Laura tidak pernah membayangkan pernikahannya akan terasa seperti penjara. Nicholas, suaminya, selalu sibuk, dingin, dan jauh. Di tengah sunyi yang menusuk, Laura mengambil keputusan nekat-menyewa lelaki bayaran untuk sekadar merasa dicintai.Max hadir seperti mimpi. Tampan, penuh perhatian, dan tahu cara membuatnya merasa hidup kembali. Tapi di balik senyum memikat dan sentuhannya yang membakar, Max menyimpan sesuatu yang tidak pernah Laura duga.Rahasia yang bisa menghancurkan segalanya.Ketika hasrat berubah menjadi keterikatan, dan cinta dibalut bahaya, Laura dihadapkan pada pilihan: tetap bertahan dalam kebohongan atau hancur oleh kebenaran.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BumbleBee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bayaranmu
Max menatap ponselnya setelah mengirim pesan ajakan makan siang pada Laura. Ia mengetukkan jari ke meja, gelisah menunggu balasan dari wanita itu.
“Kamu dalam masalah, Dude.”Suara tawa mengejek meluncur dari mulut Lorenzo, sahabatnya yang duduk di seberang.
Max mengabaikannya. Matanya masih terpaku pada layar ponsel yang tak kunjung memunculkan notifikasi balasan.
“Apa yang kamu harapkan dari wanita itu?”
Dengan kaki yang masih sedikit pincang, Lorenzo berjalan mendekat sambil menyodorkan minuman. Max menerimanya, lalu mendengus pelan.
“Dari awal, kamu seharusnya tidak menerima job ini," ujar Max dengan dongkol yang tidak bisa dia sembunyikan.
"Kenapa kamu jadi menyalahkanku saat masalahnya ada padamu, Brother."
Max menoleh, menatap Lorenzo tajam.
Lorenzo mengangkat tangan seolah pasrah. Tapi Max tahu, sahabatnya itu punya alasan. Lorenzo memang menawarkan Max menggantikannya setelah kecelakaan ringan yang membuatnya batal menemui target—yang tak lain adalah Laura, malam itu di kafe. Saat itu, Laura tengah sendirian di hari ulang tahun pernikahannya… dengan Nicholas.
Dan begitu Max tahu siapa suami Laura sebenarnya, ia memutuskan untuk ambil alih "peran" itu. Tapi sekarang, ia bahkan tidak tahu lagi tujuan sebenarnya apa.
“Ceritakan lagi tentang Laura,” kata Max akhirnya, lebih serius kali ini.
“Semuanya sudah aku katakan.”
“Mungkin aku melewatkan sesuatu.”
Lorenzo menarik napas, lalu mulai mengulang dengan nada malas. “Laura anak tunggal, pewaris perusahaan almarhum ibunya, Regina Isolde. Dia menikah dengan Nicholas Muller, teman masa kecilnya. Keluarga Muller dulu bekerja untuk Regina, jadi bisa dipastikan mereka tumbuh bersama-sama."
“Seila?” tanya Max.
“Seila itu sahabat sekaligus musuhnya. Laura, wanita itu terlalu polos, terlalu mudah ditebak. Yang menjalankan perusahaan sekarang justru Nicholas, bukan Laura.”
Max mengangguk kecil. “Seila dan Nicholas berselingkuh.”
“Lebih tepatnya, mereka sudah lama punya hubungan,” jawab Lorenzo sambil menyesap minumannya. “Laura justru orang ketiga, dan dia tidak sadar akan hal itu.”
Max mengepal tangannya. “Jadi mereka sengaja menjatuhkan Laura?”
“Sepertinya. Biar Laura bisa dijadikan kambing hitam atas semuanya.”
“Brengsek! Kenapa kamu mau mengambil pekerjaan seperti, Ren?”
“Bayarannya lumayan, Bro.” Lorenzo terkekeh santai, seolah semua ini hanya permainan kecil.
“Kamu tidak pernah berpikir bahwa kamu bisa saja menghancurkan hidup orang yang bahkan tidak bersalah?”
