NovelToon NovelToon
Billioraire'S Deal: ALUNALA

Billioraire'S Deal: ALUNALA

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Cinta Terlarang / Pernikahan Kilat / Crazy Rich/Konglomerat / Romansa / Dark Romance
Popularitas:3.2k
Nilai: 5
Nama Author: Marsshella

Pernikahan mereka bukan karena cinta, tapi karena ultimatum. Namun malam pertama membuka rahasia yang tak pernah mereka duga—bahwa gairah bisa menyalakan bara yang tak bisa padam.

Alaric Alviero—dingin, arogan, pewaris sah kekaisaran bisnis yang seluruh dunia takuti—dipaksa menikah untuk mempertahankan tahtanya. Syaratnya? Istri dalam 7 hari.

Dan pilihannya jatuh pada wanita paling tak terduga: Aluna Valtieri, aktris kontroversial dengan tubuh menawan dan lidah setajam silet yang terkena skandal pembunuhan sang mantan.

Setiap sentuhan adalah medan perang.
Setiap tatapan adalah tantangan.
Dan setiap malam menjadi pelarian dari aturan yang mereka buat sendiri.

Tapi apa jadinya jika yang awalnya hanya urusan tubuh, mulai merasuk ke hati?

Hanya hati Aluna saja karena hati Alaric hanya untuk adik sepupunya, Renzo Alverio.

Bisakah Aluna mendapatkan hati Alaric atau malah jijik dengan pria itu?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Marsshella, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bukan Tentangnya Kali Ini

Kamera berputar. Lampu sorot menyoroti bagian gelap dan berdebu.

Langit-langit bangunan retak dan dinding dipenuhi grafiti. Asap tipis memenuhi udara, efek mesin fogging untuk menambah kesan tegang.

Aluna berdiri di tengah ruangan kosong, mengenakan jaket kulit hitam, rambutnya diikat tinggi, pipi berkeringat. Di genggamannya, sebatang besi panjang—senjata tokohnya hari ini.

Sutradara berteriak dari monitor. “Camera… Rolling… Action!”

Seketika sepuluh pria bertopeng masuk dari berbagai sudut. Langkah mereka cepat, membawa tongkat dan rantai. 

Aluna mengambil sikap bertahan. Ia menyapu rambut dari wajahnya, mata tajam penuh perhitungan.

Musuh pertama datang. Dengan satu gerakan cepat, Aluna memutar tubuhnya, mengayunkan besi ke arah kaki lawan. Pria itu terjungkal.

Langkah kakinya mantap. Ia melompat ke belakang untuk menghindari pukulan dari belakang.

Berputar. Tendang. Tangkis.

Tiga lawan tumbang.

Satu lagi menyergap dari samping. Aluna mengunci leher pria itu dengan lengannya, lalu mendorong ke dinding berlumut.

Suara dentuman. Teriakan. Napas berat. Tapi Aluna tetap berdiri.

Sisa empat orang mengepung.

Kali ini, Aluna melepas jaket dan melemparkannya ke satu lawan, mengalihkan fokus. Dalam hitungan detik, ia melompat dan menjatuhkan dua lainnya dengan lutut ke dada.

Tersisa dua.

Salah satu menyerang frontal. Aluna menekuk badan, lalu menyapu kaki lawan dengan cepat. Efek slow motion diterapkan oleh editor.

Yang terakhir mencoba kabur. Tanpa ragu, Aluna melempar senjatanya. Besi itu melesat dan menghantam lutut si lawan.

Tumbang.

Gedung kembali hening.

Sutradara berteriak. “CUT! GILA! GILA! SEMPURNA!”

Aluna berdiri dengan napas ngos-ngosan. Tangannya gemetar. Lututnya sedikit lemas. 

Kru tepuk tangan. Beberapa staf mendekat menawarkan air dan handuk.

Aluna mengusap wajahnya. Duduk di salah satu balok beton.

Aluna setengah tertawa, masih ngos-ngosan. “Pindah genre dari drama plus-plus ke tukang lawak... sekarang tukang gelut. Capeknya beda-beda... Tapi tetap aja capek.”

Sutradara tertawa. “Tapi kamu bikin genre ini naik level, Al. Luar biasa!”

Aluna mengangguk kecil, menyeka keringat di leher. Matanya menatap langit-langit gedung yang retak. Dalam hatinya: ia bukan lagi gadis polos yang cuman dipoles kamera. Kini ia jadi petarung—di layar dan di hidup nyata.

Kembali syuting.

Ruang interogasi dibuat dramatis. Meja logam dengan lampu sorot tunggal dari atas. Dinding dihiasi papan bukti, coretan benang merah, dan foto-foto tersangka.

Aluna, dalam seragam detektif, berdiri dengan postur tegak. Di depannya sang aktor senior berperan sebagai atasannya—berwajah garang dan penuh tekanan.

