Kisah ini tampak normal hanya dipermukaan.
Tanggung jawab, Hutang Budi(bukan utang beneran), Keluarga, cinta, kebencian, duka, manipulasi, permainan peran yang tidak pada tempatnya.
membuat kisah ini tampak membingungkan saat kalian membacanya setengah.
pastikan membaca dari bab perbab.
Di kisah ini ada Deva Arjuno yang menikahi keponakan Tirinya Tiara Lestari.
Banyak rahasia yang masing-masing mereka sembunyikan satu sama lain.
____________
Kisah ini sedang berjuang untuk tumbuh dari benih menjadi pohon.
Bantu aku untuk menyiraminya dengan cara, Like, Komen dan Subscribe kisah ini.
Terimakasih
Salam cinta dari @drpiupou 🌹
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aerishh Taher, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Berharap terus menerus
...POV Tiara...
...****************...
Tiga hari telah berlalu sejak aku tinggal di rumah ini. Sebuah rumah kaca dua lantai dengan lantai marmer yang memantulkan bayangan tubuhku setiap kali aku berjalan.
Namun, tak ada satu pun sudut yang terasa seperti rumah.
Mas Deva masih sama seperti awal kami menikah dia hanya diam.
Tak satupun kata terlontar dari bibirnya. Mas Deva tak pernah bertanya apakah aku sudah makan, apakah aku nyaman.
Bahkan, tidak bertanya apakah aku kesepian. Padahal, aku berharap.
Sekali saja, aku berharap hanya sekali dia akan berkata, "Tiara, apa kau sudah sarapan? Maukah kau sarapan denganku?" Itu saja sudah lebih dari cukup bagiku.
Setiap pagi aku menata meja makan untuk dua orang, meski dia selalu sarapan sendiri, meninggalkanku sendirian.
Setiap malam aku menyisakan sedikit lauk yang ku buat, berharap dia datang ke dapur, mungkin akan duduk dan memintaku menyediakan nasi.
Tapi tidak.
Setiap derit pintu ruang kerjanya yang membuka dan menutup terasa seperti denyutan kesunyian yang semakin dalam.
Tak ada satu pun langkah kaki yang memecah hening menuju ruang makan.
Saat ini, aku memberanikan diri mengiriminya pesan.
Aku sudah tak tahan dengan kebisuannya.
"Mas, boleh aku bicara?" Kutulis satu kalimat itu. Jemariku bergetar saat menekan tanda kirim.
Terbayang wajahnya membacanya pesan dariku, lalu membalas, "Nanti ya." Atau, "Ada apa?"
Mungkin juga cuma, "Hmm?"
Tapi tidak ada balasan apa pun.
Dia masih mengabaikan pesanku.
Sesak menderaku, gemetar saat melihat centang dua biru menyala.
Mas Deva membaca pesan dariku.
Namun.. Sayangnya dia tidak berniat untuk membalasnya.
Ponselku yang menyala kembali gelap, dan pandangan mataku menangkap pantulan wajah sendu ku di sana.
Aneh, bahkan dari pantulan layar ponsel pun aku terlihat seperti orang yang terlalu berharap.
Aku menutup layar pelan-pelan.
Ku dudukan diriku disudut ranjang sambil memeluk lututku, di kamar yang sunyi ini.
Apa aku terlalu berharap? Apa seharusnya aku tidak menunggu? Tidak menyiapkan sarapan? Tidak mengirim pesan?
Apa salahku?
Aku mulai bertanya-tanya… apakah ini memang pernikahan? Atau sekadar perpindahan nama di dokumen?
Aku seorang... Istri.
Istri.
Tapi tak ada kehangatan yang memeluk, tak ada tatapan yang mengakui keberadaanku, dan tak ada sapaan yang memecah kesepianku.
Langkah kakiku menuju ke arah ruang tengah.
penampakan ruangan ini agak berantakan.
Meja yang mulanya berantakan sekarang terlihat rapih.
Debu di vas juga telah ku bersihkan, dengan hati-hati jemariku melap kaca-kaca jendela yang menjulang tinggi, lantai yang sudah disapu terlikat mengkilap.
Ini semua ku lakukan.
Bukan karena aku ingin menjadi istri yang sempurna. Tapi karena aku tidak tahu harus berbuat apa lagi.
Tanganku bergerak, menciptakan riuh samar di antara benda-benda, berharap suara itu mengisi kehampaan, berharap menggoyahkan keheningan yang diciptakan suamiku. .
Entah berapa lama aku bergelut dengan ruang tengah, sampai deru mesin mobil Mas Deva terdengar dari luar.
Tak lama kemudian, ketukan pelan menginterupsi.
"Tok...tokk...tokk."
"Assalamualaikum, Bi," kudengar ucapan salam dari Mas Deva. Tapi bukan untukku.
Aku seperti tak terlihat di matanya.
"Waalaikumsalam, Mas," jawabku sambil menyodorkan tanganku, berniat untuk menyalami tangannya.
Wajah Mas Deva melengos.
Gerutan yang diiringi dengusan, terlihat di wajahnya sebelum meninggalkanku dengan tangan yang menggantung.
Kadang aku bertanya pada diriku sendiri, apakah mungkin dia membenciku? Atau yang lebih buruk, dia tidak peduli sama sekali pada istrinya ini.
Malam ini aku duduk di balkon kecil, sendirian. Menatap langit kota yang pucat, tanpa bintang. Perjodohan ini menyiksaku.
Sakit yang kutanggung beberapa hari ini membuatku terus bertanya-tanya… Apakah tidak ada gunanya aku bertahan? Ini baru lima hari.
Bagaimana jika lima tahun Mas Deva tetap tidak berubah? Lalu apa yang harus kuperbuat? Kupejamkan mataku sejenak.
