Dia mendengar kalimat yang menghancurkan hatinya dari balik pintu:
"Dia cuma teman tidur, jangan dibawa serius."
Selama tiga tahun, Karmel Agata percaya cintanya pada Renzi Jayawardhana – bosnya yang jenius dan playboy – adalah kisah nyata. Sampai suatu hari, kebenaran pahit terungkap. Bukan sekadar dikhianati, dia ternyata hanya salah satu dari koleksi wanita Renzi.
Dengan kecerdasan dan dendam membara, Karmel merancang kepergian sempurna.
Tapi Renzi bukan pria yang rela kehilangan.
Ketika Karmel kembali sebagai wanita karir sukses di perusahaan rival, Renzi bersumpah merebutnya kembali. Dengan uang, kekuasaan, dan rahasia-rahasia kelam yang ia simpan, Renzi siap menghancurkan semua yang Karmel bangun.
Sebuah pertarungan mematikan dimulai.
Di papan catur bisnis dan hati, siapa yang akan menang? Mantan sekretaris yang cerdas dan penuh dendam, atau bos jenius yang tak kenal kata "tidak"?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NonaLebah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 33
Setelah hening yang berat usai ciuman mereka, Renzi masih tak melepaskan Karmel. Gairah, kecemburuan, dan rasa posesif yang liar masih menggelegak dalam darahnya. Dengan gerakan tak terduga yang kuat namun halus, kedua tangannya meraih pinggang Karmel dan mengangkatnya, mendudukkannya di atas kap mesin mobil sport hitamnya yang mengilap dan dingin. Karmel terkesiap, tangannya refleks berpaut pada bahu Renzi.
Tanpa kata, Renzi melanjutkan serangannya. Bibirnya kembali menemukan bibir Karmel, kali ini lebih dalam, lebih mahir, seperti ingin menghapus segala memori orang lain. Kemudian, ciuman itu bermigrasi. Bibirnya menelusuri garis rahang Karmel, turun ke lehernya yang jenjang dan putih bagai susu. Di sana, ia berhenti. Napasnya panas membakar kulit. Lalu, ia mengecap. Bukan ciuman lemah. Gigitan kecil yang keras, disusul oleh sesapan intens yang menyedot darah ke permukaan kulit. Karmel menggeliat, sebuah rintihan terlepas—campuran antara rasa sakit dan kenikmatan yang membuatnya malu. Satu, dua, tiga tanda keunguan terbentuk di leher dan dekat tulang selangkanya, stempel kepemilikan yang primitif dan tak terbantahkan.
Ciuman itu terus merayap turun, menyusuri garis tulang selangka, berhenti sebentar di cekungan di antara tulang-tulang itu, lalu turun lebih jauh ke area dada yang terungkap oleh neckline gaun. Di sana, tepat di atas payudaranya di mana detak jantung berdegup kencang, Renzi berhenti. Nafasnya yang tersengal-sengal terasa panas melalui kain sutra tipis.
Tiba-tiba, seluruh ketegangan pada tubuhnya mengendur. Kepalanya yang tadinya tegang, dengan lembut bersandar di dada Karmel, pipinya menempel pada kain di atas jantungnya yang berdegup kencang seperti drum perang. "Deg-Deeg... Deg-Deeg." Denyut itu keras, cepat, dan liar, berdetak melalui tulang rusuk dan sutra, langsung ke kulit Renzi. Dia menutup matanya rapat-rapat, pelupuk matanya bergetar. Kedua tangannya melingkar erat di pinggang Karmel, mencengkeram kain gaun seolah takut dia akan menguap.
Dalam keheningan basement yang dingin, hanya ada suara napas berat mereka dan denyut jantung yang bersahutan. Renzi, sang manipulator ulung, sang pria yang selalu memegang kendali, kini terlihat seperti anak yang tersesat, mencari pelabuhan di tengah badai emosinya sendiri.
Dan dari jarak sepuluh meter, di balik tiang beton dekat lift, seorang pria berdiri membeku. Bima. Tas kecil yang hanya berisi dompet dan ponselnya tergenggam lemah di tangannya. Dia menyaksikan semuanya—dari ciuman penuh gairah di dinding, hingga keintiman yang hampir putus asa di atas kap mobil. Wajahnya yang biasanya teduh kini pucat dan kaku. Ada sesuatu yang patah di matanya. Perlahan, tanpa suara, dia berbalik dan menekan tombol lift lagi, memutuskan untuk pergi melalui lobby utama. Pertarungan itu bukan miliknya. Medan perang itu hanya ada untuk dua orang: Renzi dan Karmel.
Kamar Karmel gelap, hanya diterangi cahaya remang-remang dari lampu tidur. Gaun hitam yang mahal itu masih melekat di tubuhnya, terasa seperti kulit asing. Dengan langkah gontai, dia berdiri di depan cermin panjang di lemari pakaiannya.
