NovelToon NovelToon
Hantu Nenek Bisu

Hantu Nenek Bisu

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Rumahhantu / Mata Batin / TKP / Hantu
Popularitas:988
Nilai: 5
Nama Author: iwax asin

kisah fiksi, ide tercipta dari cerita masyarakat yang beredar di sebuah desa. dimana ada seorang nenek yang hidup sendiri, nenek yang tak bisa bicara atau bisu. beliau hidup di sebuah gubuk tua di tepi area perkebunan. hingga pada akhirnya sinenek meninggal namun naas tak seorangpun tahu, hingga setu minggu lamanya seorang penduduk desa mencium aroma tak sedap

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon iwax asin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 13: Cahaya di Balik Rimbun Bambu

Malam terasa makin panjang. Hawa dingin seperti merayap dari tanah, menyusup ke pori-pori, membuat tubuh menggigil meski tidak kehujanan. Di desa Karangjati, para warga masih bertahan dalam doa, dalam kecemasan yang tak mereka pahami sepenuhnya.

Namun, malam ini... tak hanya rasa takut yang hadir. Ada cahaya kecil yang mulai menyala di balik ketakutan. Sebuah cahaya dari ujung rimbun bambu. Dan mungkin… dari seseorang yang telah lama menghilang.

Kembalinya Pak Karno

Sebuah kabar mengejutkan tersebar pagi-pagi ke seluruh penjuru desa: Pak Karno, mantan kepala desa yang telah lama dikira merantau ke Kalimantan, tiba-tiba muncul di balai desa.

Pak Lurah Parmin: “Pak Karno? Gusti… njenengan kok bisa tiba-tiba ada di sini?”

Pak Karno: (dengan suara berat) “Aku kembali karena mimpi. Mimpi tentang perempuan tua bisu… yang dulu kita kubur rahasianya bersama.”

Semua terdiam. Bahkan Pak Lutfi, yang biasanya tenang, terlihat cemas.

Pak Karno: “Dia datang lagi… bukan untuk menakut-nakuti, tapi untuk menyampaikan. Karena kalau kita terus pura-pura tak tahu, yang datang selanjutnya bukan hantu… tapi murka.”

Jejak Rahasia di Bukit Kendit

Atas permintaan Pak Karno, Redo, Pak Lutfi, dan Mbah Tejo mengikuti beliau menuju Bukit Kendit — tempat yang sejak dulu dipercaya keramat. Di tengah perjalanan, mereka melewati rimbun bambu yang tumbuh liar dan saling berbelit, seperti ingin menyembunyikan sesuatu di baliknya.

Setelah beberapa meter berjalan, Pak Karno berhenti di sebuah titik. Ia berlutut, lalu membuka tanah dengan tangan kosong. Tak lama, muncullah sebuah kotak besi tua, terkubur dangkal.

Pak Karno: “Ini… yang dulu kami kubur bersama alm. Mbah Gentho, almarhum ayahku, dan tiga orang tetua lainnya. Isinya bukan benda sihir, tapi dokumen. Surat perjanjian. Dan… foto.”

Redo mengambil foto dalam kotak itu. Terlihat seorang perempuan tua duduk di kursi rotan, dengan mata tajam dan mulut mengatup. Tapi yang membuatnya merinding adalah… di belakang perempuan itu berdiri enam anak kecil, semuanya tanpa wajah.

Redo: “Ini… siapa saja, Pak?”

Pak Karno: (menunduk) “Anak-anak yang dulu menjadi tumbal tak kasat mata... Demi ‘keselamatan desa’.”

Pak Lutfi menggenggam tasbihnya erat.

Pak Lutfi: “Astaghfirullah… selama ini kita hidup damai karena dibangun di atas pengorbanan tak halal…”

Sosok Bertongkat dan Surat Wasiat

Malam harinya, saat warga berkumpul di balai desa, datanglah seorang tamu tak diundang: seorang lelaki tua bertongkat, berjubah abu-abu, dengan luka besar di pipi kanan dan mata yang tampak seperti melihat menembus jiwa.

Namanya: Ki Dasmo.

Ki Dasmo: “Aku datang bukan untuk ikut campur. Tapi untuk menyerahkan wasiat dari almarhum Mbah Gentho. Wasiat yang ditulisnya sebelum benar-benar gila…”

Surat itu dibuka. Isinya bertinta merah, ditulis di atas daun lontar:

“Barang siapa yang membuka gentong, dia telah mengaktifkan gerbang. Bila tiga gerbang terbuka, maka pewaris akan bangkit: entah sebagai penutup, atau sebagai pemusnah. Kutukan bukan warisan darah, tapi warisan dosa.”

Redo menatap isi surat itu lama. Rasanya seperti ditujukan langsung padanya.

Redo: (berbisik) “Apa... aku yang dimaksud?”

