NovelToon NovelToon
Seni Perang Dalam Cinta

Seni Perang Dalam Cinta

Status: tamat
Genre:Tamat / Diam-Diam Cinta / Bad Boy / Enemy to Lovers / Si Mujur / Rebirth For Love / Idola sekolah
Popularitas:764
Nilai: 5
Nama Author: Dwiki

Theresa Coldwell adalah ratu tak tertandingi di sekolahnya—lidahnya tajam, kepercayaan dirinya tak tergoyahkan. Tak ada yang berani menantangnya… sampai Adrien Valmont datang. Santai, tak terpengaruh, dan sama pintarnya, dia membalas sarkasme Theresa dengan komentar tajam tanpa ekspresi, membuat setiap pertemuan mereka jadi ajang adu kecerdasan dan ego. Dari debat di kelas hingga persaingan di seluruh sekolah, ketegangan di antara mereka semakin terasa. Tapi ketika sesuatu yang tak terduga mengancam untuk memisahkan mereka, akankah mereka akhirnya menurunkan ego masing-masing, atau justru terjebak dalam perang kata-kata yang tak berujung?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dwiki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Perpisahan Rival?

Adrien Valmont tidak pernah menyangka bahwa tahun terakhirnya di St. Marguerite High akan datang dengan keputusan yang mengubah hidup.

Tapi di sinilah dia sekarang.

Berdiri di kantor kepala sekolah, menatap surat resmi yang bisa membawanya ke salah satu universitas paling bergengsi di Eropa setahun lebih awal.

Beasiswa penuh. Program elite. Kesempatan seumur hidup.

Hanya ada satu masalah.

Matanya tertuju pada batas waktu untuk menjawab.

Satu minggu.

Satu minggu untuk memutuskan.

Satu minggu sebelum segalanya berubah.

Satu minggu sebelum dia harus memberi tahu dia.

Dan bagian itu...

Bagian itu akan jadi mimpi buruk.

Theresa Coldwell tidak sedang dalam mood untuk omong kosong.

Dia punya kompetisi debat yang harus dipersiapkan, makalah yang harus diselesaikan, dan—yang paling penting—dendam pribadi yang harus dijaga.

Terhadap Adrien.

Tapi...

Ada sesuatu yang aneh.

Beberapa hari terakhir, dia bertingkah aneh.

Lebih sedikit sarkasme. Lebih banyak melamun. Dia tidak membalas perdebatan sebanyak biasanya, dan itu sangat mencurigakan.

Bahkan sekarang, di perpustakaan, dia bisa merasakan tatapannya.

Theresa melirik dari balik bukunya. “Kau butuh sesuatu, Valmont? Atau kau hanya akan terus duduk di sana merenung seperti tokoh utama novel gotik?”

Adrien berkedip. “Merenung?”

“Ya, merenung. Kau bertingkah seperti seseorang yang akan mengungkapkan masa lalu tragis.”

Dia menghela napas pendek. “Mungkin memang begitu.”

Theresa mendengus. “Kecuali itu melibatkan saudara kembar yang hilang atau warisan yang dicuri, aku ragu itu sedramatis itu.”

Adrien terdiam.

Dan saat itulah Theresa tahu ada sesuatu yang benar-benar salah.

Dia selalu punya jawaban balik.

Selalu.

Dan sekarang, dia hanya diam.

Perutnya terasa menciut.

“…Ada apa?” tanyanya, mengernyit.

Adrien mengetukkan jarinya di meja, lalu akhirnya berkata:

“Aku mendapat tawaran untuk belajar di luar negeri.”

Kata-kata itu menghantam lebih keras dari yang dia perkirakan.

Dia menatapnya, mencoba mencerna. “…Oh.”

Adrien tertawa kecil. “‘Oh’? Hanya itu?”

Theresa dengan cepat menyembunyikan ekspresinya. “Yah, tentu saja, selamat.”

“Tentu saja.”

Theresa mengangguk. “Itu kesempatan luar biasa. Kau akan bodoh jika menolaknya.”

Adrien menatapnya. “…Benar.”

Keheningan membentang di antara mereka.

Keheningan yang terlalu berat untuk dua orang yang mengklaim tidak peduli.

Theresa bisa merasakannya—beban sesuatu yang tak terucapkan, sesuatu yang tak bisa disangkal, sesuatu yang sudah terlalu lama berpura-pura tidak ada.

Tapi alih-alih mengakuinya, dia membalik halaman bukunya.

Seolah-olah tidak ada yang berubah.