“Setiap orang pasti punya salah, Max. Salahnya Laura? Dia meletakkan dirinya di posisi lemah. Bagaimana bisa dia tidak sadar jika suaminya dan sahabatnya main belakang?”
Max menggeleng pelan. “Karena hatinya bersih…”
Lorenzo menyipitkan mata, menatap Max lekat-lekat. “Sialan kamu, Max. Kamu sadar tidak, kamu bisa celaka kalau terus memikirkan wanita itu? Sudahlah, sebaiknya aku menghubungi klien untuk membatalkan kontrak kerja kami.”
“Siapa yang menyewa jasamu? Nicholas? Atau Seila?”
Lorenzo mengangkat bahu. “Aku tidak pernah tahu. Semua komunikasi lewat email. Aku bahkan tidak bertemu langsung.”
Max berdiri, berjalan mondar-mandir, lalu meremas rambutnya sendiri. “Jangan batalkan kontraknya.”
Lorenzo memutar badan, menatap Max tak percaya. “Apa?”
“Aku tetap mau jadi lelaki bayaran di mata Laura.”
“Max…”
“Cuma sebentar… Aku cuma mau memastikan.”
“Memastikan apa? Kalau kamu sudah jatuh hati padanya?” Lorenzo menyeringai setengah mengejek.
Max tak menjawab. Ia ingin berkata tidak. Tapi ia memilih diam. Namun hatinya tahu jika hal itu tidak seharusnya terjadi.
Dia tidak boleh jatuh hati pada Laura.
Lorenzo menghela napas panjang. Ia tahu Max bukan pria yang mudah terpikat, apalagi oleh perempuan yang seharusnya hanya bagian dari pekerjaan.
“Kamu tanggung sendiri akibatnya. Jika tujuanmu adalah menghancurkan Nicholas, fokus lah pada pria itu. Bukan Laura.”
Tanpa menunggu jawaban, Lorenzo berbalik dan meninggalkan ruangan.
Pintu menutup.
Keheningan merayap.
Max berdiri sendiri, matanya menatap kosong pada ponsel yang masih sunyi. Tapi pikirannya penuh badai. Ia tahu, langkah yang baru saja ia ambil bisa jadi menghancurkan segalanya.
Max mengambil ponselnya lagi. Mengetik pesan pada Laura.
"Diammu kuanggap setuju. Aku akan menjemputmu. Ke rumahmu."
***
Laura menatap pesan Max cukup lama. Kata-kata sederhana itu terasa seperti godaan manis yang sulit ditolak. Tapi bukan hanya pesan itu yang membuatnya diam. Melainkan sensasi aneh yang perlahan merayap dalam dada—antara rindu, takut, dan penasaran.
Ia menarik napas pelan. Jarinya bergerak, mengetik balasan yang bahkan membuat hatinya sendiri berdebar.
"Temui aku di cafe belakang taman kota. Jam satu."
Pukul 13.05 — Café belakang taman kota. Laura sudah duduk lebih dulu di salah satu sudut café. Ia mengenakan blus putih dan celana jeans sederhana. Rambutnya digerai alami. Tak ada make-up mencolok. Tapi justru itu membuatnya tampak lebih... nyata.
Max datang lima menit kemudian. Seperti biasa, senyumnya menyalakan suasana.
"Hai," Max menyapa dengan senyum khasnya.
Laura tersenyum tipis. "Kamu terlambat lima menit."
"Sengaja. Supaya kamu bisa berpikir dulu, mau pulang atau tetap menungguku."
Laura mengedip pelan. "Kalau aku pulang, apa yang akan kamu lakukan?"
"Kamu akan menyusul atau justru mengabaikannya begitu saja?" Laura menggigit bibirnya.
Pertanyaan macam apa ini, batinnya berteriak.
Max menarik kursi dan duduk. "Kurang lebih. Tapi aku yakin, kamu akan tetap di sini."
Pelayan datang, mereka memesan. Max hanya memesan kopi hitam dan roti panggang. Laura memesan teh chamomile—minuman yang biasa ia pilih saat pikirannya kusut.
Setelah pelayan pergi, mereka duduk dalam diam beberapa saat. Max membuka suara lebih dulu, suaranya pelan dan nyaris seperti bisikan.
