Susan tak pernah menyangka dirinya di timpa begitu banyak masalah.
Kematian, menghianatan, dan perselingkuhan. Bagaiamana kah dia menghadapi ini semua?
Dua orang pria yang menemaninya bahkan menyulitkan hidupnya dengan kesepakatan-kesepatan yang gila!
Akan kah Susan dapat melewati masalah hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SabdaAhessa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
29. Kesempatan kedua
Susan tak pergi ke ruang rawat ayahnya. Karena ruangan itu sudah di bersihkan dan akan di tempati oleh pasien lainnya. Jadi Susan memutuskan untuk pergi ke caffe di rumah sakit itu.
Menenangkan diri sejenak. Duduk di sofa panjang di sudut ruangan. Caffe tidak terlalu ramai sekarang. Karena sudah lewat jam makan siang.
"Duduklah, memangnya kau tidak capek berdiri terus?" Celetuk Susan sambil memandang Alice.
Alice tersenyum canggung. Walaupun ini bukan pertama kalinya, tapi tetap saja membuatnya gugup. Tapi sedetik kemudian dia menuruti perintah Nyonya nya itu. Duduk di kursi depan Susan. Berhadapan.
Setelah memesan beberapa menu utama dan dessert, Panna Cotta Strawberry kesukaan Susan. Mereka duduk bersantai di kursi masing-masing.
"Apa alat menyadapnya sudah aktif?" Tanya Susan.
"Ya, Nyonya."
Alice menyalahkan ponselnya. Mengotak-atiknya sebentar lalu memberikannya pada Susan. Sepertinya ponselnya sudah terhubung dengan alat penyadap suara itu.
"Sepertinya Tuan Peter masih sendiri, Nyonya." Kata Alice.
Susan mengangguk. Karena tak terdengar suara apapun dari ponsel itu.
Susan nampak mengingat sesuatu lagi. Dia ingat jika Edward memintanya untuk mencari bukti perselingkuhan Peter dengan Anna agar bisa memenjarakan Peter di penjara pengasingan.
"Bukti seperti apa yang di butuhkan untuk memenjarakan Peter di pengasingan?" Tanya Susan dengan suara yang di pelankan. Takut terdengar oleh orang lain.
"Hmm.. Mungkin foto-foto, bukti mutasi rekening, saksi mata, apa lagi ya.." Alice mencoba berpikir.
Susan teringat akan kotak hitam yang di berikan oleh mendiang ayah mertuanya. Bukankah kotak itu berisi bukti perselingkuhan Peter selama ini? Bahkan lengkap dengan foto USG dan hasil tes DNA? Ada foto-foto Anna juga di dalamnya.
Susan menjelaskan soal kotak hitam itu pada Alice. Dia menceritakan semua detail isinya. Dan bagaimana dia bisa mendapat itu.
"Sepertinya itu sudah cukup, Nyonya. Atau mungkin Nyonya tanyakan dulu pada Tuan Edward!" Kata Alice.
"Ya, boleh aku pinjam ponsel mu untuk menelpon Edward?"
Susan memang tak memiliki nomor ponsel Edward. Karena dulu dia sudah memblokir nomor pria itu lalu menghapusnya. Ponselnya juga baru. Jadi dia harus meminjam ponsel Alice untuk menelpon Edward.
Bukankah Alice itu anak buah Edward juga? Dia pasti punya nomor ponsel Edward atau James kan?
"Silahkan, Nyonya."
Susan menerima ponsel itu. Dia tak mencari kontak Edward, melainkan memencet deretan nomor itu. Ternyata Susan masih hafal betul nomor ponsel milik Edward.
Menunggu beberapa detik sampai panggilan di jawab.
"Ed!" Panggil Susan di telpon.
"Susan?"
"Ya."
"Apa ada masalah?" Tanya Edward.
"Tidak. Aku hanya..."
"Merindukan ku?" Edward menyela ucapan Susan dengan sedikit tersenyum.
Edward memang suka menggoda Susan. Hanya dengan Susan dia bisa bicara panjang lebar kali tinggi. Bahkan membual.
