilan. Dan terkadang, menjualnya jika ada yang memesan.
Gaji suamiku nggak besar, bukan ASN. Tapi masih cukup menghidupi kami dan sedikit menabung jika ada lebih.
"Rin, ada pesanan lagi?" Tanya Umi saat melihat ku membuat adonan kue donat.
"Iya Umi. 4 lusin. Sayang kalau di tolak. Sisanya bisa buat camilan di rumah."
"Selvia siapa yang jemput?"
"Nanti minta tolong Abang keluar sebentar untuk jemput. Umi tolong jaga Ragil dulu ya?"
"Ya sudah."
Untungnya pekerjaan suamiku itu nggak mengikat, bisa keluar kantor kapan saja. Dan sudah sering aku minta tolong padanya untuk menjemput putrinya jika aku nggak sempat.
"Lola mana ya Rin? Sudah hampir 2 minggu nggak kelihatan." Tanya Umi sembari mengasuh Ragil dan duduk tidak jauh dari ku.
"Umi kayak nggak kenal dia aja. Kan belum lama gajian Mi. Nanti juga nongol kalau duitnya dah habis." Kata ku.
"Haah... Umi kasihan sama Lola. Tapi kesel juga sama sikap keras kepalanya itu."
"Kalau orang lagi bucin ya gitu Mi. Di mata dia cowoknya itu yang paling baik, nggak ada salah-salahnya."
"Haah..."
Umi terdengar menghela napas kembali.
"Harus bagaimana lagi Umi menasehati dia."
"Modelan kayak Lola itu keras kepala Mi. Kalau sudah terjadi baru mengerti."
"Tapi kalau nunggu sudah terjadi buat apa Rin. Kita kan berusaha untuk mencegah jangan sampai terjadi."
"Ya mau bagaimana lagi Mi. Modelnya begitu."
"Haah..."
Aku dan Umi sama-sama menghela napas.
"Nanti kalau sudah selesai, coba kamu telepon deh. Takutnya dia kenapa-kenapa. Soalnya dia kalau sakit juga nggak mau bilang."
"Iya Mi. Nanti setelah ini, Airin coba telepon dia."
Segera ku fokuskan kembali mengerjakan pesanan kue donat ku agar cepat selesai. Menghemat waktu supaya saat Abang pulang nanti, sudah beres dan tinggal pengantaran saja.
Sebagai Ibu rumah tangga, aku juga harus bisa membantu mengeringkan beban suami jika punya keahlian. Itu prinsip ku. Karena hasilnya nanti, juga membantu keuangan kami menjadi lebih baik.
Jaman sekarang, nggak perlu malu apalagi menjaga gengsi. Kebutuhan kita, hanya kita sendiri yang mencukupi.
Setiap orang pasti punya keahlian masing-masing. Hanya kadang, mereka belum menemukan potensi apa yang ada di diri mereka. Mesti memiliki keinginan untuk belajar. Mesti belajar untuk tahu.
3 jam berkutat di dapur akhirnya selesai juga. Untung ada Umi yang membantu ku.
Ibuku itu aku ajak tinggal bersama ku dan suami. Di rumah ini, ada 4 kamar. Kamar utama aku gunakan bersama suami dan anak-anak ku. Kamar disebelah kanan ku, digunakan oleh Umi. Dan sebelah kiri, kosong. Rencananya kamar anak-anak kalau sudah waktunya nanti. Dan satu lagi, kamar ibu mertuaku.
Ibu mertuaku sudah sangat tua. Berjalan pun sudah sulit untuknya. Suamiku adalah anak bungsu, dan tinggal bersama ibunya. Ayahnya sudah tiada seperti Ayah ku. Tetapi suami ku memiliki 3 saudara yang sudah berkeluarga dan memiliki tempat tinggal masing-masing. Oleh karena sang ibu sudah sangat tua itu lah, aku dan ibuku di minta untuk tinggal di rumah orang tua suamiku. Jadinya, rumah peninggalan Ayah ku di jual. Uangnya di tabung, sebagian di pakai buat tambahan biaya pernikahan ku dengan Abang, juga biaya lahiran Ragil yang harus di cesar.