Dia menatap pantulan dirinya. Rambutnya yang tadi berombak indah kini acak-acakan. Riasan matanya sedikit luntur. Dan di kulit pucat leher dan dadanya, terpampang jelas beberapa tanda keunguan—kissmarks—bukti nyata dari kekerasan dan gairah Renzi. Dengan jari-jari yang dingin dan gemetar, dia menyentuh satu per satu bekas itu. Sentuhannya ringan, hampir seperti penjelajah yang menyentuh artefak dari zaman lain. Setiap sentuhan mengirimkan sensasi menggelitik dan mengingatkan panasnya napas, tekanan gigitan, dan kelembutan akhir yang membuatnya nyaris menangis.
"Aku benci kamu, Renz," gumamnya ke bayangannya sendiri, suaranya parau dan bergetar. "Aku benci!" Dia mengatakannya lagi, lebih keras, seolah ingin meyakinkan hatinya yang memberontak. Tapi air mata yang mulai menggenang di matanya membuktikan kebohongan itu.
Dia memalingkan wajah dari cermin, tak tahan melihat kerapuhan dirinya. "Kenapa kamu paksa aku masuk ke kehidupan kamu lagi?" tanyanya pada ruangan kosong, suaranya pecah. "Aku nggak mau cuma dijadikan teman tidur kamu! Aku nggak kuat…"
Kalimat terakhir terhenti oleh isak tangis yang akhirnya meledak. Tubuhnya melorot, duduk di lantai dengan gaun mewahnya, menyembunyikan wajahnya di antara lutut. Tangisannya menyayat, penuh dengan rasa sakit, kebingungan, dan cinta yang tak bisa dipungkiri lagi. Dia benci Renzi karena caranya, tapi lebih membenci dirinya sendiri karena masih membiarkan dirinya terbakar olehnya.
...****************...
Di rumah-nya yang luas, dingin, dan minimalis, Renzi berdiri di depan dinding kaca yang memandang langsung ke gemerlap kota. Segelas wine merah pekat hampir habis di tangannya. Tapi pikirannya sama sekali tidak pada minuman itu.
Wajahnya yang biasanya maskulin dan dingin kini terlihat keruh. Alisnya berkerut, matanya kosong menatap ke bawah tapi tidak benar-benar melihat apa pun. Kebingungan yang asing dan tidak nyaman menggerogotinya.
Dia tak pernah serius dengan perempuan mana pun. Itu adalah aturan hidupnya. Begitu pula dengan Karmel di awal—dia menarik, menantang, dan seksi. Sebuah permainan yang menyenangkan. Tapi lihat sekarang. Dia hampir gila dibuatnya. Cemburu buta melihatnya dengan pria lain. Mengatur penjemputan, membatalkan kencan, melakukan segala hal irasional hanya untuk memastikan Karmel tetap di sisinya malam ini. Bahkan, di basement tadi, dia kehilangan kendali sepenuhnya. Itu adalah kelemahan. Dan Renzi membenci kelemahan.
"Jangan gila, Renz!" serunya pada dirinya sendiri, suaranya kasar dan frustrasi memecah kesunyian apartemen mewahnya. Dia menenggak sisa wine dalam gelas. "Cewek kayak Karmel banyak! Cantik, seksi, pintar… banyak!"
Tapi begitu dia menutup matanya, yang terbayang bukan wajah-wajah wanita lain. Yang muncul adalah mata Karmel yang berapi-api penuh tantangan, senyum kecutnya yang sinis, air matanya yang tumpah di basement, dan degup jantungnya yang liar di dekat telinganya. Dan yang paling menyiksa: "…hubungan aku sama Mas Bima!"
Ucapan Karmel itu seperti pisau yang berputar di dalam dadanya.
"Sial!"
Dengan gerakan tak terkendali, amarah dan kebingungan yang meluap, Renzi melemparkan gelas kristal berat itu sekuat tenaga ke arah dinding marmer di seberangnya.
DERRR!
Gelas itu pecah berantakan, meninggalkan cipratan wine merah seperti darah di dinding putih yang bersih, pecahan kristal berserakan di lantai kayu gelap. Suara pecahannya bergema di ruangan yang luas, sebuah simbol nyata dari kendalinya yang mulai retak, dari dunia teratur yang ia bangun sekarang dihancurkan oleh seorang wanita bernama Karmel—wanita yang mungkin, untuk pertama kalinya, berarti lebih dari sekadar "teman tidur". Dan itu adalah pemikiran yang paling menakutkan dan mengacaukan bagi Renzi.
...****************...
Minggu pagi di rumah Karmel diwarnai oleh cahaya matahari lembut yang menyelinap melalui tirai linen, menari-nari di atas permukaan kayu. Karmel, dengan piyama katun sederhana dan rambut yang diikat longgar, baru saja menyeruput tehnya di meja makan ketika bel pintu berbunyi. Perasaan malas bercampur was-was; jangan-jangan Renzi yang datang dengan tuntutan barunya.
Namun, ketika dia membuka pintu, terkejut bukan kepalanya. Yang berdiri di baliknya bukanlah sosok tinggi dengan aura mengintimidasi, melainkan Bima, dengan kaus polo abu-abu muda dan celana chino, tampak segar dan santai. Senyumnya seperti matahari pagi itu sendiri—hangat dan tidak menyilaukan.
