Zahira terpaksa menerima permintaan pernikahan yang diadakan oleh majikannya. Karena calon mempelai wanitanya kabur di saat pesta digelar, sehingga Zahira harus menggantikan posisinya.
Setelah resepsi, Neil menyerahkan surat perjanjian yang menyatakan bahwa mereka akan menjadi suami istri selama 100 hari.
Selama itu, Zahira harus berpikir bagaimana caranya agar Neil jatuh cinta padanya, karena dia mengetahui rencana jahat mantan kekasih Neil untuk mendekati Neil.
Zahira melakukan berbagai cara untuk membuat Neil jatuh cinta, tetapi tampaknya semua usahanya berakhir sia-sia.
Bagaimana kelanjutan kisahnya? Ikuti terus cerita "100 Hari Mengejar Cinta Suami" tentang Zahira dan Neil, putra kedua dari Melinda dan Axel Johnson.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nopani Dwi Ari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
100 Hari
Sementara itu, Neil masih terbuai di alam mimpi, sementara Zahira sudah rapi dengan dress bunga berwarna biru.
Dengan polesan make-up tipis dan rambut yang tergerai, dia terlihat lebih cantik. Dia dengan sabar menunggu Neil bangun, meski perutnya sudah mulai lapar.
Lima menit kemudian, Neil mulai bergerak, menunjukkan tanda-tanda akan bangun. Dengan tubuh polos, Zahira buru-buru memalingkan wajahnya ke arah lain saat Neil duduk dan menatap ke arahnya sambil memijat pelipisnya yang terasa pusing.
"Apa yang sedang kamu, lakukan disini?" tanya Neil.
"Jika anda lupa, saya sekarang adalah istri anda tuan Neil." Ketus Zahira, mulai sekarang dia tak akan lemah di hadapan Neil. Sebisa mungkin dia akan bersikap tegas dan kuat.
Neil pun kembali mengingat beberapa jam yang lalu, yang telah melakukan pemberkatan pernikahan dengan Zahira.
Seharusnya, dia menikah dengan Livia. Tapi sang kekasih pergi entah kemana, mengingat itu Neil menghembuskan napasnya dengan kasar.
Neil langsung bangun, tanpa dia tahu bahwa dia tak memakai busana sama sekali. Membuat Zahira menutup matanya dengan rapat, karena sekilas dia melihat sesuatu yang tegak berdiri.
"Astaga, gak tau malu." Omel Zahira, masih bisa didengar oleh Neil.
Neil berhenti melangkah, dan melirik kepada istrinya tersebut. Melihat Zahira yang menutup mata rapat, Neil menatap tubuhnya yang polos tanpa sehelai benang pun.
"Shit! Theo, David. Awas kalian," kesal Neil, dia langsung masuk ke dalam kamar mandi.
Zahira yang mendengar pintu tertutup dengan keras, menghela napas dengan pelan. Entah harus bersyukur atau bagaimana dia sekarang.
Sepuluh menit kemudian, Neil sudah selesai melakukan ritual mandinya. Dia membuka koper yang sudah disiapkan oleh keluarganya. Lalu mengambil baju santai, dan kembali ke kamar mandi.
*****
Terdengar helaan napas dari Zahira, yang memandang pintu kamar mandi dengan tatapan yang sulit diartikan. Saat asik memandang, terdengar suara bel pintu kamar.
"Sebentar, kenapa gak sabaran sih!" gerutu Zahira, entah mengapa dia merasa kesal setelah menikah paksa.
Pintu terbuka, dan Zahira menatap petugas hotel yang membawa sarapan ke kamar mereka. Di atas dorongan terdapat salad sayur, salad buah, sandwich, omelet, dan waffle yang lezat. Juga jus dan air mineral.
"Tapi, saya belum pesan, Pak!" ujar Zahira.
"Nyonya Melinda menyuruh saya untuk mengantarkan sarapan ini untuk Anda dan Tuan Neil," jelas petugas hotel dengan sopan.
Zahira tersenyum dan mengambil alih dorongan makanan. "Oh, terima kasih."
Zahira merasa beruntung memiliki mertua yang baik seperti Nyonya Melinda.
"Nyonya Melinda memang baik, dia tahu saja kalau aku sedang lapar," pikirnya. Setidaknya dia beruntung memiliki ibu mertua yang peduli, tidak seperti beberapa menantu lain yang mungkin tidak memiliki hubungan baik dengan mertua mereka.
Saat membalikkan badan, Zahira terkejut dengan Neil sudah duduk manis di sofa. Dengan terpaksa, dia pun ikut duduk di sebelah sang suami.
"Selamat makan," ucap mereka bersama, saling pandang sesaat lalu memutus pandangan tersebut.