Tetapi saat ini, Ibu mertuaku sedang berada di rumah anaknya yang lain. Suami dan para saudara-saudaranya sepakat, untuk bergiliran merawat orang tua mereka.
"Huft...! Selesai juga. Tinggal tunggu dingin baru di olesi coklat dan toping lainnya."
Lalu aku beristirahat sejenak sembari menyusui Ragil.
"Assalamualaikum..."
"Wa'alaikumsalam..."
Anak sulung ku pulang di jemput Ayahnya.
"Bu, tadi Ivi belajar mewarnai."
Datang-datang anak ku Selvia bercerita apa kegiatannya di sekolah sembari menujukan hasil karyanya hari ini.
"Waah... Bagus sekali. Kakak ayo, ganti pakaian dulu ya. Habis itu makan. Coba, Ibu mau lihat. Tasnya simpan dimana? Kakak tahu nggak?"
"Tahu."
Selvia anakku, lalu segera memasukan kembali buku gambarnya. Kemudian menuju kamar yang kosong karena disanalah, kami meletakkan lemari pakaian beserta barang-barang sekolah anakku dan lain-lain.
"Sudah masak Rin?"
"Sudah Bang. Abang mau makan sekarang?"
"Iya. Habis ini Abang mau balik ke kantor lagi."
"Ya sudah, Airin siapkan dulu ya Bang. Tapi boleh nggak, Abang ke kantor nanti Airin titip pesanan Bu Diah? Kan nggak jauh dari kantor Abang."
"Banyak?"
"Cuma 2 lusin aja. Sisanya Airin antar pesanan Ibu-ibu dekat-dekat sini."
"Ya sudah. Minta kasih uang pas ya, Abang malas cari kembalian."
"Iya. Bu Diah udah hafal kok."
Kemudian kami makan siang bersama. Aku, suami, anakku, juga Umi ku. Ragil aku letakkan dalam kursi rodanya.
Setelah makan siang, suami ku balik ke kantor dengan titipan kue pesanan Bu Diah.
" Rin, sudah kamu telepon Lola?" Tanya Umi setelah aku menutup pintu rumah.
"Astaga! Airin lupa Mi."
"Coba kamu telepon dulu. Pesanan orang biar Umi yang masukin ke kotaknya."
"Iya Mi."
Aku pun segera menelpon Lola. Panggilan tersambung tapi tidak di angkat. Panggil kedua dan ketiga pun sama. Akhirnya aku menyerah dan hanya mengirimi Lola pesan singkat saja.
Airin : Lola, kamu di cariin Umi. Kemana aja, kok nggak ke rumah?
Pesan itu terkirim namun belum di baca. Biar saja, aku yakin nanti juga bakalan di baca sama dia.
"Mi, Airin pergi antar pesanan dulu ya."
"Sudah telepon Lola Rin?" Tanya Umi.
"Nggak di angkat Mi. Tapi Airin udah ninggalin pesan. Titip Ragil ya Mi. Selvia, bobok siang ya, sore nanti mau TPA kan?"
"Nggak mau. Tunggu Ibu aja pulang baru bobok." Tolak anakku, Selvia.
"Jangan gitu dong Kak. Ibu belum tahu pulang jam berapa. Nanti waktu tidur Kakak nggak cukup. Malah ngantuk nanti TPA nya. Tidur ya."
"Sini Kakak, Umi temenin yok sama dedek." Ujar Umi ku.
Dan akhirnya Selvia nurut, syukurlah. Umi pun membawa ke dua buah hatiku masuk ke dalam kamar. Dan aku pun bisa mengantarkan pesanan dengan tenang.
Bersambung...
Jangan lupa dukung Author dengan like dan komen ya, terima kasih 🙏😊
mayan buat iklan biar gk sepaneng kebawa pikiran yg lg ruwet🤭🤣