Susan menahan senyumnya agar tidak terlihat oleh Alice. Dia mengingat saat-saat indah bersama Edward dulu.
"Bukan! Aku hanya ingin menanyakan sesuatu."
"Apa?"
"Aku rasa, aku sudah memiliki bukti-bukti yang kau minta."
"Cepat sekali. Dari mana kau mendapatkannya?" Tanya Edward.
"Dari ayah. Kau ingat kan, soal kotak hitam yang di beri ayah ku?"
"Ya."
"Di dalam situ ada banyak bukti, Ed."
"Kalau begitu, bawa itu besok pada ku!" Suruh Edward.
"Aku akan menyuruh Alice untuk mengirimnya." Jawab Susan.
"Tidak. Aku ingin kau yang membawanya besok pada ku!" Kata Edward.
Sontak Susan memutar bola matanya. Sedikit kesal dengan permintaan Edward. Pria monster itu terus saja mendominasi Susan.
"Kau dengar?" Suara Edward menyadarkan Susan.
"Iya!!"
"Besok jam 10 tepat, aku tunggu kau di mansion. Tidak boleh telat atau ku tinggal kau ke luar negeri!" Kata Edward.
"Iihhh dasar pria gila! Seenak jidat dia menyuruh ku ini dan itu!" Batin Susan.
"Kau dengar?" Tanya Edward lagi.
"Iya, Ed! Kenapa kau jadi cerewet sekali!" Kata Susan lalu menutup sambungan telepon.
Di ujung sana. Edward nampak sumringah karena bisa mendominasi Susan lagi. Sedikit demi sedikit dia pasti akan mendapatkan wanita pujaannya itu. Walaupun dia berstatus janda nanti. Tidak masalah.
Sedangkan Susan mengembalikan ponsel Alice dengan wajah kusut. Alice yang melihat itu hanya diam saja tak merespon. Tepatnya takut salah merespon.
Lalu perhatian Susan beralih ke arah Traver yang datang menuju mejanya.
"Nyonya, Tuan Peter mencari anda!" Kata Traver.
"Katakan padanya, aku mau makan siang dulu, baru aku akan menemuinya lagi." Jawab Susan.
"Baik, Nyonya." Traver berlalu pergi.
Susan nampak dilema dengan keputusannya. Apa keputusan untuk memenjarakan Peter di pengasingan itu adalah pilihan yang tepat? Apakah itu tidak berlebihan? Tidakkah Susan ingin memberinya kesempatan satu kali lagi untuk memperbaiki kekacauan ini? Tapi, apakah benar, Peter akan berubah?
Susan berpikir lagi. Pantaskah Peter di beri kesempatan itu? Dia sudah berselingkuh darinya selama ini. Hingga memiliki seorang anak pula. Peter juga membiayai kehidupan simpanannya menggunakan uang perusahaan milik Susan. Dia belikan rumah, bahkan Villa untuk wanita itu.
Kepalanya seketika terasa pusing memikirkan semua itu. Masih memikirkan apakah ini ujian rumah tangganya? Layaknya setiap rumah tangga dengan setiap ujian yang berbeda-beda. Ada yang di uji dengan suami tak bertanggung jawab. Ada yang di uji dengan mertuanya galak. Ada yang di uji tidak memiliki anak. Ada juga yang miliki anak, namun anaknya durhaka. Ada juga yang di uji dengan perselingkuhan macam rumah tangga Susan sekarang.
Susan mengetuk-ngetukkan jemarinya di meja kayu itu. Mencoba sedikit berdamai dengan keadaan. Siapa tau itu jalan keluarnya. Lebih baik daripada memasukkan Peter ke penjara pengasingan. Benar bukan?
Pesanan mereka datang. Susan dan Alice segera menyantap hidangan itu. Susan nampak kelaparan kali ini. Sepertinya semua masalah ini menguras tenaga dan pikirannya.
********
Di kamar inapnya, Peter menunggu kedatangan Susan lagi. Dalam benatnya, dia berpikir apa yang terjadi pada istrinya itu. Mengapa dia terkesan mengabaikannya.
Peter mencoba menelisik kemungkinan-kemungkinan yang bisa saja terjadi selama dia koma.
