yang Xian dan Zhong yao adalah 2 saudara beda ayah namun 1 ibu,.
kisah ini bermula dari bai hua yg transmigrasi ke tubuh Zhong yao dan mendapati ia masuk ke sebuah game, namun sialnya game telah berakhir, xiao yu pemeran utama wanita adalah ibunya dan adipati Xun adalah ayahnya,,.
ini mengesalkan ia pernah membaca sedikit bocoran di game love 2 dia adalah penjahat utama, ini tidak adil sama sekali
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aludra geza alliif, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
serangan
---
Kereta berhenti mendadak di jalanan sunyi saat malam masih lelap. Kuda-kuda meringkik keras, debu beterbangan, dan dari kegelapan muncul sosok bertopeng yang perlahan membuka penyamarannya.
Wajah pria itu putih bersih, siluetnya tampak dingin dalam cahaya bulan. Ia menatap langsung ke arah kereta dan berseru pelan namun tegas:
“Sekarang.”
Begitu komando terucap, lusinan anak panah melesat ke arah rombongan. Xiao Bao berteriak panik dan bersembunyi di balik pohon terdekat. Tang Ziyu sigap mencabut pedangnya dan membabat panah serta beberapa penyerang yang mendekat.
Lu Yu berdiri di depan, pedangnya sudah terhunus, tubuhnya tegap melindungi rombongan.
“Untuk apa kau datang ke sini?” tanyanya dingin, matanya tajam menusuk.
Pria itu menyeringai. “Hei, aku bukan datang untukmu. Aku datang untuk dia.” Ia menunjuk langsung ke arah Zhong Yao.
“Aku?” Zhong Yao tampak bingung, wajahnya datar.
“Kau berpura-pura polos, ya?” ejek pria itu. “Namaku Xu Hai An. Aku datang untuk membunuhmu… untuk kedua kalinya.”
Zhong Yao menatapnya lekat-lekat. Nama itu… ada sesuatu yang terasa dekat.
“Kau tak ingat? Saat ayahmu memerintahkan agar seni bela dirimu dicabut... aku yang melakukannya,” ujar Xu Hai An, tersenyum sinis. “Kau anak buangan. Putra dari wanita simpanan yang bahkan tak diakui.”
Aura pedang Xu Hai An mulai menyelimuti udara. Tekanannya begitu kuat hingga membuat bulu kuduk berdiri. Namun Zhong Yao tetap berdiri tenang—atau tepatnya, kebingungan.
Ia bukanlah Zhong Yao asli. Ia hanya seseorang yang terjebak dalam tubuh ini.
Tapi rasa tak asing itu… kenangan yang samar… dan pedang di tangannya…
“Oh, jadi kau ingin membunuhku sekali lagi?” sahut Zhong Yao dengan nada malas. “Yasudah, aku juga bisa mengeluarkan pedang.”
Zhong Yao menarik pedangnya perlahan. Namun langkahnya tak yakin. Gerakannya aneh, kacau, nyaris seperti menari mabuk.
Xu Hai An tertawa meremehkan. “Itu bukan gerakan pedang, itu menari di atas kematian.”
Tang Ziyu melompat maju, “Zhong Yao, mundurlah! Biar aku yang menghadapinya.”
Zhong Yao menoleh, tatapannya mendalam. “Xu Hai An… kau paman sepupu dari ibuku, kan?”
“Anak buangan tetap saja buangan,” Xu Hai An tertawa keras.
Zhong Yao menutup mata. Ia menarik napas dalam dan mengingat bait-bait dari salah satu kitab yang sempat ia baca:
> Aku adalah keberanian, kerinduan, kesepian. Aku bukan tandingan siapa pun, sebab aku adalah kebebasan…
Tiba-tiba, aura tubuh Zhong Yao berubah. Suhu sekitar menurun drastis. Udara seperti terbakar perlahan. Api biru mulai menyelimuti tubuhnya.
“Kat—katakan sekali lagi,” gumamnya pelan, nyaris berbisik… tapi nadanya mengerikan. Mata Zhong Yao memancarkan cahaya biru tajam. Angin menderu dari arah tubuhnya.
“Itu… itu… seni bela diri Api Lagu Pedang Zhong Barat!” bisik salah satu anak buah Xu Hai An dengan panik.
Zhong Yao tak lagi sadar. Ia menggenggam sebilah bambu—ya, hanya bambu—dan mulai bergerak seperti angin puting beliung. Dalam hitungan menit, lebih dari 30 orang terhempas, roboh, atau mati. Ia mengamuk seperti monster, dan tak bisa dibendung.
Lu Yu mencoba mendekat, tapi seketika bambu itu diarahkan ke dadanya. Refleks Tang Ziyu menepisnya, namun kini kemarahan Zhong Yao beralih ke Tang Ziyu. Ia menyerang membabi buta.