"Mas Bima…" gumam Karmel, rasa bersalah dari kemarin langsung menyergapnya, diperparah dengan bekas keunguan di lehernya yang berusaha dia tutupi dengan kerah piyama.
"Hai, Mel. Sorry ya, aku nggak ngabarin duluan," ujar Bima, suaranya tetap lembut, tanpa sedikitpun nada menyalahkan. Matanya yang jernih hanya memancarkan ketulusan.
"Ah, nggak… nggak apa-apa. Masuk, Mas," tawar Karmel, membuka pintu lebih lebar, berusaha menyembunyikan kegelisahannya.
Bima mengangguk sambil tersenyum, lalu melangkah masuk dengan santun. Dia melepas sepatu loafernya dan menatanya rapi di rak.
"Siapa, Mel?" tanya Nani dari arah dapur, suara disertai bunyi gesekan wajan.
"Mas Bima, Bu. Atasan aku dulu di kantor lama," jelas Karmel, suaranya berusaha normal. "Kopi, Mas?" tawarannya pada Bima.
"Boleh, terima kasih," jawab Bima ramah.
Nani lalu menghampiri ruang tamu, tangan masih menyeka celemek. Matanya yang tajam mengamati Bima dengan saksama. Pria di depannya cukup tampan, dengan postur tegap namun tidak mengintimidasi. Wajahnya tenang, dengan senyum yang lembut dan mata yang bersahabat. Aura yang dipancarkannya sangat berbeda dengan aura magnetik dan mendebarkan yang dimiliki Renzi. Ini aura yang menenangkan.
"Selamat pagi, Bu. Maaf ya, pagi-pagi sudah merepotkan," ujar Bima, sedikit membungkuk hormat. Sopan santunnya natural, bukan dibuat-buat.
"Oh, nggak kok, Nak," balas Nani, suaranya luluh oleh keramahan tamu. "Silakan duduk."
"Saya Bima, Bu. Dulu satu kantor dengan Karmel di tempat kerjanya yang lama," perkenalannya singkat dan jelas.
Nani mengangguk, duduk di kursi berlawanan. Dia memperhatikan bagaimana Bima memegang cangkir kopi yang diberikan Karmel dengan kedua tangan, bagaimana dia bertanya tentang hari Nani, dan bagaimana caranya mendengarkan dengan penuh perhatian. Tidak ada cela. Sikapnya sangat berbeda dengan Renzi yang meskipun dermawan dan karismatik, sering terasa seperti sedang menjalankan strategi.
Setelah percakapan ringan, Bima mengambil napas dalam-dalam dan menatap Nani dengan penuh hormat.
"Bu, boleh saya minta izin mengajak Karmel jalan hari ini?" tanyanya, suara lembut namun jelas. "Mungkin makan siang atau sekadar jalan-jalan ringan. Saya akan mengantarnya pulang tepat waktu."
Pertanyaan itu menggantung di udara. Nani tampak jelas bimbang. Janjinya pada Renzi berdesak-desakan dengan kesan baik yang diberikan Bima. Di matanya, Bima adalah pria baik, stabil, dan tampaknya sangat menyukai putrinya dengan cara yang sehat. Dia menoleh ke Karmel, yang berdiri di ambang dapur. Wajah putrinya terlihat kompleks—ada rasa bersalah, kelelahan, dan mungkin, secercah harapan untuk pelarian yang tenang. Karmel tidak menolak. Bahkan, di balik keraguannya, ada sedikit cahaya di matanya, penerimaan terhadap tawaran yang sopan dan tidak memaksa ini.
Hati seorang ibu terluluh. Nani ingin yang terbaik untuk anaknya. Dan mungkin, saat ini, 'yang terbaik' adalah memberi Karmel pilihan.
"Terserah Karmel aja, Nak," ujar Nani akhirnya, menyerahkan keputusan. Namun, senyum kecilnya pada Bima adalah tanda persetujuan diam-diam. "Tapi jangan pulang terlalu sore, ya."
Bima tersenyum lega dan bersyukur. "Siap, Bu. Terima kasih banyak."
Karmel, di sudut ruangan, merasakan pertempuran kecil di hatinya. Di satu sisi, dia ingin lari dari segala drama Renzi, dan Bima menawarkan pelabuhan yang aman. Di sisi lain, pengkhianatan kecil terhadap perasaan yang masih membara untuk Renzi terasa menusuk. Namun, saat dia melihat senyum tulus Bima dan wajah ibunya yang penuh harap, dia menarik napas dalam-dalam.
"Bentar, Mas. Aku ganti baju dulu," ucap Karmel, suaranya pelan.
Saat dia berbalik menuju kamar, bayangan renzi dan ciuman panas di basement semalam menerpa. Tapi dia menggigit bibirnya. Mungkin, hanya mungkin, hari ini bisa menjadi awal yang baru. Atau setidaknya, jeda yang sangat dibutuhkan dari pusaran emosi bernama Renzi Jayawardhana.