Tanda di Tubuh

Beberapa malam kemudian, Redo mulai mengalami mimpi-mimpi aneh. Ia selalu berada di tengah lapangan luas, dan ada suara perempuan tua yang bicara tanpa membuka mulut.

“Kutukan ini bukan milikmu. Tapi kamu membawa kunci.”

Ketika ia bangun, Redo menemukan tanda merah di pundaknya — pola seperti pusaran air kecil, berwarna kemerahan, berdenyut pelan.

Deki yang melihat tanda itu langsung pucat.

Deki: “Do… tandamu mirip kayak di foto-foto anak-anak tumbal itu…”

Redo: “Berarti aku pewaris kutukan?”

Andri: (nyletuk) “Kalau iya, tolong jangan jadi hantu ya, bro. Gue udah cukup takut sama cicilan.”

Pak Bolot dan Burung Gagak

Sementara itu, Pak Bolot lagi-lagi jadi pusat perhatian warga karena insiden baru.

Pagi-pagi, ia datang ke balai desa dengan seekor burung gagak besar bertengger di pundaknya.

Pak Bolot: “Lihat nih! Si Gogo, temen baruku. Dia tiba-tiba nongol di gentong belakang rumah. Gagak kok bisa ngomong, ya?”

Bu Bolot: (menyusul dengan sapu) “Wahai para warga, burung ini tadi pagi bilang ‘Bangunkan dia, dia belum selesai!’ Terus suamiku malah dikira burungnya keturunan raja…”

Andri: (tertawa) “Pak Bolot makin hari makin horor ya. Burungnya aja bisa nubuatin kutukan…”

Namun, Mbah Tejo yang mendengar cerita itu tak tertawa.

Mbah Tejo: “Kalau gagak sampai datang bicara… berarti alam lain sudah mulai terhubung ke dunia kita. Gentong mungkin bukan satu-satunya wadah…”

Semua warga mulai merasa gentong-gentong di rumah mereka pun menyimpan sesuatu.

Akhir Bab

Kini desa tahu: tiga gerbang akan terbuka, dan satu sudah aktif. Gentong hanyalah kunci awal. Pewaris kutukan telah ditandai — dan semua mata mengarah pada Redo. Tapi yang belum mereka sadari… masih ada satu jiwa lama yang belum bangkit.

Dan malam itu, di Bukit Kendit, terdengar suara lolongan panjang… bukan anjing, bukan serigala… tapi seperti tangisan perempuan yang hilang akal.

Kutukan sudah membentangkan sayapnya.

Apakah akan ada yang mampu menutupnya kembali?

Dukun Desa Sebrang Memburu Pusaka

Desa Karangjati belum sepenuhnya pulih dari kejutannya. Sejak pengakuan Pak Karno dan kemunculan surat kutukan, banyak warga lebih rajin datang ke surau, ikut ronda malam, dan menyalakan lampu rumah lebih terang dari biasanya.

Namun tak semua ancaman datang dari dunia gaib. Kadang, manusia sendiri bisa lebih menakutkan—terutama jika ia adalah dukun dari desa seberang yang haus akan kekuasaan.

Dan kini, orang itu datang. Membawa niat yang tidak main-main: memburu pusaka yang tersembunyi di balik kutukan gentong.

Sosok Bernama Dukun Surya

Dukun Surya dikenal sebagai tokoh menakutkan dari Desa Pelawangan, sebuah desa di balik hutan lebat yang memisahkan dua dusun. Konon, ia dulunya murid dari Mbah Gentho, tapi diusir karena terlalu banyak menggunakan ilmu hitam demi ambisi pribadi.

Kini, setelah mendengar bahwa gentong kutukan telah dibuka dan pewaris telah muncul, Dukun Surya merasa saatnya membalas dendam… dan merebut pusaka yang diyakini tertanam bersama kutukan itu.

Dukun Surya: (di tengah ritual)

“Aku tak butuh tumbal. Yang kubutuhkan adalah kuasa atas gerbang! Dan pusaka itu akan jadi milikku!”

Ia menancapkan tongkat keramatnya ke tanah. Tanah desa Pelawangan bergetar pelan. Di kejauhan, burung-burung gagak mulai beterbangan menuju arah Karangjati.

Malam yang Dingin dan Bayangan Hitam

Redo terbangun dari tidurnya. Di luar rumah, ia merasa ada sesuatu yang mengawasi. Bukan hantu, bukan pula suara tangis. Tapi aroma dupa dan bunga kering yang tak biasa.

Ketika ia mengintip dari jendela, terlihat sosok lelaki berjubah hitam tengah menancapkan tongkat di tanah lapang tak jauh dari pos ronda.

Redo: (berbisik) “Siapa itu…?”

Tiba-tiba, sosok itu menoleh. Mata mereka bertemu sesaat. Dan di saat itu, Redo merasa dadanya ditekan kuat—nafasnya sesak, matanya memerah.

