Kisah petualangan dua orang gadis yang sudah bersahabat sejak umur 6 tahun di sebuah panti asuhan HOPE yang berada di West New York- Amerika.
Dengan mengandalkan otak dan kemampuan mereka, mereka berdua membuka sebuah "Agency DC2" di New Jersey-Amerika. Dibawah naungan NJSP (New Jersey State Police)- Komisaris Cyderyn Baycora.
************
Bagaimanakah kisah-kisah mereka dalam menyelesaikan kasus-kasus rumit dan penuh misteri?
Yang penasaran, ikuti kisah mereka di novel ini 😊🍻
Note : Bila kalian tidak berkenan, tinggalkan saja... Jangan memberikan rating buruk yach... Komen saja apa yang kurang, Insya Allah akan author perbaiki...😊
Jangan lupa VOTE, COMMENT, LIKE, DAN SUBSCRIBE... plus GIFT-nya yach untuk mensupport Author. Terima kasih 🙏❤
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aurora79, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
RENCANA MEREKA!
Count Hadley melirik Danaya dengan tatapan yang kesal.
"Anda tidak akan pernah tahu dimana cincin itu berada..." jawab Count Hadley pongah.
"Masaaaa? Oh, ayolah Count! Mari kita bekerja sama... Pertimbangkan situasinya sekarang, Anda bisa dipenjara sampai 20 tahun loh karena kasus pencurian barang Museum! Begitu pula dengan bawahan anda, si Levon Smith. Untuk apa mempertahankan cincin itu? Sama sekali tidak ada gunanya!" ujar Danaya.
Danaya melanjutkan kata-katanya...
"Tapi, jika Anda bersedia bekerja sama, maka saya akan tutup mulut tentang kejahatan Anda yang lain. Saya sudah berbaik hati tidak ingin menangkap Anda ataupun Levon Smith. Yang saya inginkan hanyalah cincin itu... Serahkan cincin itu, dan pergilah! Saya berjanji tidak akan mengejar Anda... Yang saya inginkan hanyalah mendapatkan cincin itu dan mengembalikannya ke Museum," ujar Danaya menjelaskan.
"Bagaimana jika saya menolak tawaran Anda, Miss. Dany?" ujar Count Hadley angkuh.
"Jawabannya adalah, saya terpaksa menangkap Anda dan si Levon!" jawab Danaya tegas.
Estrella langsung masuk ke ruangan tersebut, karena mendengar bunyi bel yang Danaya bunyikan.
"Saya rasa, sebaiknya teman Anda Levon Smith ikut dalam ikut dalam pertemuan ini. Biar bagaimanapun, dia ikut andil dalam masalah ini... Estrella, apakah kamu melihat seorang pria tinggi besar yang berada di seberang jalan itu? Panggil dan bawa dia kesini!" titah Danaya tegas kepada Estrella.
"Baik, Nona..." jawab Estrella.
"Bagaimana jika dia tidak mau, Nona?" tanya Estrella.
"Tidak perlu menggunakan kekerasan, Estrella... Bilang saja jika Count Hadley yang memanggilnya," jawab Danaya tenang.
Setelah Estrella beranjak pergi dari ruangan tersebut, Count Hadley langsung mengajukan pertanyaan kepada Danaya.
"Apa maksud Anda, Miss. Dany?" tanya Count Hadley curiga.
"Sebelumnya, rekan saya, Cecilia baru kembali dari Michigan pagi ini... Saya bercerita kepada dia, bagaimana cara saya menjaring seekor ikan hiu dan temannya. Nah, sekarang saya sedang menarik jaring yang berisi mereka berdua..." jawab Danaya santai tapi waspada.
Count Hadley bangkit dari duduknya, tangannya langsung bergerak ke belakang. Dengan sigap, Danaya langsung mengokang senjata yang berada di dalam kantong piyama tidurnya.
"ANDA AKAN M*TI, TAPI TIDAK DI RANJANG DANAYA!!!" teriak Count Hadley kejam.
"Tenang Count! Saya sudah sering memikirkan akan m*ti dengan cara apa dalam profesi yang saya geluti ini. Anda tidak perlu beteriak, karena TELINGA SAYA MASIH BERFUNGSI DENGAN BAIK!" ujar Danaya sambil menekan kata terakhirnya.
Mata Count Hadley menatap Danaya dengan tatapan bengis, sementara Danaya bersikap waspada dan siaga.
"Tidak ada gunanya Anda memegang senjata Anda itu, Count! Saya tahu, Anda tidak akan berani menggunakan senjata itu walaupun saya memberi Anda kesempatan untuk men*mbak saya. Senjata Anda bunyinya sangat keras, Count... Lebih baik jika menggunakan senapan angin," ujar Danaya sarkas.
"Tok...Tok... Tok..."
Terdengar suara ketukan di pintu. Danaya tahu jika itu adalah Estrella dan tamunya.
"Woaah! Lihatlah Count, siapa ini? Selamat malam, Tuan Smith... Ternyata tidak banyak yang menarik perhatian di luar sana, yach? hehehehe" ujar Danaya kepada seorang lelaki yang baru saja masuk ke dalam ruangan itu.
Penembak jitu sekaligus seorang petinju bayaran itu masih terlihat muda, dan badannya terlihat kekar. Dia berdiri di dekat pintu masuk dengan wajah bingung dan terlihat ragu-ragu.