Zahira menatap makanan yang ada di depannya, masih lapar karena lidahnya yang Indonesia memang memerlukan nasi untuk merasa kenyang.
"Kenapa, kamu masih lapar?" tanya Neil, membuat Zahira sedikit kaget dan malu.
"Makan saja semua, mulai sekarang kamu harus membiasakan diri sarapan seperti itu," kata Neil.
Zahira mengakui bahwa selama bekerja di rumah Axel, hanya makan malam saja yang menyajikan nasi, dan itu pun nasi merah bukan putih.
"Ba-baik," jawab Zahira, lalu dia menghabiskan salad buah dan sandwich dengan lahap. Neil memperhatikan Zahira dengan seksama, entah apa yang ada di pikirannya tentang istrinya yang baru ini.
*
*
*
*
Setelah selesai sarapan, Neil memutuskan untuk melakukan check-in. Dia membawa Zahira menuju apartemen miliknya, dan dia juga tahu seluruh keluarga besarnya sudah pulang ke rumah.
Berpuluh menit kemudian, mereka sudah sampai di Sky Garden Hill, kawasan apartemen mewah yang hampir sebagian keluarga Johnson miliki.
"Selamat siang Tuan dan Nyonya Johnson," sapa penjaga keamanan.
Neil mengangguk sebagai jawaban, sementara Zahira tersenyum pada penjaga tersebut.
"Jangan tersenyum," tegur Neil, bukan karena dia terpesona, tapi karena Neil tidak suka melihat Zahira akrab dengan lelaki lain.
Zahira menipiskan bibirnya dan mengikuti langkah sang suaminya menuju lift. Mereka akan menaiki lantai lima, di mana unit milik Neil berada.
Klik! Tanda kunci terbuka, dan Neil langsung masuk tanpa kata. Zahira mematung di depan pintu, mencium wangi maskulin yang menyeruak saat pintu terbuka.
Nuansa hitam dan abu mendominasi unit milik Neil, pikir Zahira saat masuk ke dalam apartemen.
"Cepat masuk!" bentak Neil. Zahira segera masuk dan melihat bahwa tidak banyak pajangan di dalam apartemen.
"Kita akan tinggal disini selama kita menikah," papar Neil.
"Jika Mommy dan Daddy meminta kita menginap, usahakan kamu harus menolak."
Zahira ingin membantah, tapi Neil melanjutkan, "Tidak ada tapi, aku suami kamu. Kamu harus menurut padaku."
Neil terus saja berbicara, tanpa memberikan Zahira kesempatan untuk bicara.
Pintu terbuka, dan asisten Erik masuk membawa berkas.
"Tuan, ini surat yang Anda minta," ujar Erik, memberikan surat perjanjian pada Neil.
Zahira membaca isinya dan menemukan bahwa perjanjian pranikah tersebut berisi tentang hak dan kewajiban mereka selama 100 hari.
Zahira terkejut melihat jumlah nafkah yang diberikan Neil, yaitu dua puluh juta per bulan.
“Dua puluh juta, banyak sekali.” Gumamnya dalam hati, gajinya saja hanya lima juta di kediaman Johnson. Itu pun, dia harus membayar hutang dan bunganya kepada rentenir bekas Neneknya di rawat.
Dia juga harus merahasiakan hubungan mereka jika ada yang bertanya nantinya. Tapi, rekan kerja Neil sudah tahu bahwa Zahira adalah istrinya.
Setelah membaca surat tersebut, Zahira menandatanganinya dan menyerahkannya kembali kepada Neil.
Jika Livia kembali, Zahira akan diberikan kompensasi berupa satu buah rumah dan uang dari Neil.
"Ingat, kita suami istri hanya di depan keluarga besar dan orang tua saja," kata Neil.
"Panggil aku sayang atau apa pun terserah kamu," sambungnya lagi.
Zahira mengangguk patuh dan menjawab,"Baik."
Neil pun meninggalkan Zahira sendiri di apartemen, meninggalkan Zahira dengan pikiran yang berputar-putar.
Zahira menatap keluar jendela, memikirkan tentang masa depan mereka. Bisakah dia menaklukkan hati Neil dalam 100 hari? Atau apakah dia akan menyerah sebelum waktu yang ditentukan habis? Hanya waktu yang akan menjawab pertanyaan-pertanyaan itu.
Dengan hati yang penuh pertanyaan, Zahira memutuskan untuk menenangkan diri dan menikmati waktu sendirian di apartemen yang megah ini.
Namun, pikirannya tetap tidak bisa lepas dari sosok Neil dan perjanjian yang baru saja mereka tanda tangani.
Tapi urusan hati siapa yang tahu, karena Tuhan yang selalu membolak-balikan hati manusia.
Bersambung ...
Maaf typo
lanjut Thor
emang enak