Rania Alesha— gadis biasa yang bercita-cita hidup bebas, bekerja di kedai kopi kecil, punya mimpi sederhana: bahagia tanpa drama.
Tapi semuanya hancur saat Arzandra Adrasta — pewaris keluarga politikus ternama — menyeretnya dalam pernikahan kontrak.
Kenapa? Karena Adrasta menyimpan rahasia tersembunyi jauh sebelum Rania mengenalnya.
Awalnya Rania pikir ini cuma pernikahan transaksi 1 tahun. Tapi ternyata, Adrasta bukan sekedar pria dingin & arogan. Dia manipulatif, licik, kadang menyebalkan — tapi diam-diam protektif, cuek tapi perhatian, keras tapi nggak pernah nyakitin fisik.
Yang bikin susah?
Semakin Rania ingin bebas... semakin Adrasta membuatnya terikat.
"Kamu nggak suka aku, aku ngerti. Tapi jangan pernah lupa, kamu istriku. Milik aku. Sampai aku yang bilang selesai."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sylvia Rosyta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PCTA 26
"Kenapa..." Suara Rania serak, nyaris bergetar. "Kenapa kamu nggak pernah kasih tahu aku tentang Rey? Tentang semuanya?" Adrasta diam.
Tatapannya redup. Tapi luka itu jelas terpampang di matanya. "Kenapa harus kamu yang nanggung semua salah paham aku, semua kebencian aku, semua tuduhan aku...?" Rania menahan air matanya. "Padahal aku nggak pernah kasih kamu kesempatan untuk jelasin apa pun..."
Satu langkah kecil Adrasta mendekat. Satu tarikan napas panjang seolah semua bentengnya runtuh malam ini. "Karena buatku... kamu lebih berharga dari ego atau harga diriku sendiri, Rania. Karena dari awal, aku nggak butuh kamu percaya sama aku. Aku cuma butuh kamu tetap hidup."
Air mata Rania jatuh. "Aku nggak peduli kamu mau benci aku, mau maki aku, mau salah paham terus sama aku. Tapi selama aku masih bisa melindungi kamu, aku akan lakuin itu. Karena rasa ini... udah nggak bisa aku matiin sejak lama." Adrasta menatapnya lekat-lekat, penuh luka, penuh cinta yang selama ini dia sembunyikan.
"Aku mencintaimu, Rania. Dengan cara yang bahkan aku sendiri nggak ngerti gimana caranya berhenti. Aku mencintaimu... sampai sakit." Dan pada detik itu juga semua dinding hati Rania runtuh.
Tangisnya pecah. Luka itu... hangat itu... semuanya bercampur menjadi satu. Rania jatuh dalam pelukan Adrasta pria yang selama ini ia salah pahami, pria yang diam-diam selalu ada di balik semua rasa sakitnya.
Setelah segala pengakuan yang keluar dari mulut Adrasta- semuanya terasa sunyi. Tidak ada paksaan. Tidak ada tuntutan. Hanya ada kejujuran... dan luka yang mereka bagi bersama.
Rania duduk termenung di tepi ranjang, menatap punggung Adrasta yang memilih tidur di sofa kecil dekat jendela kamar. Jarak itu... terasa jauh. Tapi justru di situlah, Rania sadar untuk pertama kalinya, Adrasta memberinya ruang.
Ruang untuk memilih.
Ruang untuk mengenali hatinya sendiri.
Sore harinya, saat Rania terbangun dari tidurnya, ia mendapati kamarnya sunyi. Adrasta tidak ada di kamar. Tapi ada satu hal kecil yang membuat langkahnya terhenti. Secangkir teh hangat... Dengan notes kecil di sampingnya.
"Untuk perutmu yang belum benar-benar pulih. Jangan bandel, Rania." Rania terdiam.
Bukan kata cinta. Bukan rayuan. Tapi perhatian sederhana seperti ini justru menghantam pertahanan hatinya paling dalam. Bibirnya bergetar menahan senyum kecil senyum yang muncul karena jiwanya perlahan kalah. Tak sampai di situ, saat ia melangkah keluar kamar, ia mendapati Adrasta sedang di dapur.
Tangannya yang besar dan dingin itu... justru sedang sibuk memasak bubur ala kadarnya. Kaku. Kacau. Tapi nyata. Diam-diam, dada Rania terasa penuh. Ada perasaan hangat yang perlahan tumbuh.
Perasaan yang bukan lagi rasa takut melainkan rasa butuh. Butuh sosok Adrasta. Butuh dia... tetap ada.
Dan saat Adrasta sadar keberadaannya, pria itu hanya menoleh singkat - dengan nada serak pelan. "Udah bangun? Duduk aja. Aku nggak jago masak... tapi semoga ini cukup buat bikin kamu nggak pingsan lagi." Entah kenapa... untuk pertama kalinya, Rania ingin menangis. Tapi bukan karena sakit. Melainkan karena hatinya... benar-benar mulai luluh.
...----------------...
Malam itu, saat Adrasta sedang keluar menerima telepon penting, Rania melangkah pelan di dalam vila yang tiba-tiba terasa terlalu hening. Entah dorongan apa yang membuatnya nekat. Entah keberanian dari mana yang menuntunnya sampai di depan sebuah pintu kayu berwarna gelap ruangan yang selalu tertutup rapat. Ruangan yang tak pernah Adrasta izinkan untuk siapapun masuk.