Aluna mengangkat tangan hormat. Matanya fokus ke lawan main.

Aluna dengan nada serius. “Lapor, Pak! T-tim Alfa, eh, Alfa unit khusus… sudah berhasil menangkap tiga tersangka… tersangka peng—penged—pengedar nark… narkosir…”

Aluna berhenti. Matanya membulat. Wajah sang aktor senior tetap tegas menatap, menunggu lanjutan.

Aluna mengerutkan alis, sadar salah. “Narkosir…? Maksud saya narkoba, Pak.”

Semua kru langsung tertawa pelan. Aluna memegang wajahnya, lalu meletakkan tangan di atas meja interogasi.

“Aduh, maaf ya, Pak Sutradara… Narkosir itu apaan sih…”

Sutradara dari balik monitor, tertawa. “CUT! CUT! Astaga, Al, itu kayak nama musuh dari planet lain!”

Seluruh kru tertawa. Bahkan aktor lawan main Aluna mengusap wajah sambil tertawa menahan.

Aluna ikut tertawa malu, menggenggam skrip.

Aluna cengengesan. “Sumpah, udah diulang-ulang di kepala… pas buka mulut jadi kayak nyanyi dangdut.”

“Break 10 menit dulu. Kasihan Ibu detektif kita bisa kram lidah.”

Kru menyebar, ada yang duduk, ada yang mengambil air minum.

Aluna duduk di kursi properti, melepas jaket hitamnya ala detektif divisi kriminal dan kekerasan.

Wajahnya menengadah. Napasnya perlahan kembali tenang. Ia meraih smartphone. Di layar, foto Arshen tersenyum kecil dalam dekapannya.

Jari Aluna menyentuh layar pelan. “Mama kerja ya, sayang. Nanti pulang bawa susu…”

Wajahnya melembut, senyumnya sendu tapi bahagia. Meski tadi salah ucap, hari ini tetap hari yang baik. Karena ia masih bisa bekerja dan punya seseorang untuk pulang.

Aluna melakukan video call. Ia sudah tidak tahan.

Tampak Callindra menggendong Arshen yang memakai baju bergambar bebek kuning.

Callindra tersenyum lembut. “Arshen, nih lihat... Mama nelpon.”

Arshen menatap layar sebentar, lalu meraih layar kecil itu dengan tangan mungilnya.

Aluna tersenyum cerah. “Hai, Sayang... Mama kangen banget. Sudah makan? Sudah pipis berapa kali, hmm?”

Arshen tidak menjawab. Hanya mengedip dan memainkan air liurnya sambil tersenyum kecil. Tapi…

Arshen, pelan tapi jelas. “Ma… ma…”

Callindra langsung tertegun. Mata Aluna membesar. “Astaga… itu… dia barusan bilang...!”

Aluna membelalak. “Apa?! Ulang, ulang! Arshen, bilang lagi dong! Mama mau rekam. Bilang ma-ma…”

“Ma… ma…”

Aluna langsung berjingkrak berdiri. “SURYAAAAAA!!! DIA NGOMONG MAMAAAAA!”

Tanpa sadar, kakinya menginjak kaki Surya yang sedang duduk dekat snack bar sambil main smartphone.

“AW—!! Aduh kaki gua, Al—”

Aluna masih jingkrak. “Maaf, maaf! Tapi dia bilang Mama! Pertama kali! Mama!”

Surya menahan sakit, lalu ikut tertawa karena melihat Aluna yang nyaris menangis bahagia.

Aluna menarik Surya berdiri lalu spontan memeluk manajernya itu. “Dia bilang mama, Suryaaa! DIA NGOMONG MAMA!”

Surya menepuk punggung Aluna. “Aduh iya, iya, gue dimaafin walau jempol biru. Hebat banget lo! Mama pertama yang dibilang anaknya saat lagi jadi detektif penangkap narkosir!”

Aluna tertawa keras sambil mengusap air matanya. Mereka jingkrak-jingkrak bareng, seperti anak kecil menang lotre. Beberapa kru memperhatikan dan ikut senyum-senyum.

Aluna menggenggam smartphone kuat-kuat, mencium layar. “Tunggu Mama pulang ya, Arshen. Hari ini kamu bikin Mama kuat lagi.”

...***...

Alverio University

Langit cerah dengan hembusan angin sejuk menerpa daun-daun pohon besar di sekitar kampus.

Senara keluar dari ruang kelas desain yang terletak di bangunan tribun bertingkat. Ranselnya disampirkan ke satu bahu. Rambut pirangnya dikuncir setengah, langkahnya santai sambil membuka smartphone.

“Eh… jadi gitu ya. Udah lupa sama gue.”

