"Hans, cukup! kamu udah kelewat batas dan keterlaluan menuduh mas Arka seperti itu! Dia suamiku, dan dia mencintaiku, Hans. Mana mungkin memberikan racun untuk istri tersayangnya?" sanggah Nadine.
"Terserah kamu, Nad. Tapi kamu sekarang sedang berada di rumah sakit! Apapun barang atau kiriman yang akan kamu terima, harus dicek terlebih dahulu." ucap dokter Hans, masih mencegah Nadine agar tidak memakan kue tersebut.
"Tidak perlu, Hans. Justru dengan begini, aku lebih yakin apakah mas Arka benar-benar mencintaiku, atau sudah mengkhianatiku." ucap Nadine pelan sambil memandangi kue itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon alfphyrizhmi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 20 - Diskusi
Sudah seminggu berlalu, sejak kepergian Abah dan Uminya, Nadine tampak murung dan selalu mengurung diri di kamar. Kini, ia tinggal bersama pakde Rusli, adik dari mendiang Abahnya.
Hampir setiap pagi, istri pakde Rusli, Bude Cici yang begitu menyayangi Nadine dengan membuatkan sarapan dan mengajak main ke luar. Namun, alasan tidak enak badan diiringi senyum teduhnya, membuat Nadine sukses menolak semua tawaran tersebut.
Pakde Rusli dan Bude Cici tak tega dan tidak ingin Nadine terus-terusan dalam kondisi seperti ini.
Hanya Hans, dokter muda yang setiap malam rela bolak-balik dan berkendara puluhan kilometer, dari rumah sakit tempatnya bekerja ke kampung terpencil, tempat Nadine kini menumpang di rumah pakde Rusli.
Semua Hans lalukan demi sang pujaan hatinya. Dan juga, Nadine kini adalah pasien paling spesial dan diperhatikan dalam karir kedokterannya.
Bahkan, Pakde Rusli dan istrinya mengira, kalau Hans adalah suami baru Nadine.
Para kerabat dan keluarga besar Nadine pun beranggapan demikian. Hal ini dikarenakan sebegitu perhatian dan besarnya pengorbanan Hans untuk Nadine. Bahkan, di saat Nadine sedang dalam kondisi terpuruk sekalipun, Hans lah lelaki yang selalu ada di samping Nadine.
Semua sudah ikhlas dan mendukung penuh, jika suatu saat Hans menikahi Nadine.
Malam ini, keadaan berbeda dari sebelumnya di kediaman pakde Rusli. Hans sudah tiba sejak pukul 20.00, luNadinen cepat dari biasanya.
Seperti yang dilakukan sebelumnya, Hans duduk di teras depan menemani Nadine, mengajak berbincang dan menghibur sang pujaan hati.
"Nad, semangat dong! Udah ya, aku yakin Abah dan Umi sedang tersenyum melihatmu, dari tempat sana. Nah, sekarang tinggal kamu, masa iya sih, murung dan manyun terus di sini?" ucap Hans, berkali-kali mikir keras demi senyum Nadine yang direnggut sejak seminggu lalu.
Nadine tidak merespon. Hanya mengangguk saja dan wajahnya ditekuk menatap lantai. Melihat itu, Hans juga tidak tega dan mencari obrolan lain.
"Pakde dan Bude gimana kondisinya? Sehat, kan? Yang lainnya juga sehat, kan?" tanya dokter muda itu, tidak melewatkan prosedur dan nalurinya sebagai dokter.
semuanya menjawab 'sehat wal afiat', diiringi senyum ke arah Hans.
"Oh ya, pakde Rusli. Kira-kira, pelaku atas kebakaran rumah Abah dan Uminya Nadine, sudah tertangkap belum, ya?" tanya Hans, mengalihkan Nadine sementara.
"Belum, dok. Tapi, mulai ada titik cerah dan sedikit bukti penting. Walaupun saya tidak yakin akan berhasil" ucap Pakde Rusli, ada keraguan dalam perkataannya.
"Maksudnya tidak yakin, bagaimana ya pakde? Emang buktinya tidak kuat?" pancing Hans.
"Bukan begitu, dok. Cuma, kami yang orang kecil, agak berat untuk mengajukan dan memohon sedikit keadilan dari pihak polisi." kata pakde Rusli, semakin takut dengan ucapannya.
"Loh, kenapa?" tanya Hans. Pakde Rusli hanya diam saja, coba membuang muka dan tidak menjawab.
Mendengar obrolan malam yang berbeda dari biasanya, sepasang mata Nadine yang awalnya sayu, kini mulai segar dan membelalak. Ia segera ikut nimbrung obrolan penting tersebut.
Nadine yang menoleh dengan mata merah dan penuh amarah, langsung nyeletuk,
"Aku tahu siapa yang harus bertanggung jawab, Hans! Pasti pelakunya tidak lain orang-orang itu! Mereka!" ucap Nadine.
