Dunia Elea jungkir-balik di saat dirinya tahu, ia adalah anak yang diculik. Menemukan keluarga aslinya yang bukan orang sembarangan, tidak mudah untuk Elea beradaptasi. Meskipun ia adalah darah keturunan dari Baskara, Elea harus membuktikan diri jika ia pantas menjadi bagian dari Baskara. Lantas bagaimana jika Elea merasa tempat itu terlalu tinggi untuk ia raih, terlalu terjal untuk ia daki.
"Lo cuma punya darah Baskara doang tapi, gue yang layak jadi bagian dari Baskara," ujar Rania lantang.
Senyum sinis terbit di bibir Elea. "Ya, udah ambil aja. Tapi, jangan nangis jika gue bakalan rebut cowo yang lo suka."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dhanvi Hrieya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 26| Teror
Langkah kaki Elea berhenti di teras mansion, kerutan kecil di dahinya terlihat. Pria remaja yang bersandar di pintu mobil merasa ditatap lantas membawa atensinya ke arah Elea, tangan Saka melambai.
"Elea!" seru Saka lantang menyapa Elea.
Elea mengayunkan kedua tungkai kakinya mendekati Saka, kedua tangannya dilipat di bawah dada.
"Ada apa?" tanya Elea tanpa dikomando.
Saka menggaruk leher belakangnya yang tak gatal, tersenyum konyol.
"Gue mau ngajak lo berangkat sekolah bareng."
"Kenapa?"
Tatapan mata menyelidik yang Elea layangkan membuat Saka mendadak kikuk, tidak biasanya seorang Saka menjemputnya untuk pergi ke sekolah bersama. Sebagaimana yang Elea ketahui, Saka tidak akan mendatangi dirinya tanpa alasan yang jelas.
"Gue cuma mau hubungan kita kelihatan baik di mata keluarga gue," ujar Saka berdusta, ia sendiri pun tidak tahu mengapa ia bisa membawa mobilnya ke mansion Elea.
Elea hanya ber-o ria saja, Saka berdiri tegap. Tangannya bergerak cepat membuka pintu mobil, suara derap langkah kaki mendekati keduanya terdengar jelas.
"El!" teriaknya keras.
Fokus mata Elea dan Saka sontak saja tertuju pada David, dengan dua kancing seragam atasnya belum terkancing sempurna. David menghela napas berat, dan tersenyum ke arah Elea.
"Lo berangkat bareng gue ke sekolah hari ini, 'kan?" David tersenyum ceria, embusan napasnya memburu. Sebelum senyum di bibir David patah di saat tangan Saka bertengger di atas kedua sisi bahu Elea.
"Sorry, lo telat. Elea berangkat bareng gue ke sekolah," celetuk Saka lebih dahulu.
Kedua mata David berotasi malas, mendapati keberadaan Saka di depan mansion Elea. David bahkan berlarian turun dari kamarnya, dengan keadaan berantakan. Sumpah mati, David sangat tidak menyukai Saka.
"Gue lagi nggak ngomong sama lo," ketus David, matanya bergerak ke arah Elea, "kita berangkat sekolah bareng Isyana juga. Bukannya lebih enak bareng-bareng berangkatnya."
David menyeret nama Isyana, sebagaimana pria ini ketahuan Elea cukup akrab dengan gadis berwajah judes satu itu. Saka mengerutkan pangkal hidungnya, tatapan tak suka kentara sekali.
"Isyana bisa bareng kita, gue yang akan jemput dia," kata Saka tak ingin kalah.
"Lah, emang lo tau rumah Isyana di mana?" David mencemooh.
Elea menghela napas berat, kedua tangan yang dilipat di bawah dada diturunkan. Ia melirik ke arah David dan Saka yang berada di belakang tubuhnya, tidak paham ada apa dengan keduanya.
"Lo pergi bareng gue 'kan?" Saka menyentuh pergelangan tangan Elea.
David melotot menarik kasar tangan Saka, atmosfer di depan mansion mendadak panas.
"Aduh! Kalian apa-apa sih," sela Elea mulai jengah.
Kedua tangan Elea mendorong dada bidang Saka dan David secara serentak, bertepatan dengan itu Guntur melewati pintu ke luar. Dahinya berlipat memperhatikan ketiga remaja di depan sana, merasa keberadaan sang ayah.
Elea melangkah mendekati sang ayah, dahi Guntur mengerut. Ia dapat melihat tatapan tidak suka yang dilayangkan oleh Saka dan David, satu sama lain.
"Pi! Elea berangkat sekolah bareng Papi, ya," pinta Elea saat ayahnya sudah dekat dengan dirinya.
David dan Saka melotot, membawa atensi mereka secara serentak ke arah Elea. Guntur mengangguk kecil, dan tersenyum lembut.