Senara langsung menghentikan langkah. Menoleh. Seorang cowok berdiri di bawah tangga tribun, rambutnya hitam legam, sedikit berantakan. Ia bersandar santai di tiang, memakai hoodie hitam dengan jaket denim yang dilipat di tangan. Tatapannya tenang tapi tajam.

Senara menyipit. Memandang tajam ke arah cowok itu. “Lo siapa?”

Cowok itu menaruh tangan di dada, berpura-pura tersinggung. “Sakit banget, Sen. Masa lo lupa partner bolos paling legend di SMP kita dulu?”

Senara sedikit terperangah. Perlahan-lahan tatapannya berubah penuh ingatan. “Jangan-jangan... Ares?”

Cowok itu—Ares Navvare—tersenyum lebar, matanya menyipit seperti dulu. “Akhirnya. Gue sampe nungguin lo di depan kelas demi dramatis kayak FTV.”

Senara tertawa, memukul pelan lengannya. “Gila! Lo berubah banget. Rambut lo item gitu sekarang, waktu SMP rambut lo sempat dicat merah, ‘kan? Sekarang glow up. Terus tinggi kaya tiang padahal dulu lo seketiak gue.”

“Makanya gue trauma warna. Sekarang pure black biar hidup tenang.”

Mereka tertawa bersama. 

Senara tersenyum sambil memandangi Ares. “Gue kira lo udah pindah ke mana gitu. Gue juga abis SMP langsung dikirim ke luar negeri.”

Ares manggut pelan. “Gue tahu. Sejak lo ngilang, bolos jadi nggak seru. Gak ada temen kabur pas kelas olahraga.”

Senara memiringkan kepala. “Gue rindu masa itu... tapi kita, ‘kan, udah gede sekarang.”

“Gede sih, tapi lo masih suka buang muka pas digombalin?”

Senara mendengus sambil tertawa kecil. “Sama kayak dulu, sok banget.”

Mereka tertawa lagi. Terlihat seperti dua sahabat lama yang akhirnya bertemu kembali, masing-masing dengan versi baru dari diri mereka. Tapi tetap membawa jejak masa lalu yang tak terlupakan.

...***...

Langkah Senara melambat setelah tawa mereka reda. Ia menggigit bibir bawahnya, agak malu-malu tapi masih mencoba terlihat cuek.

Senara menarik napas, tersenyum miring. “Gila ya, kita ketemu lagi. Terakhir kali gue liat lo, lo masih nulis nama gue di kursi paling belakang.”

Ares berjalan di sebelahnya. “Sekarang gak nulis nama lo di kursi... tapi di hati.”

Senara langsung mencibir sambil mendorong bahu Ares. Mereka tertawa, lalu Senara mulai melangkah ke arah kafetaria. Ares mengikutinya.

“Inget gak waktu gue masih SMP dan lo sempat nembak tapi gue bilang—”

Ares menyela, tersenyum tipis. “Lo gak boleh pacaran sampai gue balik ke sini.”

Langkah Senara terhenti sejenak. Ia menoleh cepat, heran. “Lo masih inget?! Astaga... gue asal ngomong loh waktu itu. Bocah SMP, Ares.”

Ares menghentikan langkah. Suaranya tenang tapi dalam. “Ya, tapi gue serius. Sampai sekarang. Gue nunggu lo balik. Belum ada yang gantiin. Gue nungguin.”

Senara tertawa kecil, tapi tatapannya seperti menahan sesuatu di dada. Ia kembali berjalan ke kafetaria.

“Gila. Gue gak percaya lo masih aja nungguin. Lagian, lo yakin mau sama cewek yang... mantannya banyak di luar negeri?”

Ares menyusul, matanya menatap lurus ke arah Senara. “Ya itu, ‘kan, ‘mantan’, bukan ‘sekarang’. Gue gak peduli siapa yang pernah lo pegang tangannya, cium pipinya, atau nginep di kamarnya...”

Ares berhenti, membuat Senara ikut melambat. “Yang penting sekarang gue ada di depan lo. Dan kalau lo izinin, gue bakal tetap di situ. Gak kemana-mana.”

Senara tertunduk pelan, senyumnya kecil. Hatinya, yang dulu sempat menggampangkan, kini pelan-pelan bergetar.

...***...

Senara duduk di meja dekat jendela besar bersama Ares. Di depannya, dua piring mie goreng panas mengepul dengan telur setengah matang dan irisan cabai rawit. Minumannya: es jeruk manis dan susu coklat dingin. Suasana kafetaria cukup ramai tapi tak sampai bising.

Ares mengambil sumpit lalu menggulung mie goreng itu.

Ares mengangguk puas. “Fix, ini makanan terbaik buat anak rantau dan mahasiswa.”

Senara mencibir, menggulung mie. “Masa jurusan desain kelas atas makan beginian?”

