Arsyan Al Ghazali, seorang ustadz muda tampan, dikenal karena keteguhan imannya, kefasihannya dalam berdakwah, dan pesona yang membuat banyak wanita terpesona. Namun, ia tak pernah tergoda dengan pujian atau perhatian dari lawan jenis. Baginya, agama dan dakwah adalah prioritas utama.
Di sisi lain, Nayla Putri Adinata adalah gadis liar dari keluarga konglomerat yang gemar berpesta, bolos kuliah, dan menghabiskan malam di klub. Orang tuanya yang sudah lelah dengan tingkah Nayla akhirnya mengirimnya ke pesantren agar dia berubah. Namun, Nayla justru membuat onar di sana, bersikap kasar kepada para santri, dan berusaha melawan aturan.
Segalanya berubah ketika Nayla berhadapan dengan Al Ghazali, ustadz muda yang mengajarkan ilmu agama di pesantren tersebut. Awalnya, Nayla merasa jijik dengan semua aturan dan ceramahnya, tetapi pesona ketenangan serta ketegasan Al Ghazali justru membuatnya semakin penasaran.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Amelia's Story, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jangan pergi lagi ...
Air mata Nayla menetes pelan membasahi pipinya yang pucat. Saat matanya menangkap sosok Al berdiri di samping ranjang dengan wajah cemas namun penuh cinta, sesuatu di dalam dirinya seolah kembali menyala. Tangan yang semula lemah perlahan menggenggam lebih erat tangan suaminya.
"Aku pikir... aku takkan melihatmu lagi..." ucap Nayla dengan suara serak.
Al mengusap air matanya dengan lembut, lalu mengecup punggung tangannya penuh kasih.
"Aku mencarimu delapan bulan, Nayla... dan aku tak akan pernah berhenti mencintaimu. Maafkan aku... karena tak ada di sampingmu lebih awal."
Nayla mengangguk pelan, lalu tatapannya beralih pada bayi mungil yang kini tertidur di dalam inkubator kecil. Air matanya semakin deras, tapi kini bukan karena sedih—melainkan karena haru dan syukur.
"Ini… anak kita, ya…?” bisiknya.
"Ya. Dan dia sekuat ibunya,” jawab Al sambil mengusap rambut Nayla.
Tenaga yang sempat hilang seolah kembali ke tubuh Nayla. Keinginannya untuk hidup, untuk mencintai dan membesarkan anak mereka bersama Al, tumbuh dalam satu tarikan napas. Ia tak lagi sendiri. Kini, keluarganya telah lengkap.
Dengan mata berkaca-kaca dan suara yang bergetar karena haru, Al menggendong bayi laki-lakinya yang baru lahir. Ia mendekatkan mulutnya ke telinga kanan sang buah hati, lalu mulai melantunkan adzan dengan suara lembut namun mantap:
"Allahu akbar, Allahu akbar...
Ashhadu an laa ilaaha illallah...
Ashhadu anna Muhammadan rasulullah..."
Nayla menyaksikan momen itu dengan linangan air mata. Ia memeluk selimut rumah sakit sambil terus menatap suaminya yang memimpin kehidupan anak mereka dengan panggilan suci pertama.
Selesai adzan, Al mencium kening bayinya, lalu membisikkan:
"Selamat datang, jagoan kecil ayah… Semoga kau tumbuh menjadi lelaki yang mencintai Allah dan Rasul-Nya.”
Ia kemudian menatap Nayla, senyum mereka bertemu—penuh rasa syukur dan cinta yang dalam.
Setelah prosesi adzan selesai, suasana di ruang bersalin menjadi hening sejenak—hening yang khidmat. Bayi itu terlelap dalam gendongan Al, sementara Nayla tersenyum lemah dari ranjang rumah sakit.
Seorang perawat masuk dan bertanya dengan sopan,
“Apakah sudah ada nama untuk bayi ini, Pak?”
