Di balik gaun pengantin dan senyuman formal, tersembunyi dua jiwa yang sejak lama kehilangan arti cinta.
Andre Suthajningrat—anak dari istri kedua seorang bangsawan modern, selalu dipinggirkan, dibentuk oleh hinaan dan pembuktian yang sunyi. Di balik kesuksesannya sebagai pengusaha real estate, tersimpan luka dalam yang tak pernah sembuh.
Lily Halimansyah—cucu mantan presiden diktator yang namanya masih membayangi sejarah negeri. Dingin, cerdas, dan terlalu terbiasa hidup tanpa kasih sayang. Ia adalah perempuan yang terus dijadikan alat politik, bahkan oleh ayahnya sendiri.
Saat adik tiri Andre menolak perjodohan, Lily dijatuhkan ke pelukan Andre—pernikahan tanpa cinta, tanpa pilihan.
Namun di balik kehampaan itu, keduanya menemukan cermin dari luka masing-masing. Intrik keluarga, kehancuran bisnis, dan bayang-bayang masa lalu menjerat mereka dari segala sisi. Tapi cinta… tumbuh di ruang-ruang yang retak.
Bisakah dua orang yang tak pernah dicintai, akhirnya belajar mencintai?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon khayalancha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18
Langkah kaki Lily menggema di teras rumah bata merah itu, berat dan tak teratur, seperti hatinya yang belum juga tenang sejak gala tadi malam. Jam menunjukkan pukul satu dini hari. Angin dini hari Senopati dingin menusuk, tapi tak lebih dingin dari perasaannya.
Ia memeluk tubuh sendiri sambil membuka pintu. Suara klik kunci elektronik menyambutnya, disusul lampu yang otomatis menyala, memperlihatkan interior rumah modern minimalis yang seharusnya terasa nyaman… tapi malam ini terasa kosong.
Andre tidak pulang bersamanya.
Dan Lily tahu itu bukan karena urusan kerja.
Tapi karena dirinya.
Karena tamparannya.
Karena kata-kata terakhirnya yang menusuk seperti belati.
...****************...
Semalam, Lily naik taksi sendiri pulang dari gala fashion, menolak supir pribadi yang sudah menunggunya. Ia terlalu kesal, terlalu marah pada Andre, pada dirinya sendiri, dan pada semua orang yang merasa berhak mengomentari hidup mereka.
Tapi setelah sampai rumah, membuka heels-nya yang menyakitkan, membersihkan riasan wajah yang sudah luntur, dan berdiri di depan kaca dengan hanya mengenakan daster tipis… dia justru menangis.
Tangis yang tanpa suara.
Tangis yang tidak menyalahkan siapa-siapa, hanya kebingungan—karena kenapa hatinya sakit setelah menampar Andre?
Kenapa ada bagian dalam dirinya yang ingin berbalik dan mencium Andre lebih dulu?
Tapi ia tak bisa. Karena ia takut.
Takut jika perasaan ini hanya sepihak.
Takut jika Andre hanya membalas tekanan sosial.
Takut… ia kembali jatuh pada pria yang hanya ingin menyelamatkan harga dirinya.
...****************...
Lily bangun pukul delapan pagi. Cahaya matahari pagi masuk dari jendela besar kamarnya. Ia mengangkat kepala pelan dari bantal.
Sepi.
Ia duduk di tepi ranjang, menatap sekitar.
“Andre?” panggilnya pelan, hanya untuk meyakinkan dirinya.
Tak ada jawaban.
Ia turun ke lantai bawah, melewati ruang tamu yang masih rapi, ruang makan yang kosong, hingga ke dapur. Mbak Lastri, pembantu setia Lily, sedang memasak sarapan.
“Mbak, Pak Andre pulang semalam?” tanya Lily dengan nada setengah bergetar.
Mbak Lastri menoleh, ragu menjawab. “Nggak, Bu… Saya tungguin sampai jam dua belas, nggak kelihatan.”
Lily menggigit bibir bawahnya. “Oke, terima kasih, Mbak.”
Ia kembali naik ke kamar. Tapi langkahnya goyah. Perasaan bersalah menggerogoti jantungnya. Ia membuka ponsel, ingin menghubungi Andre, tapi… takut. Kalau-kalau Andre sedang marah dan memilih diam.
Lily menarik napas panjang. “Mungkin aku terlalu kejam tadi malam…” bisiknya sendiri.
...****************...
Andre duduk sendirian di ruang kerjanya. Jam digital menunjukkan pukul 02:49. Setumpuk berkas proyek terbuka di mejanya, namun tak satu pun terbaca. Ia hanya menatap kosong, dengan dasi terlepas dan kemeja setengah terbuka.
Cahaya monitor redup. Ruangan itu sunyi kecuali suara jam dinding.
Andre menyandarkan kepala ke kursi, lalu mengerang pelan. “Apa sih yang gue lakuin…” gumamnya.
Lily menamparnya. Ia tidak menyalahkan. Mungkin memang salahnya—karena terlalu emosional, karena mencium Lily tanpa izin, tanpa kepastian.
Tapi… kalau bukan sekarang, kapan? Ia pikir malam itu mereka bisa jujur.
Andre berdiri dan berjalan ke jendela besar, menatap lampu kota yang masih hidup.
Semua terasa sesak.
Seumur hidup, ia tak pernah punya hak atas pilihannya sendiri.
Dilahirkan sebagai anak dari istri kedua Sultan Munier—langsung dicap sebagai “gundik”.
Disekolahkan di tempat terbaik, bukan karena dicintai, tapi karena ayahnya ingin pembuktian.
Bahkan proyek-proyek properti yang ia jalani, itu pun harus lewat persetujuan ayahnya.
Dan sekarang… Lily.
Kalau Bowo tidak menolak perjodohan, bukankah Lily takkan jadi istrinya?
Bahkan perempuan yang ia cintai, datang ke hidupnya… bukan karena pilihan mereka.
⸻
Siang Hari
Sekitar pukul satu siang, Andre sampai di rumah.
Pagar otomatis terbuka, mobilnya masuk ke garasi, dan rumah itu—seindah dan semodern apapun—hanya terlihat seperti bangunan kosong.
Lily tidak ada di rumah. Mbak Lastri bilang tadi Lily pergi ke restorannya.
Andre berjalan pelan ke dalam, langsung menuju lantai dua. Langkahnya tidak tergesa. Wajahnya datar. Ia hanya ingin tenang.
Di kamar utama, ia membuka lemari besar. Pandangannya menyapu rapi barisan kemeja dan jasnya.
Tanpa pikir panjang, Andre mengeluarkan satu koper besar dari bawah ranjang. Ia membukanya dan mulai memasukkan pakaian satu per satu.
Kemeja, celana bahan, kaus-kaus favoritnya. Bahkan dasi kupu-kupu yang ia kenakan tadi malam.
Tangan Andre berhenti di satu laci kecil. Ia menariknya perlahan. Di dalamnya ada… bros kecil berbentuk burung phoenix, hadiah dari Lily saat ulang tahunnya tiga minggu lalu.
Bros itu belum pernah ia pakai.
Andre menatapnya lama, lalu menggenggam benda itu, memasukkannya ke dalam saku jas, dan menutup koper dengan tenang.
Tidak ada amarah. Tidak ada drama.
Hanya… sejenis kehampaan. Dan keputusan.
...****************...
Saat koper ditutup, pintu rumah berbunyi.
Suara heels mendekat.
Suara Lily.
Andre belum tahu Lily sudah pulang.
Dan Lily belum tahu bahwa suaminya sedang bersiap… untuk pergi.
...----------------...