“Bukan soal apa yang dimakan. Tapi siapa yang makan bareng gue.”

Senara langsung tertawa, hampir tersedak mie. Ares ikut tertawa pelan, lalu mengambil smartphone dari meja. Saat hendak membalas chat, layar menyala dan wallpaper-nya jelas terlihat: foto mereka berdua saat SMP. Pakaian abu-abu khas seragam, latar belakangnya tembok timeline seperti di museum sekolah.

Senara spontan menarik smartphone itu dari tangan Ares.

Senara terbelalak. “Lo... Masih nyimpen ini?!”

Ares hanya mengangkat bahu, santai tapi tulus. “Gue ganti hape dua kali, tapi foto ini selalu gue pindahin duluan. Penting.”

Senara melihat fotonya lama, matanya agak berkaca, tapi ia menahan senyum. “Rambut gue... berantakan banget ya.”

Ares menatap Senara. “Justru di situ manisnya.”

Suasana jadi hening beberapa detik. Hanya suara sendok dan gelas dari meja sekitar. Ares lalu membuka kontak meminta nomor Senara.

“Gue kirim ke lo ya. Biar dua-duanya punya memori yang sama.”

Senara menatap Ares, bibirnya menyunggingkan senyum kecil. Entah kenapa dadanya hangat.

Hari itu, mie instan yang sederhana terasa seperti makan malam nostalgia.

Suasana mulai lengang. Meja-meja mulai kosong ditinggal mahasiswa yang kembali ke kelas atau sekadar pindah tempat nongkrong.

Ares dan Senara masih duduk di meja pojok dekat jendela. Dua gelas dan piring mie kosong habis tak bersisa jadi saksi nostalgia mereka.

Senara tertawa kecil. “Ingat gak, kita pernah ngumpet di balik lemari laboratorium biar gak ikut pelajaran Matematika?”

Ares menyender, tersenyum. “Terus lo bersin, satu lab jadi tahu. Guru kita sampai manggil guru BK. Gue kena SP.”

Senara tertawa makin keras, matanya berair saking lelah menahan tawa. Tapi setelah itu, tawa mulai mereda. Senara masih melanjutkan cerita, tapi suaranya menurun.

Senara bersuara pelan. “Setelah gue dipaksa pindah ke luar negeri... gak ada temen bolos, gak ada yang dengerin gue cerita, gak ada Ares...”

Senara sadar suara langkah dan obrolan kafetaria terus berjalan, tapi dalam momen itu, dunia seakan mengecil hanya pada dirinya dan Ares.

Ares tak memotong. Tak menyela. Ia hanya menatapnya, benar-benar menatap, seolah setiap kalimat Senara penting. Seolah ia tak mau melewatkan satupun detail.

Dan saat Senara selesai bicara, Ares tidak berkata apapun.

Ia berdiri perlahan, membulatkan niat. Tangannya terangkat, mendarat lembut di belakang kepala Senara—lalu tanpa peringatan, ia mencondongkan tubuh dan mencium kening Senara.

Singkat. Lembut. Tapi cukup untuk membuat dunia Senara berhenti berputar.

Ares tersenyum kecil lalu berjalan pergi begitu saja, membiarkan Senara membeku di tempat.

Sekitar dua detik kemudian...

Senara menutup wajah dengan tas. “MALUUUUU—!!”

Beberapa mahasiswa menoleh. Senara mendengus, cepat-cepat berdiri dan mengejar Ares yang sudah setengah jalan keluar dari kafetaria.

Senara berteriak pelan. “Ares! SINI LO—!”

Ares menoleh, ekspresinya santai. Tapi sebelum sempat bicara…

Senara melompat ringan, menimpuk bagian belakang kepala Ares dengan tasnya.

Senara mencibir, “tinggi banget sih! Susah nonjoknya!”

Ares tertawa—lepas, ringan, dan tulus. Sementara Senara masih pura-pura marah, pipinya memerah. Tapi dalam hatinya, ia tahu, dahi yang baru saja dicium itu akan terasa hangat sampai malam nanti.

1
Soraya
mampir thor
Marsshella: makasi udah mampir Kak ❤️
up tiap hari stay tune ya 🥰
total 1 replies
Zakia Ulfa
ceritanya bagus cuman sayang belum tamat, dan aku ini g sabaran buat nungguguin bab di up. /Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm/
Marsshella: makasi udah mampir, Kak ❤️
Up tiap hari udah aku alarm 😂
total 1 replies
Desi Oktafiani
Thor, aku udah nggak sabar nunggu next chapter.
Marsshella: ditunggu ya, update tiap hari 👍
total 1 replies
Dear_Dream
🤩Kisah cinta dalam cerita ini sangat menakjubkan, membuatku jatuh cinta dengan karakter utama.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!