“Dibunuh Suami, Dihidupkan Takdir”

Dua minggu setelah pertemuan itu, Studio Akar resmi mengumumkan kolaborasi barunya: AKARxELVANO Initiative—program pembinaan kreatif untuk remaja daerah, didukung dana CSR dari mitra luar negeri yang dibawa Elvano.

Media sosial komunitas pun ramai. Beberapa media fashion menyorot langkah Studio Akar sebagai bentuk "revitalisasi desain dari akar rumput." Tapi di balik semua itu, yang berubah justru adalah ruang-ruang hening dalam diri Raisa.

Ia mulai membuka ruang rapat lebih awal hanya untuk memastikan Elvano punya tempat duduk dekat jendela. Ia memperhatikan detail kecil seperti kopi hitam tanpa gula saat rapat, atau sengaja menyelipkan catatan lucu di memo proyek.

Namun yang lebih mengejutkan bagi Raisa bukanlah bagaimana Elvano begitu memahami visi kreatifnya, tapi… bagaimana pria itu tetap diam saat seharusnya ia bisa mengklaim peran lebih besar.

Tak sekali dua kali investor atau wartawan mencoba menghubungkan keberhasilan program dengan nama Elvano. Tapi jawabannya selalu sama:

“Studio Akar lahir dari luka dan keberanian. Aku hanya bantu memperluas jalannya. Yang membangun jiwanya, adalah Raisa.”

Kalimat itu, bagi Raisa, lebih dalam daripada puisi atau proposal kerja sama.

Rumah Keluarga Molan – Malam Hari

Suasana ruang keluarga sedikit berbeda malam itu. Jordan dan Reno duduk berdampingan, sementara Gavin dan Rey memperhatikan layar laptop yang menunjukkan laporan perkembangan Studio Akar.

“Aku akui, cowok itu bisa kerja,” ujar Reno.

“Tapi bisa kerja belum tentu bisa jaga hati adik kita,” timpal Jordan dingin.

Papa Molan menutup buku dan menatap anak-anaknya. “Kalian ingat waktu kalian mulai berkarier dulu? papa nggak pernah tanya soal pacar kalian. Tapi papa tahu mana yang membuat kalian bertumbuh… dan mana yang menarik kalian mundur.”

Rey mengangguk. “Elvano nggak kelihatan nyari sorotan.”

Mama Molan ikut bergumam. “Dia lebih sering nyari posisi yang bisa dorong Raisa maju.”

Jordan mendesah. “Baiklah… tapi tetap kita harus pantau. Bukan karena kita nggak percaya Raisa. Tapi karena kita sayang dia.”

Dan semua pun setuju, mereka akan mengawasi dari jauh, mereka tidak mau Raisa kecewa lagi.

Hari berlalu begitu cepat, hari ini Studio Akar membuka pameran kecil di Bandung, menampilkan karya para desainer muda binaan mereka. Ruangannya sederhana, tapi penuh makna. Setiap karya punya cerita. Setiap pengunjung membawa pulang pesan.

Elvano berdiri di samping Raisa, mengenakan batik hitam yang bersahaja. Ia tidak mencuri perhatian, tapi selalu hadir saat dibutuhkan.

Di salah satu sudut, remaja bernama Dea—lulusan program—menangis karena ibunya akhirnya melihat hasil karyanya dipamerkan.

“Kamu lihat?” bisik Elvano.

Raisa mengangguk pelan.

“Bukan desain yang kita jual. Tapi harapan.”

Raisa menoleh, menatap Elvano lama. “Kamu selalu punya cara untuk bilang hal penting dengan pelan.”

Elvano tersenyum. “Aku belajar dari kamu.”

Malam Itu – Atap Studio Akar

Raisa duduk di atap studio, memandangi lampu-lampu kota. Elvano datang membawa dua gelas cokelat hangat.

“Kali ini bukan kopi. Kamu butuh yang manis,” ujarnya.

Raisa tersenyum. “Aku pikir kamu nggak suka yang manis.”

Elvano duduk di sampingnya. “Kadang... rasa manis itu datang bukan dari apa yang kita suka, tapi dari siapa kita menikmatinya.”

Hening sebentar.

Lalu Raisa berkata lirih, “Aku takut.”

“Takut apa?” tanya Elvano sembari menatap Raisa

“Takut… kalau semua ini cuma persinggahan. Kamu datang, bantu aku tumbuh... lalu pergi lagi.” jawab Raisa lalu menunduk

Elvano menatap langit gelap yang dihiasi bintang samar. “Aku nggak datang hanya untuk jadi bab dalam hidupmu, Raisa. Aku ingin jadi bagian dari narasi yang kamu pilih, kalau kamu mengizinkan.”

Raisa menggenggam gelasnya erat.

“Kalau kamu bersedia... aku nggak janji semuanya sempurna. Tapi aku janji akan tetap di sini, walau kamu kembali takut, walau kamu marah, walau masa lalu menghantui,” lanjut Elvano.

Raisa menatap mata pria itu. Lalu mengangguk perlahan.

Sore itu, di atap studio yang dibangun dari puing-puing masa lalu, Raisa akhirnya memahami:

Bahwa cinta bukan tentang mencari seseorang untuk menyembuhkan luka…

Tapi seseorang yang tetap di sampingmu saat kamu belajar menyembuhkan dirimu sendiri.

Raisa mulai menerima Elvano yang memang sangat tulus, Elvano sangat mencintai Raisa sejak Raisa masih kecil. Tapi dulu Elvano kira hanya rasa sayang terhadap adik kecil tapi lambat lain perasaannya semakin dalam hingga ia harus pergi jauh, tapi dalam hatinya berjanji jika ia bisa bertemu lagi dengan Raisa setelah kepergiannya maka ia tidak akan memendam perasaan ini dan akan mengejar Raisa untuk jadi istrinya untuk selamanya.

Setelah beberapa hari hubungan Raisa dan Elvano semakin dekat, sedikit demi sedikit hati Raisa mulai percaya pada Elvano dan terbuka dalam hal apapun. Elvano bahkan sudah bertemu papa dari Raisa untuk meminta izin. Sebenarnya papa dari Raisa tau jika selama ini Elvano mencintai Raisa. karena sebelum kepergiannya Elvano sudah berjanji akan kembali dan menjadikan Raisa wanita satu satunya di hati Elvano.

Bersambung