"Kamu terlihat lelah."
Laura menarik napas dalam. "Karena memang sedang lelah."
"Suamimu?" tanyanya lagi, hati-hati.
Laura melirik tajam. "Jangan mulai, Max."
Max mengangkat kedua tangannya seolah menyerah. "Baiklah. Kita bicarakan cuaca saja. Hari ini cukup cerah, ya?"
Laura akhirnya tersenyum kecil. "Kamu payah dalam mengalihkan topik."
"Tapi kamu tersenyum. Itu artinya aku berhasil."
Mereka tertawa ringan. Hening menyusul, namun kali ini lebih tenang. Ada sesuatu yang menggantung di udara, belum terucapkan.
Max menyandarkan tubuh ke sandaran kursi. "Lau... kenapa kamu datang hari ini?"
Laura menatapnya sejenak, lalu menjawab dengan jujur.
"Aku juga tidak yakin. Tapi... mungkin karena kau satu-satunya orang yang tidak membuatku merasa harus menjadi orang lain."
Max menahan responsnya. Ia ingin berkata sesuatu, tapi menahan diri. Laura melanjutkan.
"Dan itu membuat segalanya jadi semakin rumit."
"Kenapa harus rumit?"
"Karena aku tahu semuanya tidak nyata." Laura menunduk, memainkan ujung jarinya di tepi cangkir. "Kamu dibayar untuk ada di sini. Untuk bersikap baik padaku. Untuk berpura-pura peduli."
"Lalu mengapa kamu masih di sini?"
Laura tidak langsung menjawab. Beberapa detik ia diam, lalu berkata,
"Karena aku butuh seseorang. Meskipun aku tahu dia dibayar untuk itu."
Makanan datang, dan mereka mulai makan dalam diam. Tidak ada obrolan ringan, tidak ada tawa. Hanya sendok dan garpu yang sesekali berbunyi menyentuh piring.
Laura menyesap tehnya, lalu berbicara tanpa menatap Max.
"Satu bulan sudah cukup."
Max mendongak, tapi tak mengatakan apa-apa.
"Tapi aku mempertimbangkan untuk memperpanjang kontraknya." Laura akhirnya menatapnya lurus. "Dengan syarat—tidak ada keterlibatan perasaan. Tidak ada batas yang dilanggar."
Max masih diam. Hanya ekspresinya yang berubah. Datar. Tidak bisa ditebak.
Laura mengambil dompet dari tasnya, lalu mengeluarkan selembar cek dan meletakkannya di atas meja, tepat di hadapan Max.
"Ini untuk jasa satu bulanmu." Suaranya datar, tanpa emosi.
Ia lalu berdiri, merapikan tasnya.
"Terima kasih, Max. Kamu sudah melakukan tugasmu dengan baik."
Max masih tidak berkata apa-apa. Hanya mengangguk pelan, lalu mengikuti Laura dengan pandangan saat wanita itu melangkah pergi, meninggalkannya sendirian di kafe.
Ia menatap cek di depannya. Angka di sana terbaca jelas:
Rp100.000.000
Max mendengus pelan. Senyum sinis merekah di wajahnya.
"Seratus juta rupiah... untuk menjadi seseorang yang bahkan bukan diriku sendiri."
Tangannya meraih cangkir kopi yang mulai dingin. Ia menyesapnya perlahan.
"Ternyata, harga sebuah kebersamaan bisa ditulis dengan angka."
Thor boleh aku kirim rudal Israel buat mereka,kelamaan nunggu mereka hancur,menangis,menyesal dan tak berani menampakkan giginya depan umum.viralkan Thor🙏🏻🙏🏻🙏🏻🙏🏻
geram aku sama kalian sejak dipaijo,digantung lagi hingga menghilang.untung kutemukan kalian disini,tempat neraka kalian
aku harap🙏🏻🙏🏻Niko menyesal dan sangat menyesal atas dosanya dan membawa kehancurannya,Badas Thor disini jangan nanggung
berat amat hidup Laura Thor sejak di Paijo sampai pindah sini masih begini😭😭😭😭kamu tega Thor,apakah kamu sekongkol sama Shella dan Niko juga max???