Sambutan ramah Danaya merupakan suatu hal baru untuknya, walaupun dia merasakan aura permusuhan dibaliknya. Dia tidak tahu harus bagaimana... Dia menoleh ke arah rekan kerjanya dengan wajah yang seolah-olah meminta bantuan.
"Permainan apa ini, Count? Apa yang dia inginkan?" tanya Levon Smith kepada Count Hadley dengan suaranya yang dalam dan sedikit serak.
"Suaranya sexy banget wooooy!... Fokus Dany... Fokussss!! Muehehehehe" teriak Danaya dalam hati.
Count Hadley mengangkat bahunya acuh dengan pertanyaan si Levin Smith. Danaya yang menjawab pertanyaannya.
"Saya akan mengatakannya secara singkat... Permainan ini sudah selesai, Tuan Smith!" jawab Danaya datar.
Levon Smith mengacuhkan Danaya, dan masih bertanya kepada rekan kerjanya.
"Bang*at!! Gue dicuekkin... Si*lan!!" maki Danaya dalam hati.
"Hahahaha...! Wanita ini sedang bercanda apa bagaimana, Count? Kalau bercanda, saya rasa waktunya tidak tepat!" tanya Levon Smith kepada Count Hadley sambil tertawa sinis.
"Si*lan! Saya gak bercanda! Saya jamin, sebentar lagi kalian tidak akan bisa tertawa begini!" ujar Danaya kesal.
"Saya sangat sibuk sekali dan tidak mau menyia-nyiakan waktu yang ada. Saya akan berlatih biola di kamar tidur saya, sedangkan Anda bisa menjelaskan kepada Tuan Smith situasinya. Saya akan kembali salam 5 menit untuk mendengar jawaban akhir Anda, Count! Pilihannya hanya ada... Anda... Atau cincin itu..." ujar Danaya dengan wajah datar.
Danaya segera masuk ke dalam kamarnya, setelah dia mengambil sebuah biola dari sudut ruangan. Tidak lama kemudian, terdengar gesekan suara biola yang memilukan dari dalam kamar yang tertutup itu.
"Ada apa?... Apakah dia tahu tentang cincin Pink Mazarin itu?" tanya Levon Smith penasaran kearah rekannya.
"Dia tahu semuanya..." jawab Count Hadley.
"Oh my GOD!... Apakah itu benar?" ujar Levon Smith dengan wajah memucat.
"Hmmm... Percy Rivery sudah mengkhianati kita," jawab Count Hadley.
"Masa? Kalau benar, aku pukuli sampai babak belur jika bertemu nanti!" geram Levon Smith.
"Jangan bod*h! Itu tidak akan menolong kita, Smith! Kita harus membuat keputusan sekarang," ujar Count Hadley frustasi.
"Tunggu sebentar...." ujar Levon Smith sambil menengok ke arah pintu kamar Danaya curiga.
"Wanita itu perlu kita waspadai.... Dia tidak akan menguping percakapan kita, kan?" tanya Levon Smith kepada Count Hadley.
Mereka tidak akan pernah tahu, jika di rumah itu Danaya sudah memasang banyak CCTV tersembunyi dengan kualitas gambar dan suara yang bagus. Karena mereka harus waspada dengan kemungkinan-kemungkinan yang terkecil sekalipun. Hanya kamar dan kamar mandi pribadi mereka yang tidak dipasangi CCTV.
"Dasar idiot! Bagaimana mungkin dia menguping sambil main biola, bod*h!" sentak Count Hadley kepada Levon.
"Benar juga... Eeh, bisa jadi dia ada dibalik hordeng-hordeng itu? Banyak sekali hordeng di ruangan ini..." ujar Levon masih dengan kecurigaannya.
Tiba-tiba Levon Smith melihat patung Danaya yang sedang memandang keluar jendela. Dia melotot sambil menunjuk-nunjuk, tidak mampu untuk berkata-kata.
"I...i...itu, apa?"
"Huh!! Diamlah pengecut! Itu hanya sebuah patung!" dengus Count Hadley kesal.
"Woaaah! Hah...hah.. hah... Ternyata palsu. Aku sampai terkejut saat melihatnya, seperti sungguhan!" pekik Levon sambil mengusap dadanya yang berdetak kencang.
"Udahlah, jangan buang-buang waktu! Wanita itu bisa menangkap kita, tahu??!!!" ujar Count Hadley was-was.
"Aah! Mana mungkin bisa, Count?!" ujar Levon meremehkan.
"Apa kamu gak percaya?... Tapi wanita itu berjanji akan membebaskan kita kalau kita mengatakan dimana cincin itu disembunyikan," ujar Count Hadley menjelaskan.
"APAAAA?! Anda ingin menyerah begitu saja? dan $200 juta dollar akan melayang begitu saja?" ujar Levon Smith frustasi.
"Habis mau bagaimana lagi?"
Levon Smith berjalan.mondar-mandir sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Hmmm... Begini saja. Wanita itu kan sendirian di kamar itu, bagaimana jika kita bunuh saja? Jika dia mati, tidak ada lagi yang perlu kita takutkan, kan?" ujar Levon Smith memberikan ide.
"............."
...----------------...