Al memandang Nayla yang masih menahan lelah namun jelas menatapnya penuh harap. Ia kemudian duduk di sisi ranjang, menggenggam tangan istrinya dan berkata lembut,
"Aku ingin kau yang memilih namanya, Nay.”
Dengan air mata yang kembali menetes, Nayla berbisik,
“Aku ingin namanya mencerminkan keberanian dan ketulusan hatimu, Al…”
Al pun mengangguk pelan lalu berkata tegas,
"Namanya Raihan Al-Fattah. Raihan berarti ‘wewangian surga’, dan Al-Fattah… Dia yang membuka jalan. Semoga ia jadi pembuka pintu-pintu kebaikan.”
Nayla mengangguk, terisak pelan.
"Raihan Al-Fattah… nama yang indah,” ucapnya.
Para perawat pun mencatat nama itu. Al mencium kening Nayla dan berbisik,
"Kita akan mulai lagi, dari sini. Bersama Raihan, kita buka lembaran baru.”
Di dalam kamar rawat yang hangat dan tenang, suara tangisan kecil Raihan memecah keheningan. Seorang perawat mengantar bayi mungil itu ke pelukan Nayla. Dengan lembut, Nayla membuka selimut dan mulai menyusui anak pertamanya. Wajahnya tampak teduh, penuh cinta, meski tubuhnya masih lemah.
Al berdiri tak jauh, mematung sejenak. Wajahnya canggung—matanya bergerak tak tentu arah, berusaha tak menatap langsung namun tak bisa juga mengalihkan pandangannya. Ia menelan ludah, lalu menggaruk tengkuknya sendiri, gugup.
Nayla melirik suaminya dan terkekeh kecil,
"Kamu canggung, ya?”
Al terdiam, lalu tersenyum kikuk.
"Aku cuma… belum pernah lihat kamu… seperti itu. Maksudku… menyusui. Tapi kamu… terlihat luar biasa.”
Nayla tertawa kecil meski wajahnya merona.
“Ini pertama kalinya aku merasa benar-benar menjadi seorang ibu. Dan kamu, ayah yang kikuk ternyata.”
Al tersenyum malu, lalu berjalan mendekat dan duduk di sisi ranjang. Ia mengusap kepala Raihan yang sedang menyusu dengan tenang.
"Maaf… aku cuma kaget. Tapi aku… bangga banget sama kamu.”
Momen itu menjadi titik keintiman baru dalam hubungan mereka. Sebuah awal yang tenang dan indah setelah badai yang panjang.
Sambil terus menatap wajah kecil Raihan yang damai di pelukan ibunya, Al menggenggam tangan Nayla perlahan. Jemarinya hangat, namun ada getar ketulusan di sana.
“Nayla...” ucapnya pelan, suaranya nyaris seperti bisikan, “jangan pernah pergi lagi...”
Nayla menoleh, matanya masih sembab tapi ada cahaya baru di sana.
"Aku pikir kamu marah... aku pikir kamu gak akan pernah cari aku lagi...”
Al menggeleng cepat. “Aku memang marah... tapi bukan padamu. Aku marah pada dunia yang menyakitimu. Aku marah pada diriku karena gagal melindungimu. Tapi aku gak pernah berhenti mencintaimu, Nay.”
Air mata Nayla jatuh tanpa suara. Al mencium punggung tangannya, dan mengulangi,
“Tolong, apapun yang terjadi... jangan pernah pergi lagi. Aku butuh kamu. Disampingku .”
Nayla mengangguk pelan, suaranya bergetar,
"Aku janji... aku gak akan pergi lagi. Ini rumahku, di sisi kamu.”
Kamar itu tak lagi hanya ruang rawat. Di sana ada pengampunan, cinta yang dipulihkan, dan janji yang baru.
Beberapa hari setelah kelahiran Raihan, suasana kamar rumah sakit berubah menjadi tenang dan penuh kehangatan. Nayla sudah mulai pulih dan diperbolehkan pulang. Al dengan sigap mengurus administrasi rumah sakit, sementara Nayla menyiapkan perlengkapan bayi dibantu asistennya.