Xu Hai An buru-buru kabur, menyeringai. “Ini belum waktunya… kau belum siap, Zhong Yao!”
“Zhong Yao! SADARLAH!!” teriak Tang Ziyu putus asa.
Lu Yu tak tahu harus berbuat apa. Api biru itu tak hanya membakar udara, tapi juga menguras jiwa. Jika dibiarkan terlalu lama, pemiliknya bisa mati karena tak mampu menanggung energi dalam tubuhnya.
Tiba-tiba…
Zzziinngg!
Sebuah jarum emas melesat dan menancap ke titik akupuntur di pundak Zhong Yao. Dalam sekejap, tubuhnya limbung dan jatuh pingsan.
Dari balik gelap, muncul dua orang: seorang pria dengan pedang indah yang memancarkan aroma teh, dan seorang gadis muda berpakaian putih, wajahnya misterius.
Gadis itu berlari kecil, menunduk memeluk tubuh Zhong Yao yang tak sadarkan diri.
“Yao Yao... syukurlah kau masih hidup,” bisiknya penuh lega.
Dengan hati-hati, gadis itu menopang kepala Zhong Yao dan menatap wajahnya yang pucat. Napasnya masih ada—teratur tapi lemah. Aura api biru tadi masih berdenyut samar di sekujur tubuhnya, seperti bara yang enggan padam.
Pria berpedang aroma teh itu berlutut di sebelahnya, lalu menancapkan pedangnya ke tanah. Seketika udara di sekitar jadi ringan. Aroma teh menyebar seperti kabut pagi, menetralkan hawa membakar dari sisa amukan Zhong Yao.
“Beruntung kami sampai tepat waktu,” ujar pria itu. Suaranya dalam, tenang, seperti suara air mengalir.
Lu Yu menatap mereka tajam. “Siapa kalian?”
Sang pria menatapnya balik, lalu menunduk sopan. “Namaku Han Miao. Aku pengawal pribadi Nona Liang hong yu,putri aliran Teh Merah dari Gunung Nanxi.”
Gadis itu menoleh ke arah Lu Yu dan Tang Ziyu. Senyumnya lembut, hampir seperti bunga musim semi yang mekar dalam kabut.
“Aku datang karena… aku mencium aroma pedang teh dan api dari tempat ini. Dan seseorang telah membangkitkan teknik larangan yang seharusnya sudah lama hilang.”
Tang Ziyu berdiri, tubuhnya penuh luka dan debu, tapi masih waspada. “Apa hubunganmu dengan Zhong Yao?”
Liang hong yu memandangi wajah Zhong Yao lama, lalu menjawab pelan, “Kami pernah bertemu... bertahun-tahun lalu, sebelum ia menghilang dari dunia persilatan. Dulu dia pernah menyelamatkanku… dan aku berutang nyawa padanya.”
Lu Yu menahan napas. Kata-kata gadis itu menusuk sesuatu di dalam dirinya, meski ia sendiri belum mengerti kenapa. Ia hanya tahu, ada rasa tak nyaman saat melihat Liang hong yu begitu dekat dengan Zhong Yao.
Xiao Bao akhirnya muncul dari balik semak, wajahnya panik. “T-Tuan Zhong… dia kenapa?! Dia tidak mati, kan?!”
Liang hong yu hanya menggeleng. “Tidak. Tapi tubuhnya sedang kacau. Dia tak seharusnya membangkitkan api biru sebelum waktunya.”
Han Miao mengangguk. “Jika dibiarkan, dia bisa terbakar dari dalam.”
Lu Yu mengepalkan tangan. “Lalu, apa yang bisa menyelamatkannya?”
Liang hong yu menatap Lu Yu, matanya serius. “Dia butuh meditasi di Mata Air Teh Giok di Nanxi. Tapi perjalanannya berbahaya. Selain itu…”
Ia menatap mereka semua. “Seseorang menginginkan kematiannya. Dan bukan hanya Xu Hai An.”
Semua terdiam. Angin malam berhembus pelan, seolah membawa firasat buruk dari arah Yanchi.
Zhong Yao menggeliat pelan dalam tidurnya. Bibirnya bergerak seakan menggumam sesuatu. Lu Yu mendekat, berusaha mendengar.
“…lu… yu…”
Hati Lu Yu berdetak lebih cepat.
Tang Ziyu yang juga mendengar, hanya menunduk pelan, matanya gelap tapi tersenyum tipis.
Liang hong yu masih memeluk tubuh Zhong Yao.
Dan malam itu, cinta segitiga di antara mereka mulai terasa menggigit—pelan, tapi pasti.