Malam ini pun, para keluarga dan kerabat kaget. Seminggu lalu, Nadine tampak lesu dan tidak bersemangat. Tapi malam ini, ia begitu berapi-api. Sangat terbaca dari tatapan matanya. Hal ini karena pemicu dari Hans, bertanya tentang kasus kebakaran yang merenggut nyawa Abah dan Uminya.
Semua mengira, Nadine masih belum ikhlas. Pastilah demikian. Justru dendam itu malah Nadine rawat dan membesar dalam seminggu belakangan ini.
"Kamu yakin? Soalnya, kalau salah tuduh orang, kita yang akan kena pasal," tanya Hans berikut mengingatkan Nadine.
"Kali ini aku sangat yakin, seratus persen!" matanya menatap Hans lurus dan menyala-nyala. "Ini semua pasti ulah Miranda dan keluarganya! Tidak ada pelaku lain lagi, kecuali mereka!" ucap Nadine tegas dan ketus.
"Kalau memang begitu, ayo kita coba kumpulkan bukti, bukan cuma asumsi aja ya, Nad." Hans menimpali cukup tenang, tapi dengan nada serius.
------
Dalam kondisi yang mulai tegang itu, Pakde Rusli yang awalnya ragu dan takut memberitahukan Hans, kini kembali angkat bicara.
"Saya nggak yakin, apakah ini akan menjadi sedikit bukti pendukung untuk kita atau tidak." ucapnya, masih takut.
"Kenapa, pakde? Diutarakan saja. Kalau pakde takut, saya akan coba sebisa mungkin memberikan perlindungan melalui sedikit koneksi saya di bagian institusi pertahanan." kata Hans, memberikan sedikit jaminan.
"Baiklah, terima kasih, dok. Sebenarnya, ada saksi mata yang melihat dua orang menyiramkan minyak tanah malam itu!"
Semua kaget dan tersentak. Terutama Nadine dan Hans.
"Siapa saksinya, pakde?" Nadine memicingkan mata.
"Seorang pemulung yang biasa mungut rongsokan dan tidur di dekat kebun belakang rumah pakde, dia lihat semuanya!" ucap Pakde Rusli bersemangat.
"Berarti kita harus cari dia, lalu ajak bicara, dan minta kesaksiannya," Hans menanggapi sambil menyusun rencana.
"Saya sudah bertemu dengannya. Namanya adalah Pak Marto," ucap pakde Rusli.
"Apa kesaksiannya?" tanya Hans penasaran.
"Katanya, dia lihat dua orang lelaki muda, memakai jaket hitam, menyirami seluruh tembok dan atap kayu dengan dua drigen minyak tanah. Lalu membakarnya secara cepat," jawab pakde Rusli dengan rahang mengeras.
Nadine menarik napas panjang, "Tuh, kan... tidak salah lagi, pasti keduanya orang suruhan Miranda!"
"Pakde yakin dengan kesaksian dan pengamatan Pak Marto itu? Apakah dia benar-benar dapat kita andalkan?" Hans bertanya hati-hati.
"Dia sudah tua, tapi penglihatannya masih sangat tajam, dok. Dan dia tahu serta ingat betul apa yang dilihatnya. Bahkan, sampai sekarang pun, bisa bersaksi dengan melihat kedua wajah pelaku." ucap pakde Rusli.
"Kalau begitu, kita harus panggil lagi pak Marto dan rekam kesaksiannya. Saya ingin mengajaknya bertemu salah satu rekan saya di bagian detektif," Hans menimpali.
"Tenang saja, dok. Saya sudah melakukan itu. Bahkan kami sudah lapor ke polisi. Tapi, polisi setempat menolak laporan kami, dan malah disangka berkhayal jika tidak ada bukti lain yang kuat!" kata pakde Rusli dengan kesal.
"Sudah kuduga! Benar kan, Hans? Kamu tahu sendiri, kan? Mereka konglomerat ternama dan punya koneksi di berbagai keamanan negara. Pasti keluarga mereka sangat licin untuk ditangkap," Nadine mengeluh dengan nada ketus diiringi kesal.
"Lalu, bagaimana kelanjutan terhadap kasus ini, pakde?" tanya lagi Hans.
"Kita harus cari cara lain, dok. Cara biasa tidak akan mempan." ucap pakde Rusli.
Semua yang hadir malam itu, secara tidak langsung berinisiatif untuk berpikir dan memutar otak.
Saat suasana tenang, Nadine nyeletuk dan merasa heran,
"Tapi kenapa Abah dan Umi nggak keluar dari rumah, ya? Mestinya, kalau kebakaran besar dan panas begitu, mereka seharusnya sadar dong?"
Bersambung......