NovelToon NovelToon
Istri Sang Mafia

Istri Sang Mafia

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Romantis / Mafia / Cinta setelah menikah / Roman-Angst Mafia / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:499
Nilai: 5
Nama Author: LaruArun

Pernikahan adalah mimpi setiap gadis.
Tapi tidak bagi Zia.
Bukan malam itu.
Bukan di altar itu.
Dan—terutama—bukan dengan pria itu.

Yang Zia tahu, Viren Kaeshiro adalah pengusaha muda yang jenius, berkuasa, dan sempurna.
Begitu kata semua orang. Begitu kata kakaknya, Alin.

Tapi di balik jas mahal dan perusahaan teknologi raksasa,
Viren adalah pemimpin Cinderline—organisasi bayangan yang tak tersentuh hukum dan tak dikenal dunia.

Dan malam itu…
Zia baru saja menikahi seorang iblis bersetelan jas.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LaruArun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 12 XANDER

Pagi datang dengan tenang. Viren berdiri di depan cermin, mengenakan dasi lalu vest, dan akhirnya jas abu tua yang membingkai siluet tubuhnya dengan presisi. Rambut hitamnya dibiarkan jatuh menutupi sebagian dahi, memberi kesan dingin sekaligus elegan. Ia memasang kacamatanya, lalu menuruni tangga dengan langkah pelan.

Begitu mencapai ruang bawah, langkahnya terhenti.

Zia masih terlelap di sofa, tertutup selimut hingga ke dagu. Wajahnya tenang, nyaris seperti anak kecil yang tertidur setelah hari yang panjang. Viren hanya berdiri di sana, memperhatikannya dalam diam.

“Pagi, Tuan.”

Jake muncul dari sisi lain ruangan, membawa beberapa berkas. Namun langkahnya terhenti ketika melihat sosok berselimut itu.

Viren hanya mengangguk, lalu memberi isyarat agar Jake menurunkan volume suaranya.

Tiba-tiba, Zia menggeliat. Ia merentangkan tangan—dan…

Brugh.

Tubuhnya terguling jatuh dari sofa. Jake meringis menahan tawa, sementara Viren tetap diam, hanya menatapnya tanpa ekspresi berubah.

Zia mengerang pelan sambil memegangi keningnya yang membentur lantai. Dengan mata setengah terbuka, ia mencoba menyesuaikan diri dengan cahaya di ruangan. Pandangannya menangkap sosok pria berjas biru tua, berdiri tegak, rapi dan… tersenyum.

“Pagi, Nona,” sapa Jake. Kali ini nadanya sedikit lebih ramah—hanya sedikit.

Zia tidak menjawab. Ia buru-buru duduk dan berusaha berdiri, namun lupa: kakinya belum sepenuhnya pulih dan selimut masih melilit tubuhnya.

Ia nyaris jatuh lagi.

Tapi seseorang menangkapnya lebih dulu.

Ia mendongak—mata mereka bertemu.

Viren.

Tatapannya datar, tapi kuat. Tak ada senyum, tapi ada sesuatu yang tak bisa dijelaskan di sana.

“Sudah kubilang, jangan terlalu banyak bergerak,” ucapnya singkat sambil membantu Zia berdiri.

“Aku harus segera pergi,” sahut Zia, mencoba melepaskan diri.

Namun Viren menahan pergelangan tangannya.

“Tidak hari ini.” Suaranya tenang, tapi tegas. “Tidak sampai kau bisa berjalan tanpa bantuan.”

“Tapi—”

“Aku tidak suka dibantah.”

Nada itu seperti bilah es: dingin, namun tajam.

Zia langsung terdiam, lalu mengangguk pelan. “Baiklah.”

Viren menoleh. “Jake.”

“Ya, Tuan?”

“Antar dia ke kamar.”

Jake mengangguk dan segera mendekat, meraih lengan Zia. Gadis itu hanya sempat melirik sekilas ke arah Viren. Kenapa bukan dia yang mengantarku? Seperti semalam... pikirnya. Tapi tentu saja, Viren Kaeshiro bukan tipe yang bisa ditebak.