Redo: “A…aku tak bisa gerak…”

Deki dan Andri yang mendengar jeritan dari kamarnya, segera berlari masuk. Begitu melihat Redo menggeliat seperti kehabisan oksigen, mereka langsung panik.

Deki: “Redo! Bro! Oi bangun! Jangan kayak di sinetron gitu!”

Andri: “Woi, jangan drama, Do! Nih, gue siramin air!”

BYUR! Satu ember air menyadarkan Redo. Ia terbatuk-batuk dan tubuhnya gemetar.

Redo: “Dia… dia udah datang. Dukun dari desa seberang…”

Pusaka yang Dicari

Keesokan harinya, Mbah Tejo dipanggil oleh Pak Lurah Parmin. Bersama Pak Lutfi dan Pak Karno, mereka berdiskusi di dalam balai desa yang kini dijaga ketat oleh para pemuda.

Pak Lurah: “Apa benar pusaka itu ada, Mbah Tejo?”

Mbah Tejo: “Ada. Tapi bukan sembarang pusaka. Itu semacam tali pengikat gerbang, yang dulu digunakan Mbah Gentho untuk mengunci kutukan. Kalau itu diambil, gerbang bisa terbuka sepenuhnya…”

Pak Lutfi: “Lalu kenapa dukun dari Pelawangan ngotot pengin ngambil?”

Mbah Tejo: “Karena dengan pusaka itu… ia bisa mengendalikan kutukan. Membaliknya menjadi kekuatan untuk dirinya sendiri.”

Pak Karno menunduk. Ia ingat betul malam ketika pusaka itu dikubur. Bersama gentong, di satu tempat yang sangat terlarang: Sumur Maling.

Penjagaan dan Gangguan

Warga mulai berjaga-jaga di sekitar Sumur Maling. Tempat itu kini dipagari bambu dan diberi penanda merah. Namun malam demi malam, selalu ada hewan mati tergantung di pagar itu. Kadang ayam, kadang kucing, bahkan seekor musang dengan mata dicongkel.

Pak Bolot: (sambil menatap musang) “Ini… ini musang atau cucu saya, kok matanya nggak ada?!”

Bu Bolot: “Itu musang, Pak! Masya Allah, jangan ngawur. Cucu sampean masih di pondok!”

Andri: (berbisik ke Deki) “Jangan-jangan yang nyangkut besok Pak Bolot sendiri…”

Deki: “Hush, jangan sialan lo. Nanti dia malah jadi musang beneran.”

Tapi mereka tahu, ini bukan sekadar gangguan. Ini adalah peringatan dari dukun Surya. Ia sudah dekat.

Siska dan Bisikan di Mimpi

Di waktu yang bersamaan, Siska—yang memiliki kepekaan batin—mulai mendapat mimpi yang sama setiap malam. Ia berada di lorong sempit gelap, dan dari kejauhan terdengar suara:

“Jika kamu membiarkannya… Redo akan menjadi penjaga. Tapi jika kamu membuka jalan… kamu bisa menyelamatkan semuanya.”

Ketika ia bangun, di telapak tangannya tergurat sebuah pola seperti tali yang berputar—mirip dengan pola di bahu Redo.

Tiana yang menyadarinya, langsung memotret dan membandingkan.

Tiana: “Sis… kamu dan Redo, punya tanda yang sama. Apa ini pertanda kalau kalian… satu jalur?”

Siska hanya menunduk. Matanya terlihat bingung tapi tenang.

Siska: “Mungkin aku juga bagian dari ini. Mungkin bukan Redo saja yang ditakdirkan menjaga gerbang.”

Langkah Dukun Surya

Sementara itu, di sebuah gubuk kecil dekat perbatasan desa, Dukun Surya tengah mempersiapkan ritual terakhir. Ia menyalakan api unggun, menyusun tulang-tulang kecil dalam lingkaran, dan menggantungkan seutas tali anyaman dari rambut manusia.

Dukun Surya: “Malam purnama ketiga… aku akan masuk ke Sumur Maling. Pusaka itu… akan jadi milikku. Dan kutukan ini… akan tunduk padaku.”

Saat ia membakar dupa terakhir, tanah bergetar, dan dari bawah sumur tua terdengar suara… ratapan lirih wanita.

Akhir Bab

Malam purnama sudah dekat.

Redo mulai merasakan perubahan dalam dirinya. Kadang pikirannya gelap. Kadang tubuhnya panas. Ia takut... takut kalau dirinya perlahan menjadi apa yang selama ini ingin ia lawan.

Dan di kejauhan, bayangan seorang dukun berjalan menyusuri jalan setapak menuju Sumur Maling.

Pusaka telah memanggil… dan perang belum dimulai.

1
Sokkheng 168898
Nggak sabar nunggu kelanjutannya.
BX_blue
Penuh kejutan, ngga bisa ditebak!
iwax asin
selamat datang
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!