Berawal dari pertemuan singkat di sebuah mal dan memperebutkan tas berwarna pink membuat Aldo dan Tania akhirnya saling mengenal. Tania yang agresif dan Aldo yang cenderung pendiam membuat sifat yang bertolak belakang. Bagaikan langit dan bumi, mereka saling melengkapi.
Aldo yang tidak suka didekati Tania, dan Tania yang terpaksa harus mendekati Aldo akhirnya timbul perasaan masing-masing. Tapi, apa jadinya dengan Jean yang menyukai Aldo dan Kevin yang menyukai Tania?
Akhirnya, Aldo dan Tania memilih untuk berpisah. Dan hal itu diikuti dengan masalah yang membuat mereka malah semakin merenggang. Tapi bukan Aldo namanya jika kekanak-kanakan, dia memperbaiki semua hubungan yang retak hingga akhirnya pulih kembali.
Tapi sayangnya Aldo dan Tania tidak bisa bersatu, lantaran trauma masing-masing. Jadi nyatanya kisah mereka hanya sekadar cerita, sekadar angin lalu yang menyejukkan hati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah A, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Prioritas
Jean sedang mencuci tangannya di wastafel toilet. Air mengalir dari keran membasahi tangannya yang kotor. Setelah dipastikan bersih, dia mematikan keran air tersebut. Jean menghela napas lalu mengambil tisu untuk membersihkan tangannya. Dia membuang bekas tisunya setelah selesai digunakan.
Dia menatap pantulan dirinya di cermin lalu menyiram wajahnya kasar dengan air yang mengucur dari keran. Alih-alih melihat pantulan wajahnya yang basah, dia justru melihat bayangan kedekatan antara Aldo dan Tania.
Jean mendengus kasar lalu menunduk. Pikirannya tiba-tiba dihantui mereka.
Ceklek!
Jean menoleh dan menemukan Aldo berdiri di ambang pintu. Pria itu berjalan mendekat ke arahnya.
"Ngapain masuk, sih? Nanti ada yang lihat dikira enggak-enggak lagi," ujar Jean seraya melintasi Aldo. Tepat selangkah dia melintasi Aldo, pria itu mencekal pergelangan tangannya.
Lirikannya dan Aldo bertemu di sebuah titik.
"Kita perlu bicara."
...******...
Di kantin yang sepi inilah Aldo memutuskan mengajak Jean bicara. Pikiran buruk dan tebak-tebakan ucapan yang akan Aldo utarakan, berputar di kepala Jean bagaikan revolusi bumi terhadap matahari. Jean tidak tahu pasti apa yang akan Aldo bicarakan. Tetapi dia punya firasat, kalau ucapan yang keluar dari mulut Aldo akan melukai perasaannya.
Dia memainkan jari-jari tangannya sebagai bentuk ketidaknyamanan. Dan, Aldo bisa merasakan itu. Bahkan, suasana kantin ini terasa canggung dan hening. Seolah mereka adalah dua orang yang tidak saling kenal tetapi dipaksa berjumpa.
"Mau ngomong apa?" tanya Jean memecah suasana yang amat lazim terjadi di antara mereka sebelumnya.
Yang Jean dengar adalah helaan napas yang berat nan panjang dari Aldo. Dari sini saja, Jean sudah yakin kalau yang keluar tidak kalah berat dari helaan napas Aldo.
"Gue minta maaf—"
"Lo nggak salah apa-apa. Kenapa minta maaf?" tanya Jean memotong ucapan Aldo.
Aldo menghela napas panjang. "Gue tahu, lo pasti cemburu sama Tania."
Jean mengernyit bingung. Sebisa mungkin dia bersikap biasa saja. Dia sebisa mungkin menutupi pikiran buruknya. "Kenapa?"
Aldo menghela napas. "Jean, gue tahu lo luar dan dalamnya. Gue tahu lo pasti enggak suka lihat gue sama Tania dekat."
Jean terkekeh seraya mengangkat ujung bibirnya. Seolah itu adalah kekehan yang meremehkan. "Lo sama gue 'kan cuma teman, nggak lebih. Gue nggak berhak batasin hati lo untuk suka sama siapa. Dan gue ... gue nggak berhak mencampuri urusan hati teman. Apalagi mencemburuinya," ujar Jean.
"Lo jangan bohong."
"Kapan gue pernah bohong?" tanga Jean. "Gue nggak cemburu," lanjutnya. Dia berusaha membangun benteng yang sangat kokoh di dalam tubuhnya. Kakinya sudah mulai sedikit bergetar.
Aldo mendesah berat. "Oke, gue tahu ini seharusnya enggak terjadi di antara kita. Tapi, gue udah buat persahabatan kita semakin jauh. Dan sekarang, prioritas gue bukan cuma lo Jean. Tapi juga Tania."