“Ayo, Nyonya,” ujar Jake.

“Sudah kubilang, jangan panggil aku seperti itu,” sahut Zia, kesal, meski tetap menurut.

Sementara itu, Viren berjalan ke dapur. Ia duduk seperti biasa di meja makan, ditemani secangkir kopi dan tablet yang memuat data terbaru. Persentase peminat SPEKTRA naik signifikan. Namun seperti yang sudah ia duga, topik utama publik tetap tertuju padanya, bukan pada teknologi.

“Antarkan sarapan ke kamarnya,” ucap Viren tanpa menoleh saat Emi selesai menata meja makan.

“Baik, Tuan,” jawab Emi. Wanita paruh baya itu segera kembali ke dapur dan muncul beberapa menit kemudian dengan nampan sarapan lengkap.

Beberapa saat setelah itu, Jake kembali dan berdiri di sisi meja.

“Bagaimana keadaan Samuel?” tanya Viren.

“Jauh lebih baik setelah seminggu dirawat, Tuan. Itu laporan dari Manuel.” jawabnya. "Sekarang sudah kembali ke Cinderline untuk pemulihan."

Viren mengangguk. Ia belum bisa menjenguk Samuel lagi secara langsung—terlalu berisiko, terutama setelah konferensi pers terakhir. Terlalu banyak mata tertuju padanya.

“Suruh Manuel tetap bersamanya.”

“Siap.”

Sementara itu, di lantai atas, Zia tengah berendam dalam air hangat. Pikirannya masih berputar tentang Viren—tentang malam tadi, tentang tangannya yang membantu, tentang sorot matanya yang tak bisa ditebak. Tapi juga tentang pagi ini, saat pria itu justru menyuruh Jake untuk membantunya.

Zia menggeleng cepat. “Apa yang kupikirkan?” gumamnya sambil memejamkan mata. “Jangan lupa, Zia... kau dan dia tidak boleh terlalu dekat.”

Ia mengingatkan dirinya sendiri. Ini hanya perjanjian. Sebuah pernikahan yang tidak pernah dirancang dengan cinta.

Setelah keluar dari kamar mandi dengan rambut basah dan kimono yang masih membalut tubuhnya, Zia melihat nampan sarapan sudah tersaji di meja. Pasti dari Emi. Ia tersenyum kecil, lalu duduk perlahan untuk menyantapnya.

...----------------...

Sebuah mobil hitam melaju tenang menuju gedung Xander Corp—perusahaan milik Alex, ayah mertua Viren.

Viren duduk di belakang, bersama Jake dan seorang supir. Hari ini bukan tentang Cinderline. Ini tentang merger. Tentang kepemilikan. Tentang kekuasaan yang harus dikunci sebelum terlambat.

Setelah tiba di lobi, mereka langsung naik ke lantai tujuh. Di dalam ruang kerjanya, Alex sudah mendapat laporan akan kedatangan menantunya.

Ia menghela napas.

Pintu terbuka. Jake masuk lebih dulu dan membuka jalan untuk Viren.

“Pagi, Ayah,” sapa Viren sambil menjabat tangannya.

“Pagi, Tuan,” balas Alex. “Bagaimana kabarmu?”

“Baik. Dan kulihat, kau pun terlihat sehat.”

Alex mengangguk. “Bagaimana dengan Zia?”

“Cidera kecil. Terpeleset saat mencari buku.”

“Parah?”

“Tidak. Dan dia tidak pergi ke kafe hari ini.”

Alex mengangguk kecil, memahami. “Dia memang keras kepala... tapi sekarang dia tahu siapa yang tak bisa dibantah.”

Viren tidak menjawab. Ia hanya diam beberapa detik, lalu membuka pembicaraan.

“Aku ke sini bukan untuk bicara tentang dia. Tapi soal SPEKTRA.”

Alex menegakkan tubuhnya.

“Aku ingin Xander berada di bawah Kairotek. Bukan sebagai milikku, tapi sebagai satelit. Dalam jangkauan. Denganmu tetap sebagai wajah utamanya.”