"Ayo," ajak Guntur lembut, "kalian berdua juga pergilah ke sekolah dengan mobil masing-masing."
Diam-diam Guntur tersenyum geli, mendapati ekspresi masam kedua remaja lelaki jangkung di depan sana. Elea merangkul tangan ayahnya, memilih berangkat ke sekolah bersama sang ayah. Daripada harus menyaksikan perdebatan keduanya, lebih baik untuk tidak berangkat ke sekolah bersama salah satu dari mereka berdua.
...***...
Mata Isyana melotot, ia menarik bahu Elea untuk mundur ke belakang. Kotak yang terjatuh saat pintu loker dibuka, memercikan cairan merah ke ujung sepatu mahal Elea.
"Gila! Apa-apaan ini," ucap Isyana setengah tak percaya.
Elea berjongkok, memungut kertas di atas bangkai ayam. Dahinya berlipat, membaca isi surat peringatan.
^^^(MATI! MATI! MATI! LO AKAN MATI MENGENASKAN ELEA!)^^^
"Siapa yang ngelakuin ini," kata Isyana kembali mengalun.
Kepala Elea mengeleng, ia menghela napas berat. Mengayunkan langkah kakinya menuju ke arah kaca transparan, memperhatikan orang-orang di bawah sana. Siapa yang sudah memasukan kotak teror ke dalam lokernya, jika boleh jujur tidak satu, dua orang saja yang tidak menyukai Elea. Ada beberapa siswa-siswi yang tidak suka dengan dirinya, apalagi dengan rumor buruk yang mengikuti Elea.
Ada banyak orang yang beranggapan jika Elea merupakan perempuan jahat, sementara Rania si gadis polos yang baik hati.
"Apakah Rania?"
Kepala Elea mengeleng, dan menjawab, "Nggak mungkin dia, karena dia nggak akan ngelakuin hal kayak gini. Ini bukan gaya Rania."
"Terus siapa, dong?"
Elea menoleh ke belakang, melirik ke arah Isyana lalu bergerak ke arah bangkai ayam di lantai. Isyana merasa ujung jari jemarinya sedingin es, berbeda dengan Elea. Gadis berparas ayu itu tidak terlihat ketakutan, wajah datarnya membuat siapa saja tidak akan mampu membaca perasan Elea.
"Kita akan tau siapa dia, dalam waktu dekat. Cukup pantau aja pergerakannya," balas Elea pelan.
"Lo nggak takut, El?"
Elea terkekeh kecil, "Apa yang harus gue takutin? Yang bertindak kayak gini cuma seorang pengecut. Karena nggak berani ngadepin gue secara langsung, makanya dia pakek trik cupu kayak gini."
Isyana lagi-lagi menghela napas kasar, ia mengayunkan langkah lakinya mendekati Elea.
"Kita ke taman, yuk. Gue ..., takut," pinta Isyana lirih.
Elea mengangguk, ia membuang secarik kertas yang ada di tangannya di lantai. Melangkah meninggalkan ruangan khusus penyimpan loker, sesekali Isyana melirik ke belakang.
...***...
"Duit gue mana?"
Rania mendelik, pria sialan ini selalu seperti ini padanya. Rania berdiri dari posisi duduknya, lidahnya berdecak kecil.
"Lo pikir gue ini ATM berjalan, huh! Kalo lo mau duit ya lo mintalah ke Bokap sialan itu. Bukan terus menerus ke gue," tolak Rania kesal.
"Pria sialan itu susah buat ditemui, karena dia lagi sibuk ketemu wanita murahan itu," sahutnya kesal, "lo pelit amat sama gue, mau gimana pun gue tetap Abang lo."
"Abang," gumam Rania mencemooh, "ada ya, orang yang ngaku Abang tapi, kerjaannya cuma memeras adiknya. Cuma bikin mental adiknya nggak sehat."
Yuda mendengus, "Gue cuma minta duit yang nggak seberapa, lo nyolot kek gue dah kayak gue ngancurin hidup lo aja. Oh, iya, gue lupa. Wanita murahan itu jatuh miskin ya, karena ketahuan selingkuh. Makanya lo ikutan jadi kere."
"Jaga ya, mulut lo!" Rania menunjuk-nunjuk wajah Yuda, wajahnya merah padam.
Yuda tersenyum menyeringai, tampaknya Rania memiliki perasaan sayang pada Diana. Wanita yang sudah menghancurkan kebahagiaan ibu mereka, Yuda terkesiap saat lemparan kartu mengenai pipinya.
Rania melotot ke arah empunya kartu, Yuda membeku saat matanya bersitatap dengan mata tajam pemilik kartu.
"Ambil! Lo butuh duit berapa, lo gesek aja sampai puas," ujarnya terdengar angkuh.
Bersambung....