Aku sudah tidak melanjutkan kegiatan membereskan ruang tamu.Aku kehilangan semangatku.
Langkahku kembali menuju meja makan. Aku ingin meminum tehku.
Teh nya sudah mulai dingin saat jemariku menggenggam mug Tehku.
Aku tidak tahu harus bicara pada siapa. Rumah ini terasa asing dan sepi.
"Apa aku tidak pantas dicintai?" —tanyaku lagi dalam hati.
Aku merasa tidak pantas untuk dicintai, aku meragukan diriku sendiri.
Kata itu melayang masuk dalam hati. Sesaat aku sadar, aku tidak boleh memikirkan diriku sendiri seperti ini.
Kutepiskan perasaan itu.
Aku tidak boleh selemah ini.
Aku harus kuat.
Ku memilih untuk tinggal dirumah ini, karena
aku istrinya.
Tidak butuh alasan untuk tetap tinggal.
Aku adalah istrinya, wanita yang ia nikahi karena perjodohan orang tua.
Jika terus begini, harapanku akan mengering.
Aku meremas ujung bajuku, derai air mata membasahi kain, menyalurkan pedih yang hanya aku rasakan.
Di dalam kamar, isakku tertelan sunyi, tak ada telinga yang sudi mendengar.
Waktu melarut bersama tiap tetes air mata yang kutumpahkan, tanpa suara.
Isakan itu tercekik di kerongkongan, tenggelam dalam keheningan bantal.
Dinding-dinding kamar menjadi satu-satunya pendengar bisu, tanpa sepasang lengan yang merengkuh, tanpa pertanyaan mengapa hatiku berduka.
Air mataku sudah mengering. Tapi tubuhku masih menggigil kedinginan. Kupaksa diriku bangun dari kasur. Tenggorokanku terasa kering dan perih. Rasanya seperti aku sedang berteriak terlalu lama dalam hati sendiri dan lelah sendiri.
Kupijakkan kaki ke lantai dingin, melangkah perlahan ke luar kamar. Jam dinding sudah menunjukkan lewat pukul sepuluh malam. Rumah ini begitu sepi, dan gelap yang menggantung di langit-langit seperti ikut menekanku dari atas.
Kakiku menuju dapur. Kudekati lemari kaca dan mengambil gelas, mengisi segelas air ke dalamnya, dan kuteguk secara perlahan. Tapi air pun tak bisa menenangkan kerongkongan yang terasa penuh sesak.
Dari dapur, aku melihat pantulan cahaya dari ruang tengah. TV menyala. Aku melangkah dengan pelan ke arah ruang tengah. Dan… di sofa panjang yang biasanya kosong, terlihat Mas Deva duduk dengan lengannya disilang, wajahnya menatap layar tanpa ekspresi. Ia bahkan tidak terkejut saat melihatku berdiri di ambang ruangan.
"Mas…" suaraku nyaris berbisik.
Dia tak menjawab panggilanku.
Aku berdiri beberapa detik, lalu memberanikan diri melangkah lebih dekat kepadanya. Cahaya dari layar TV menyorot wajahnya yang dingin. Matanya menatapku seperti tak mengenalku.
Aku berdiri di depannya, menatapnya yang hanya diam tanpa mengatakan apa pun.
"Mas Deva…" panggilku lagi, lebih jelas, meski suaraku sedikit bergetar.
Kali ini dia menatapku dengan sorot mata dingin dan tajam ke arah mataku.
Dan lalu, dia tertawa kecil. Bukan tawa lucu. Tapi tawa sinis, tawa yang membuat jantungku berdebar karena takut.
"Tolong," katanya akhirnya, suaranya pelan tapi tajam, "Teruskan saja peranmu."
Dahiku mengerut bingung. "Peran?"
"Ya. Peranmu sebagai istri manis, yang duduk diam, menyiapkan sarapan, bertanya kenapa suaminya diam. Semua itu…" Ia mendecih, "...hanya permainan, kan? Aku tidak akan ikut."
"Mas...aku tidak mengerti…"
"Jangan berpura-pura bodoh, Tiara," katanya cepat. "Kau tahu kenapa aku seperti ini.
Kau tahu apa yang membuatku muak.
Dan kalau kau pikir dengan wajah polos dan pesan manismu kau bisa mengubah apa pun... kau salah besar."
Suara itu begitu tajam layaknya hantaman batu yang memukul dadaku dengan keras.
"Mas… aku hanya ingin tahu… kenapa Mas membenciku?"
Ia mengalihkan pandangan ke TV lagi. Suaranya nyaris tak terdengar, tapi tiap katanya menamparku lebih keras dari tamparan fisik.
"Aku tidak membencimu, Tiara. Aku hanya tidak peduli. Apa itu jawaban yang cukup untuk memuaskan segala pertanyaanmu?" Lidahku kelu. Hatiku seperti diiris pelan-pelan.
"Aku sangat lelah," lanjutnya. "Ada banyak hal yang lebih penting dalam hidupku daripada bermain drama dengan perempuan yang bahkan senang berpura-pura."
Aku terdiam. Tubuhku bergetar mendengar kata-kata tajam dari Mas Deva. Suasana di ruang tengah itu lebih dingin dari malam di luar.
Tak ada lagi yang bisa kukatakan. Bibirku bergetar, kugigit bibirku kuat untuk menahan rasa perihku. Lututku lemas, aku menahan semuanya agar aku tidak runtuh di hadapannya.
Aku bukan sedang meminta untuk dicintai.
Aku hanya ingin dimanusiakan oleh suamiku sendiri.
Tapi…
sepertinya itu pun terlalu mewah untuk kuminta.
Keren Thor... semangat terus ya