Pagi itu, sebuah mobil hitam dari Kedutaan Besar Indonesia datang menjemput mereka. Al menggendong Raihan dengan hati-hati, seolah membawa harta paling berharga dalam hidupnya. Nayla berjalan perlahan di sampingnya, masih lemah tapi wajahnya tampak tenang dan bersinar.
Saat mereka sampai di bandara, beberapa staf dari cabang perusahaan travel milik Al di Turki menyambut mereka dengan hangat. Tiket kelas bisnis sudah disiapkan. Nayla tak berhenti memandangi wajah kecil Raihan yang tertidur pulas di pelukannya.
"Akhirnya kita pulang ya, Nak…” bisik Nayla sambil mengecup dahi bayinya.
Dalam pesawat, Al duduk di samping Nayla. Ia tak berhenti mengamati istri dan anaknya. Ada kebahagiaan yang tak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata.
"Aku mau semua orang tahu kamu istri sahku. Aku nggak akan biarkan siapa pun merendahkan kamu lagi,” ucap Al tegas.
Nayla menatap suaminya dengan air mata menetes, tapi kali ini bukan karena sedih—melainkan karena bahagia.
Sesampainya di Jakarta, keluarga Al sudah menunggu di kediaman mereka. Ibunda Al yang semula menolak Nayla kini menangis melihat cucu pertamanya. Pak Faisal, ayah Nayla, juga hadir, langsung memeluk putrinya erat.
“Kamu sudah jadi ibu sekarang, Nayla. Ayah bangga padamu.”
Tangis pecah, bukan karena luka masa lalu, tapi karena pelukan hangat yang akhirnya kembali menyatukan semua.
Beberapa hari setelah kepulangan Nayla dan Al ke Indonesia, keluarga besar Al dan Nayla mempersiapkan acara aqiqah dan penyambutan dengan penuh sukacita. Lokasi dipilih di aula utama milik yayasan pendidikan Islam yang didirikan Al, tempat ia juga menjadi ustadz. Suasana pagi itu syahdu—dihiasi hiasan sederhana namun elegan, dengan sentuhan putih dan emas, serta aroma wangi kayu manis dan bunga melati yang menyambut para tamu.
Pak Faisal dan istri tampak sibuk menyambut tamu dari kalangan keluarga dan sahabat lama Nayla. Sementara itu, keluarga besar Al, termasuk ibunda yang semula bersikap dingin, kini sibuk menggendong cucu pertamanya dengan penuh kasih.
Saat acara dimulai, Al menggendong Raihan yang dibalut kain putih bersih. Ia melantunkan doa aqiqah dengan suara tenang dan penuh khidmat. Tamu-tamu yang hadir tersentuh mendengar lantunan doa dari seorang ayah yang juga seorang ustadz, yang jelas-jelas sangat mencintai keluarganya.
Nayla duduk di samping Al, mengenakan gamis anggun berwarna pastel dengan hijab senada. Matanya berkaca-kaca melihat semua orang menerima dirinya dengan hangat. Ia menggenggam tangan Al erat, merasa benar-benar kembali ke rumah, bukan hanya secara fisik, tapi juga dalam makna yang sesungguhnya.
Usai doa, tamu-tamu diberi kesempatan menimang bayi Raihan, dan makanan prasmanan khas Timur Tengah serta masakan Betawi disajikan. Beberapa santri Al bahkan mempersembahkan nasyid untuk menyambut bayi dan ibunya.
Di akhir acara, Al berdiri dan berkata di hadapan semua:
“Ini istri saya, Nayla. Ibu dari anak saya, Raihan. Jangan nilai seseorang dari masa lalunya. Yang penting adalah bagaimana ia memilih untuk berubah dan melangkah hari ini. Saya bersaksi, dia wanita yang kuat, dan saya bangga menjadi suaminya.”
Tepuk tangan menggema. Nayla menunduk haru, lalu menatap Al sambil berbisik,
“Terima kasih… sudah membuatku merasa layak dicintai.”
Bersambung