Alex menatapnya beberapa saat. Lalu berkata, “Dengan satu syarat.”

Viren menaikkan sebelah alis. Jake tetap diam.

“Jangan libatkan Zia dalam urusanmu. Apa pun itu.”

Viren hanya menatap, lalu mengulurkan tangan.

“Deal.”

Dan tangan mereka pun berjabatan.

Setelah pertemuan dengan Alex selesai,

Viren dan Jake keluar dari ruang pertemuan tanpa sepatah kata pun. Tak ada basa-basi, tak ada senyum tambahan. Hanya jabatan tangan dan keputusan yang telah diambil. Di dalam lift, Jake sempat melirik sekilas ke arah Viren, seolah hendak bertanya sesuatu. Tapi urung. Wajah pria itu tetap tenang, seperti biasa—nyaris tidak menunjukkan reaksi emosional sama sekali.

“Bagaimana jika Alex mengingkari janjinya?” tanya Jake, akhirnya.

“Dia tidak akan,” jawab Viren tanpa menoleh. “Dia tahu, satu langkah salah... dan aku akan ambil semuanya.”

Jake hanya mengangguk.

Sesampainya di mobil, Viren tidak langsung membuka tablet seperti biasanya. Ia hanya bersandar, menutup mata beberapa detik. Dan mobil pun melaju dalam keheningan menuju gedung Kairotek di pusat kota.

Lain dengan yang diucapkan Viren pada Alex, Zia justru tengah duduk di kursi penumpang, dibawa oleh Manuel menuju Ollano. Tangannya saling menggenggam, jari-jarinya menekan satu sama lain—kebiasaan lama setiap kali gugup menjalari tubuhnya. Pandangannya melompat ke luar jendela, berganti-ganti antara sisi kiri dan kanan, namun tak benar-benar melihat apa pun. Pikirannya berkeliaran, resah, tanpa arah pasti.

Pukul delapan pagi. Angka itu tertera jelas di layar ponselnya, dan perutnya mulai mengencang oleh rasa bersalah. Seharusnya ia sudah berdiri di balik etalase kaca, menyambut aroma mentega yang mekar dari oven, dan menyapa pelanggan dengan senyum. Tapi pagi ini, ia bahkan belum menyentuh apron-nya.

Ia segera mengetik pesan untuk Ami:

"Tolong buka toko duluan. Siapkan stok. Aku akan segera sampai."

"Berhenti di sini," ucapnya pelan namun pasti.

Manuel menoleh, lalu menepikan mobilnya beberapa meter dari kafe. “Tumben. Kenapa tidak langsung ke depan?”

"Ami dan Lily sudah ada. Aku tidak mau dihujani pertanyaan." Jawab Zia, lantas membuka pintu dan turun, berjalan perlahan dengan langkah tertatih.

Manuel memandangi punggungnya sejenak, lebih lama dari biasanya. Baru setelah Zia lenyap di balik pintu kaca, mobil itu kembali melaju pelan.

"Pagi," sapa Zia setibanya di kafe, suaranya sedikit serak.

"Pagi, kak Zi— Astaga, kau kenapa?" seru Ami, langsung mendekat saat melihat langkah Zia yang pincang.

“Kakiku... terkilir,” jawab Zia pendek, berusaha terdengar biasa saja meski wajahnya sedikit pucat.

Lily yang sedang menyapu di sudut ruangan, spontan menghampiri. “Boleh kulihat, Kak?”

Zia hanya mengangguk, dan duduk perlahan ketika Ami membawa kursi. Lily jongkok di hadapannya, memperhatikan luka itu—kemerahan, bengkak, dengan semburat ungu di sekitar mata kakinya.

"Sudah diobati?"

“Baru dikompres tadi malam.”

"Seharusnya kau ke rumah sakit, bukan ke kafe," gumam Lily, suaranya terdengar seperti teguran kakak pada adik yang keras kepala. "Duduk saja. Biar aku dan Ami yang bereskan semuanya."

Zia tak membantah. Ia hanya menarik napas pelan.

