Izinkan Aku Menjadi Orang Ketiga

Rumah sakit.

Di lorong rumah sakit, nampak beberapa orang sedang menunggu kepastian, pasalnya Amelia terjatuh dari lantai dua rumahnya dan mengalami pendarahan hebat.

"Hiks.. Bagaimana ini, aku takut. Kumohon selamatkan putriku, Tuhan." Ucapnya di sela-sela tangisan.

Fani pun mencoba untuk menenangkan putrinya, kecelakaan ini benar-benar membuat semua orang terkejut dan panik. "Vina, tenanglah sayang. Kita berdoa sama tuhan, semoga Amelia baik-baik saja." Ucapnya sambil mengusap punggung Vina.

Sejak tadi Dimas duduk di lantai sambil beberapa kali menatap kosong pandangannya, dia masih tidak percaya kalau saat ini putrinya sedang berada di ruang operasi.

"Apakah ini salahku? Ya, ini pasti salahku. Amel pasti mendengar semuanya dan aku sudah membuatnya terluka." Batin Dimas menyalahkan dirinya sendiri.

Meskipun Amelia bukan putri kandungnya, namun tidak bisa di pungkiri kalau kasih sayang Dimas pada Amelia memang benar-benar tulus. Bayangkan saja, sejak lahir bahkan sampai besar sekarang, Dimas benar-benar membesarkannya layaknya anak kandungnya sendiri.

Drrrttt..

Ponsel Dimas tiba-tiba bergetar, namun dia tidak mengangkatnya, bahkan saat ini dia tidak ingin seseorang mengganggunya.

"Aku sedang tidak ingin di ganggu." Gumamnya tanpa melirik siapa yang meneleponnya.

Drrrttt.. Drrtttt..

Ponselnya terus bergetar, seseorang terus menelepon Dimas tanpa henti. Namun sayangnya, Dimas terus mengabaikannya dan enggan menjawabnya.

Ceklek.

Pintu ruangan terbuka.

Sontak Dimas dan semua yang ada di sana langsung berdiri, pasalnya seseorang yang membukakan pintu ruangan tersebut adalah suster.

"Bagaimana anak saya? Dia baik-baik saja kan?" Tanya Vina dengan keadaan panik dan gelisah.

"Maaf nyonya, apa disini ada golongan darah B?" Balik bertanya.

Disini ada, Vina, Fani, Dimas dan juga Riana. Ayah Dimas ijin pulang karena ada meeting penting yang tak bisa di tunda.

"Darah B? Memangnya kenapa, suster?" Ucap Vina penasaran dengan wajah paniknya.

"Kami membutuhkan satu kantong lagi darah B, pasien mengalami pendarahan hebat yang tak cukup dengan satu kantong darah, dan di rumah sakit kami hanya tersisa satu kantong darah karena sebelum ada pasien ini, kami sudah memakainya pada pasien lain."

"A-apa?"

Vina pun langsung mematung dan syok saat itu juga, bahkan Dimas juga merosotkan tubuhnya ke bawah saking terkejutnya.

Bagaimana tidak, di antara mereka bertiga golongan darahnya tidak sama dengan Amelia. Namun ada satu orang yang sama golongan darahnya dengan Amelia. "Aku golongan darah B, tapi aku enggan memberikannya karena dia bukan cucuku!" Seru seseorang yang tak lain adalah Riana.

Srukkk..

Vina langsung bersimpuh di kaki Riana, dia memohon pada Riana agar bisa menolong putrinya yang sedang mempertaruhkan nyawanya. "Mih, aku minta tolong untuk kali ini saja. Tolong selamatkan putriku, aku mohon. Hiks.."

"Aku gak sudi. Sana minta ayah kandungnya saja yang donor darah, ngapain minta padaku!" Pekiknya dengan kesal.

Degh.

*

*

Di tempat lain.

Vrooomm..

"Hei, lepaskan tanganku!" Pekik Laura sambil memberontak.

"Enak saja, bos kami menyuruh kami untuk melenyapkanmu, dasar jalangg." Ucap salahsatu pria yang sedang mengikat tangan Laura.

Sontak Laura pun terkejut mendengar ucapan yang di lontarkan pria tersebut. Pasalnya, saat ini Laura sedang di culik oleh dua orang pria tak di kenal.

"Tolong aku.. Aku tidak ingin mati, bagaimana jika di dalam perutku ini ada bayi. Pak Dimas, selamatkan aku." Pekik batinnya sedang panik.

Dan di saat bersamaan. Rika memberhentikan mobilnya di luar gerbang universitas. Dia mencari menatap sekeliling dan mencari Laura, pasalnya Rika menyuruh Laura untuk menunggunya di Luar gerbang.

"Eh, dia kemana? Bukankah aku menyuruh dia untuk menunggunya disini." Menatap sekeliling.

Ceklek.

Rika pun mencoba keluar dari mobilnya untuk mencari Laura. "Ck, si bodoh itu kemana sih?!" Pekiknya kesal.

Rika pun langsunh merogoh ponselnya, dia mencoba menelepon Laura untuk menanyakan dimana keberadaanya.

Drrrrtttt..

Sontak Rika pun menoleh ke asal suara ponsel yang berdering tak jauh darinya, dia mendengar suara nada dering yang tak asing baginya.

"Astaga, bukankah itu tas si Laura?!" pekiknya terkejut menatap tas yang tergeletak di jalan.

Rika langsung berlari mengambil tas Laura. Dia membukanya dan melihat isinya untuk memastikan kalau ini benar tas milik sahabatnya. "Ini benar-benar milik Laura, bahkan ponsel ini miliknya. Lalu dia kemana, kenapa meninggalkan tasnya begitu saja."

"Jangan-jangan, terjadi sesuatu dengannya? Aku harus segera menelepon pak Dimas atau kakaknya." Panik.