Mendengarnya seperti ada batu yang menghunjamnya keras dan tanpa henti. Belakang matanya sudah terasa panas. Benteng itu sudah mau hancur, tetapi Jean memasang benteng yang lebih kuat dengan tersenyum getir. "Gue juga minta maaf. Enggak seharusnya juga gue selalu bawa perasaan pada hubungan kita. Kita 'kan cuma teman."
Sungguh, kalimat terakhir itu begitu memilukan sampai-sampai membuat hati Aldo tersentuh. Dia tahu apa yang dirasakan sahabatnya itu. Dia bahkan tidak ingin membuat sahabatnya itu membuat pertahanan di hatinya. Tetapi, ini sudah telanjur terjadi.
"Gue akan tetap sayang sama lo, kok."
Jean tersenyum manis sebagai balasan. Kakinya bertambah gemetar ditambah kepalanya yang tiba-tiba terpenuhi beban berat.
Dari balik pintu kantin, seseorang menggigit bibir bawahnya seraya menahan sesuatu yang bergejolak di dada. Tania merasakan sesuatu yang aneh, yang menjalar ke sekujur tubuhnya hingga terasa lemas.
Bagaimana Aldo bisa membuat semuanya sejauh ini? Ini semua tidak beres!
...******...
Rapat OSIS baru saja usai bersama dengan pembina. Anak-anak bergegas keluar dari dalam kelas yang digunakan sebagai ruang rapat. Termasuk Tania. Dia berjalan lunglai keluar kelas. Dan tanpa dia sadari, Kevin tahu-tahu berdiri di depannya dengan seulas senyum manis. Khas dengan kumis tipis itu.
"Mau gue anter?" tanya Kevin.
Tania mendongak dengan tatapan kosong. "Pulang?"
"Iya."
Diam, Tania berpikir sejenak seraya mencerna baik-baik ucapan Kevin. Terlalu banyak pikiran hingga membuatnya sulit mencerna dan memperhatikan sekelilingnya.
Tania mengangguk setelah sekian lamanya diam. "Boleh."
"Yuk," kata Kevin seraya mengangkat tas Tania yang dia sembunyikan di belakang punggung.
Tania tersenyum manis lalu mengambil tas itu.
...******...
Kevin tidak membawa Tania pulang ke rumah. Melainkan ke sebuah taman. Karena dia tahu luar dan dalamnya Tania. Dan pasti, gadis itu sedang banyak pikiran. Dari tatapan matanya saja Kevin sudah bisa menebak. Mereka membeli es krim lalu menghampiri tempat duduk.
"Lo lagi banyak pikiran?" tanya Kevin.
Mereka duduk di kursi taman.
"Hem," jawab Tania seraya menjilat es krimnya.
"Apa yang lo pikirkan?"
Tania mendesah berat. Bagaimana dia akan menceritakan semua ini. Dia tidak ingin membuat Kevin sedih, membuat hubungannya dengan pria itu renggang. Apalagi membayangkan kemungkinan-kemungkinan buruk nantinya.
"Gue bingung mau mulai dari mana," ujar Tania merasa frustrasi.
"Dari mana aja asal lo nyaman."
Tania mendesah berat. "Lo nggak akan—"
"Gue nggak akan marah atau apa pun. Cerita aja Tan, biar lo lega," ujar Kevin.
Ucapan itu yang membuat dia yakin. "Gue mulai dari intinya aja gimana?"
Kevin membuang stik es krim. "Boleh."
"Aldo suka sama gue."
Kevin hampir saja tersedak es krim di mulutnya mendengar pernyataan itu. Bukan karena makna dari ucapan Tania. Melainkan gadis itu mengungkapkannya secara spontan, lepas landas bagaikan pesawat.
"Serius?"
Tania mendesah berat. "Kakak boleh kok benci gue. Boleh kok lakukan hal—"
"Buat apa?" tanya Kevin memotong ucapan Tania.
Tania menoleh. Tatapan Kevin seperti menjanjikan sesuatu.
"Gue nggak akan larang lo buat suka sama siapa pun. Terserah lo, Tan. Hati lo yang milih. Suka sama gue ya nggak apa-apa, suka sama Aldo juga nggak apa-apa. Yang nentuin kita suka sama siapa itu hati, Tan. Bukan logika ataupun mata," jelas Kevin.
"Jadi, Kakak nggak marah?"
Kevin menggeleng halus. "Kekanak-kanakan banget kalau gue marah."
Tania tersenyum senang. Kevin memang selalu bisa diandalkan dan bisa bersikap rasional seperti ini. Hal yang paling disukai Tania dari cowok yang kurang peka ini.
Kevin juga balas tersenyum kepada Tania. Perlahan senyumannya berubah jadi jahil dan wajahnya mendekat ke arah Tania. Hal yang membuat pikiran Tania mulai berkelana ke mana-mana. Dan ternyata, pikiran Tania yang salah. Kevin tidak punya niatan buruk, melainkan niatan baik untuk memakan dan menjilat es krim yang menjalar di tangan Tania.
Tania melotot tajam. "Kak, jorok!"
Kevin terkekeh. "Manis, kok!"
"KAK!"