Ami menyalakan oven dan mulai menimbang bahan, sementara Lily dengan cekatan menyiapkan loyang dan cetakan. Mereka bekerja seperti telah menjadi satu tim sejak lama. Sesekali Zia berdiri, menghampiri, memperbaiki takaran mentega atau memberi masukan kecil. Tapi ia lebih sering hanya duduk—bukan karena ingin, tapi karena harus.

Di luar, antrian mulai terbentuk. Seorang wanita tua berdiri dengan tangan di pinggang, menyipitkan mata ke arah toko.

“Kalau bukan karena kue animasi ini, saya sudah pulang dari tadi,” gumamnya kesal.

Zia tersenyum dan membuka pintu. "Mohon maaf, nyonya. Sebentar lagi kami akan buka."

Ia berdiri di depan toko, menenangkan kerumunan yang tak sabar, walau dirinya sendiri sedang tak utuh.

Di balik kaca, seorang wanita duduk sendiri sambil menyeruput kopi. Ia mengenakan topi, dan matanya tak lepas dari Zia—seperti sedang mengamati lebih dari sekadar antrean.

Akhirnya Ami membalik tulisan di pintu: BUKA. Pelanggan masuk bergantian, aroma kue memenuhi udara.

Beberapa hari setelah kesadarannya kembali, kondisi Samuel mulai membaik. Tubuhnya belum sepenuhnya pulih, tapi matanya sudah bisa menatap tajam, dan pikirannya mulai jernih. Luka tembak di perut masih dibalut ketat, tapi ia sudah bisa duduk tegak, meski harus dibantu.

Ein sering duduk menemaninya di ruangan rumah sakit, sesekali mengobrol pelan atau sekadar membaca laporan. Sementara Manuel datang setiap pagi dan sore, membawakan berita dari luar—tentang tim, tentang gerakan lawan, tentang konferensi SPEKTRA yang sempat membuat seluruh jaringan gelisah.

Hari itu, Manuel datang membawa kabar baru.

“Besok pagi kita pindahkan Bos ke markas,” ucapnya singkat, sambil memeriksa monitor detak jantung.

Samuel mengangguk pelan. “Ke Caligo?”

“Bukan. Ke dalam. Di bawah.”

Samuel paham maksudnya. Bagian terdalam dari markas Cinderline—tersembunyi, terisolasi, dan hanya bisa diakses oleh inti organisasi.

“Viren yang minta?” tanyanya.

Manuel hanya mengangguk.

Hari kini telah sore. Matahari menggantung rendah, cahayanya menembus jendela besar kafe dan memantul pada lantai marmer yang mulai sepi dari jejak kaki pengunjung. Sisa aroma kopi dan kayu manis masih samar-samar bertahan di udara, seolah enggan mengucap selamat tinggal pada hari itu.

Zia duduk diam di kursi favoritnya dekat etalase. Matanya menyapu jajaran kue yang mulai menipis—lemon cake tinggal dua potong, cheesecake hanya satu, dan red velvet tampak seperti sisa terakhir dari pesta kecil yang sudah usai. Tangannya meraih tas dengan gerakan malas.

"Ami, kau tutup kafenya nanti. Aku akan pulang duluan," ucap Zia, suaranya pelan, seperti embusan napas terakhir sebelum kabut turun.

"Mau ku antar?" tawar Ami, menatapnya dengan sorot mata khawatir.

Zia hanya menggeleng dan berdiri perlahan. Gerakan tubuhnya hati-hati, menahan beban pada kaki kirinya yang masih nyeri.

"Tak perlu. Aku bisa sendiri."

Ketika ia membuka pintu, bel berdenting pelan. Angin sore menyambutnya lembut, namun kakinya tertatih, meninggalkan suara gesekan halus antara sepatunya dan lantai kayu. Ami dan Lily hanya bisa menatap punggungnya yang menjauh, lalu hilang ditelan keramaian senja.

“Sudah lama kau kerja di sini?” tanya Lily tiba-tiba, suaranya pelan, seperti sedang mencoba mengisi kekosongan yang ditinggalkan Zia.