Seolah-olah segala sesuatu tidak akan berubah.

Adrien menghela napas.

“Jadi, hanya itu?”

Theresa memaksa smirk. “Apa, kau ingin aku menangis? Haruskah aku menulis surat perpisahan yang dramatis?”

Garis rahang Adrien mengencang. “Lupakan saja.”

Dan begitu saja, dia berdiri dan pergi.

Theresa membiarkannya.

Karena jika dia tidak—jika dia menghentikannya sekarang—dia tidak yakin akan bisa membiarkannya pergi sama sekali.

Selama tiga hari berikutnya, Theresa berhasil menghindari topik itu.

Dia meyakinkan dirinya sendiri bahwa dia tidak peduli.

Sampai dia mendengar Asher berbicara di lorong.

“Aku dengar Adrien pergi minggu depan,” katanya. “Katanya dia sudah mengambil keputusan.”

Jantung Theresa jatuh.

Dia sudah memutuskan?

Dia benar-benar akan pergi?

Dan dia bahkan tidak memberi tahu dia?

Tangannya menggenggam erat.

Ini baik-baik saja.

Ini baik-baik saja.

…Ini tidak baik-baik saja.

Saat Kebenaran Tiba.

Theresa menemukannya di atap setelah sekolah.

Dia membuka pintu dengan kasar, menyilangkan tangan. “Jadi, kau benar-benar pergi.”

Adrien menoleh dari tempatnya bersandar di pagar.

Dia terlihat... lelah.

Dan untuk pertama kalinya, Theresa menyadari—

Ini juga tidak mudah baginya.

“…Ya,” katanya pelan. “Aku pergi.”

Ada sesuatu yang retak di dalam dirinya.

Tapi dia tidak menunjukkannya.

Sebaliknya, dia memaksa smirk. “Wow. Aku tidak percaya aku kehilangan musuh bebuyutan akademikku.”

Adrien tertawa kering. “Entah kenapa, aku ragu itu satu-satunya hal bagimu.”

Jantung Theresa melewatkan satu ketukan.

Tapi dia tetap memasang maskernya. “Memangnya apalagi?”

Adrien melangkah mendekat.

Perlahan.

Dengan sengaja.

Dan tiba-tiba, jarak di antara mereka terasa terlalu kecil.

“…Aku tidak tahu,” gumamnya. “Kenapa kau tidak memberitahuku?”

Theresa membuka mulut—lalu segera menutupnya.

Otaknya error.

Mode panik.

Sistem gagal total.

Adrien tersenyum miring. “Lihat? Kau bahkan tidak bisa menyangkalnya.”

Theresa mendengus, mencoba memulihkan diri. “Kau konyol.”

“Mungkin.” Dia memiringkan kepala. “Tapi kau tetap tidak menyuruhku untuk tinggal.”

Napasnya tertahan.

Karena kenyataannya—

Dia ingin.

Dia ingin memintanya untuk tetap tinggal.

Tapi dia tidak bisa.

Karena bagaimana jika dia melakukannya… dan Adrien tetap tinggal… dan dia menghancurkan semuanya?

Jadi, dia malah tertawa.

“Seolah aku akan memohon padamu untuk tetap tinggal, Valmont.”

Ekspresi Adrien berubah sekejap.

Dan lalu, begitu saja, senyum-nya menghilang.

“…Mengerti.”

Hening.

Keheningan yang menyakitkan, sangat menyakitkan.

Kemudian Adrien melangkah mundur.

Theresa merasakan setiap inci jarak itu.

“…Baiklah,” katanya, nada suaranya ringan. “Sepertinya sudah jelas.”

Theresa menelan ludah. “Sepertinya begitu.”

Adrien mengangguk sekali. “Jaga diri, Coldwell.”

Dan kemudian—

Dia pergi.

Kali ini, untuk selamanya.

Theresa menatap punggungnya, jantung berdebar kencang.

Tangannya bergetar.

Dadanya terasa sesak.

Dan dia benci—benci—betapa rasanya seperti dia baru saja membiarkan sesuatu yang tak tergantikan lepas dari genggamannya.

Perpisahan… atau Hanya Jeda?

Theresa duduk sendirian di atap setelah dia pergi.

Menatap tempat di mana dia tadi berdiri.

Angin terasa dingin.

Tapi hatinya lebih dingin.

Tapi dia sudah membuat pilihan.

…Benarkah?

Lalu kenapa rasanya seperti dia baru saja membuat kesalahan terbesar dalam hidupnya?

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!