Wajahnya kusut tak karuan. Banyak pikiran. Bukannya di sambut dan di temani dengan hangat oleh Susan. Dia malah di abaikan oleh istrinya itu.
Dia mengingat betul bagaimana sabar dan telatennya Susan merawat Tuan Sanders. Dia dengan sabar menyuapi sendok demi sendok bubur ayam buatannya sendiri. Tapi mengapa saat dirinya yang terkujur lemah ini malah di abaikan.
Setelah sekitar satu jam menunggu. Akhirnya Susan datang juga. Dia masuk sendiri ke kamar inap itu. Sedangkan Alice dan Traver berjaga di luar.
Kali ini, Peter ingin bicara dengan hati-hati pada Susan. Tak ingin memprovokasi wanita itu agar tak meninggalkannya lagi.
Sebenarnya dia sendiri tak tau ingin bicara apa pada Susan. Dia hanya ingin Susan menemaninya. Menyuapinya. Atau sekedar basa-basi belaka.
"Sayang.." Sapa Peter.
Susan tersenyum. Mencoba sebisa mungkin untuk tenang. Dia duduk di kursi samping ranjang Peter.
"Aku memutuskan untuk pulang hari ini." Kata Peter memulai percakapan.
Susan nampak terkejut. Karena Peter tidak memberitahu hal ini sebelumnya.
"Bagaimana bisa? Kau baru saja sadar." Kata Susan.
"Biar aku rawat jalan saja, Joshua juga sudah menyetujui."
Susan menarik nafas berat. Dia ingat punya janji temu dengan Edward besok pagi. Jika Peter pulang hari ini, dia tidak punya alasan untuk pergi besok. Susan menggigit bibir bawahnya.
"Tenang saja, Joshua itu dokter terbaik, dia pasti bisa merawat ku, dia juga bilang akan meminta asisten pribadinya untuk bertugas di mansion. Siapa itu namanya, Olivia kalau tidak salah." Peter menjelaskan.
Mau tidak mau Susan mengangguk mengiyakan. Bagaimana lagi, pikir Susan. Ternyata Peter sudah berkonsultasi dengan Dokter Joshua sebelumnya.
Sebenarnya, Susan dan Alice sudah selesai makan sedari tadi. Tapi mereka masih berdiam di caffe sembari mendengarkan ponsel Alice yang tersambung dengan alat penyadap. Hening. Tak ada suara. Hanya sesekali terdengar suara Peter yang merintih kesakitan.
Itu artinya, Peter sudah berkonsultasi dengan Dokter Joshua sebelum Susan datang ke rumah sakit.
"Mengapa dia terburu-buru sekali ingin pulang ke mansion?" Batin Susan.
"Ya sudah. Kalau begitu, terserah kau saja. Apa Traver sudah mengurus berkas kepulangan mu?" Tanya Susan.
Peter mengangguk.
Setelah itu, mereka hanya basa-basi membahas ini dan itu. Peter mencoba mencairkan suasana. Seakan tau sudah terjadi sesuatu pada Susan saat dirinya koma. Atau saat dirinya di siksa oleh Martin.
Peter juga meminta untuk di suapi oleh Susan. Seperti anak kecil yang manja kepada ibunya. Ingin di rayu dengan kata-kata manis agar mau makan.
Susan menyuapinya sedikit demi sedikit. Dia memandang wajah Peter yang seakan tak berdosa. Namun, terbesit lagi rencananya dengan Edward. Benarkah dia akan melakukan itu pada Peter?
Susan nampak ragu bahkan enggan untuk meneruskan rencananya bersama Edward. Dia memikirkan cara lain. Mungkin dengan memaafkan Peter dan memberinya kesempatan kedua agar pria itu berubah.
Mungkin, dia bisa memperbaiki kekacauan yang terjadi di Alpha Group sedikit demi sedikit sembari memperbaiki hubungannya dengan Peter. Namun, apa bisa kepercayaan itu tumbuh lagi? Bukankah Peter sudah menghancurkannya sampai tak berbentuk? Bahkan angin pun tak mampu menerpanya.
"Mungkin bisa ku coba." Batin Susan.
Bersambung...