“Satu tahun setelah kafe ini buka. Sekarang tahun ketiga,” jawab Ami sambil tetap mengawasi pintu yang sudah kembali diam.

Lily mengangguk pelan. “Kak Zia… dia punya kekasih?”

Ami mengerutkan alis, tidak menjawab langsung. “Kenapa kau penasaran?”

Lily hanya tertawa kecil, gugup. “Entahlah. Aku cuma… dia misterius.”

Sementara itu, di luar kafe, langit mulai bergradasi biru tua. Zia berdiri di trotoar, menunggu. Tangannya memegangi tas erat-erat, pandangannya kosong memandangi jalan raya yang tak kunjung memberi harapan akan taksi.

Tiba-tiba, suara deru motor mendekat. Sebuah motor berhenti tepat di hadapannya. Zia mundur setapak, waspada. Jantungnya berdegup cepat, membayangkan segala kemungkinan terburuk.

Namun, pengendara itu membuka helm full-face-nya.

"Giin?" ucap Zia, matanya sedikit menyipit memastikan.

"Kau mau ke mana?" tanya Giin, melepaskan helm sepenuhnya dan menggantungnya di stang.

"Ke rumah sakit. Kakiku terkilir semalam… Tapi taksi tak ada yang lewat," jawab Zia jujur, nada suaranya datar tapi matanya sedikit murung.

"Naiklah. Aku akan mengantarmu."

Zia menatapnya ragu, merasa sungkan. "Apa tidak merepotkan?"

“Tidak. Aku memang ada urusan ke sana juga, bertemu teman.”

Zia akhirnya mengangguk, lalu mulai melangkah perlahan. Giin memutar badannya dan sigap mengulurkan tangan.

“Hati-hati,” ucapnya lembut saat tangan mereka bersentuhan.

Zia mengangkat kakinya perlahan ke atas footstep motor, meringis pelan. “Aku tak membawa helm.”

“Aku juga tak membawa cadangan. Jadi ikatlah rambutmu. Lumayan bisa meredam angin,” ucap Giin dengan nada ringan.

Zia menurut. Ia menggulung rambutnya asal-asalan, lalu duduk. Tak butuh waktu lama sebelum motor melaju.

Udara sore mulai berubah dingin. Angin menyibak ujung jaket Zia, memaksa wajahnya bersembunyi di balik punggung Giin. Ia diam, mendengarkan suara angin dan deru motor, membiarkan pikirannya kosong.

Sesekali, Giin berbicara, namun hanya dijawab oleh anggukan pelan atau gumaman singkat dari Zia.

“Kau mau apa ke rumah sakit?” teriak Giin, suaranya nyaris tenggelam oleh kebisingan.

"Apa?" Zia mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan.

“Kakiku… terkilir semalam. Aku mau periksa,” balas Zia, suaranya ikut meninggi.

"Oh."

Giin berseru, “Pegangan, aku mau menyalip truk.”

Tanpa berpikir, Zia segera melingkarkan lengannya di pinggang Giin. Ia memejamkan mata rapat-rapat, menahan napas seolah sedang menghadapi badai.

Sesampainya di rumah sakit, Giin turun duluan, lalu membantu Zia turun. “Ayo.”

Zia mengangguk kecil dan berjalan masuk bersamanya. Namun, tak lama setelah mereka sampai di resepsionis, Giin berpamitan.

“Aku pergi dulu. Nanti aku kembali.”

Zia hanya mengangguk, lalu menunggu. Waktu berjalan pelan. Detik terasa seperti menit, menit seolah jam. Giin tak kunjung kembali.

"Nona Zia..." panggil seorang perawat.

Zia berdiri dengan tertatih dan masuk ke ruang periksa.

“Kapan terkilirnya?” tanya dokter.

“Tadi malam. Jatuh dari tangga.”

Dokter memeriksa, lalu membalut kakinya dengan gips. “Jangan dipaksakan dulu. Istirahat, ya.”

"Terima kasih," bisik Zia sebelum keluar.

Giin sudah menunggu di samping pintu. Kedua tangannya masuk kedalam saku. “Sudah?”

Zia mengangguk pelan. “Aku harus kembali ke kafe.”

“Aku antar.”

“Kau tak jadi bertemu temanmu?”

“Sudah tadi saat aku pergi.”

“Oh…”

Saat mereka berjalan pelan menuju area parkir, terdengar suara memanggil.

“Zia…”

Zia menoleh. Sosok ayahnya berdiri tak jauh, bersama Agatha. Zia mengangkat alis. “Ayah…” ucapnya lirih.

Giin ikut menoleh dan menyapa sopan. “Malam, Tuan.”

Alex membalas dengan anggukan, lalu menatap kaki Zia. “Kenapa kau di sini?”

Zia menunjuk kakinya. “Memeriksa ini.”

“Kau kenapa?" sambung Agatha.

"Jatuh dari tangga," Jawab Zia.

Giin terdiam. Dari nada suara mereka, seolah mereka tak tinggal serumah, atau setidaknya tidak cukup dekat untuk tahu keadaan Zia.

“Kenapa kalian di rumah sakit?”

“Adikku baru saja melahirkan. Kami datang untuk menjenguknya,” jelas Agatha.

“Oh... boleh aku ikut?”

“Tentu. Ayo.”

Zia berpamitan pada Giin dan berjalan tertatih bersama ayahnya dan juga Agatha. Beberapa langkah setelahnya, suara ayahnya berubah. Rendah, tapi tajam.

“Kenapa kau pergi dengannya?”

Zia menunduk. “Tidak sengaja bertemu di jalan.”

“Kau sudah menikah, Zia. Kau tak boleh sembarangan.”

Zia ingin menjelaskan. Tapi lidahnya kelu.

“Benar. Itu bisa menimbulkan masalah,” sambung Agatha.

Zia diam. Tidak membenarkan, tidak juga menyangkal. Tapi hatinya terasa ditekuk paksa.

Malam pun jatuh. Mobil yang dikendarai Manuel berhenti di depan Kafe miliknya yang sudah tutup. Zia keluar dari mobil Alex dan menghampiri Manuel.

"Kau sudah menunggu lama?" tanya Zia.

Manuel hanya mengangguk dengan tangan yang sudah membuka pintu belakang mobil. Mereka pun pergi setelah pamit kepada Alex dan Agatha.

Zia menyandarkan kepala di jendela mobil. Kata-kata ayahnya masih terngiang: "Kau sudah menikah." Tapi di Calligo, di rumah itu, pernikahan mereka lebih seperti kontrak hukum. Tidak ada pelukan, tidak ada sentuhan, hanya ikatan yang rapuh dan tak terlihat.

“Nyonya, kita sudah sampai,” ucap Manuel lembut.

Zia hanya mengangguk dan turun dengan perlahan.

Lampu masih menyala terang saat mereka melangkah masuk ke dalam Calligo. Aroma khas bangunan tua dan wangi mawar putih dari vas di pojok ruangan masih menggantung di udara. Angin malam ikut masuk dari celah pintu yang belum tertutup sempurna, membawa dingin yang menggigit kulit.

Zia mengedarkan pandangannya, tubuhnya sedikit bersandar pada Manuel. Suasana tetap sunyi seperti biasa, tetapi ketenangan itu kini terasa mencekam.

Ia menghentikan seorang pengawal yang melintas, suaranya nyaris seperti bisikan, "Apa dia sudah pulang?"

Pengawal itu mengangguk singkat. “Sudah.”

Napas Zia tercekat. Ia menatap ke sekeliling—dan di tengah ruang, di ujung tangga atas—ia melihat sosok yang selama ini membuat jantungnya selalu ragu berdetak.

Viren berdiri di sana. Bayangan tubuhnya tegak, tak bergerak, dan sorot matanya menusuk seperti pisau tajam dalam kegelapan. Tidak ada kemarahan di sana. Tidak ada senyum, tidak juga tatapan penuh benci—hanya ketenangan yang dingin, dan itu jauh lebih mengintimidasi.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!