Kalau nggak suka, skip saja! Jangan kasih bintang satu! Please! 🙏🙏
Gara-gara sebuah insiden yang membuatnya hampir celaka, Syahla dilarang keluarganya untuk kuliah di Ibukota. Padahal, kuliah di universitas itu adalah impiannya selama ini.
Setelah merayu keluarganya sambil menangis setiap hari, mereka akhirnya mengizinkan dengan satu syarat: Syahla harus menikah!
"Nggak mungkin Syahla menikah Bah! Memangnya siapa yang mau menikahi Syahla?"
"Ada kok," Abah menunjuk pada seorang laki-laki yang duduk di ruang tamu. "Dia orangnya,"
"Ustadz Amar?" Syahla membelalakkan mata. "Menikah sama Ustadz galak itu? Nggak mau!"
Bagaimana kisah mereka selanjutnya? Apakah pernikahan mereka akan baik-baik saja?
Nantikan kelanjutannya ya🥰
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HANA ADACHI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
26. Adegan Romantis
Ustadz Amar tengah memasak telur untuk sarapan saat mendengar Syahla berteriak histeris dari dalam kamar. Masih dengan spatula di tangannya, Ustadz Amar bergegas berlari ke kamar sang istri.
"Kenapa? Ada apa?" tanyanya sambil mengetuk pintu heboh.
Syahla membuka pintu kamar dengan mata berbinar-binar. "Lihat Om Suami, saya dapat DM dari editor Media Kata! Katanya mereka tertarik menerbitkan novel saya di sana!"
"Oh ya?" Ustadz Amar membaca pesan yang terpampang di layar dan tersenyum senang. "Selamat ya istri,"
Syahla mengangguk-anggukkan kepalanya antusias. Spontan, ia merangkulkan kedua tangannya memeluk sang suami. "Akhirnya impian saya selama ini terwujud!"
Perbuatan Syahla barusan membuat Ustadz Amar hanya bisa terdiam dengan kedua tangan mengambang di udara. Setelah menyadari tindakannya, Syahla buru-buru melepaskan pelukan dan memundurkan badan dengan canggung.
"Ma-maaf Om Suami, saya kelepasan,"
"Tidak apa-apa kok," Ustadz Amar berusaha tetap menunjukkan wajah datar meski jantungnya sudah berdegup kencang.
Sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal, Syahla tiba-tiba mencium aroma aneh dari arah dapur. "Eh, bau apa nih?"
Ustadz Amar ikut mengendus udara di sekitarnya untuk memastikan dan terbelalak saat menyadari sesuatu. "Telurnya gosong!"
...----------------...
Syahla duduk sendirian di dalam kafe dekat kampus. Kursi di depannya masih kosong, dan Syahla menunggu dengan kaki bergoyang-goyang gugup.
Seorang wanita berambut pendek sebahu memasuki area kafe, membuat Syahla segera berdiri menyambut orang yang sudah ia tunggu-tunggu dari tadi.
"Hai, Gue Dian, editor yang DM Lo kemarin," Wanita berambut pendek yang ternyata bernama Dian menyalami Syahla.
"Halo Kak, saya Syahla," balas Syahla sambil tersenyum ramah.
"Udah dari tadi ya? Eh, kenapa belum pesen makanan? Pesen aja gih, kita ngobrol sambil makan. Mbak!" Panggil Dian kepada pelayan kafe.
Setelah berbasa-basi sebentar dan menghabiskan makanan masing-masing, Dian mulai membicarakan tentang novel Syahla yang akan diterbitkan.
"Gue udah baca keseluruhan novel Lo, dan ceritanya menarik, makanya Gue tertarik buat menerbitkan novel itu di Media Kata,"
Syahla mendengarkan Dian dengan seksama sambil mengangguk-anggukkan kepala gugup.
"Tapi, Ada beberapa kekurangan yang harus Lo perhatiin."
Syahla menggigit bibirnya. Dia bukannya tidak siap dengan kritik pada ceritanya, justru dia menyadari kalau dirinya masih banyak kekurangan. Media Kata adalah penerbit yang besar, maka karya yang terbit di sana sudah pasti melalui proses yang tidak gampang.
"Cerita ini menarik dalam sisi romance, tapi justru kelemahan terbesarnya adalah pada adegan romantisnya,"
Dian mengeluarkan tabletnya dan menunjukkan beberapa bagian paragraf yang ia lingkari dengan tinta merah. "Alih-alih menulis kedua tokohnya berciuman, gimana kalau Lo deskripsikan bagaimana ciuman itu?"
Syahla mencatat saran dari Dian di atas notesnya dengan detail. Ada beberapa poin yang Dian sebutkan dan sebagian besar ada pada adegan romantis kedua tokoh utama novelnya.
"Syahla, Lo punya pacar?"
"Hah?" Syahla terkejut dengan pertanyaan Dian yang tiba-tiba. "Ee..kenapa memangnya Kak?"
"Kalau Lo punya pacar, Lo bisa menuliskan adegan romantis tokoh utama Lo berdasarkan pengalaman pribadi. Misalnya, perasaan si pemeran wanita saat pemeran prianya menyentuh tangannya, atau saat mereka berduaan di dalam ruangan tertutup. Pasti ada kan saat-saat jantung Lo berdebar-debar? Nah itu poinnya, Lo harus bikin pembaca Lo berdebar-debar juga saat membaca adegan romantis yang Lo tulis. Kalau yang sekarang sih sudah bagus, cuma menurut Gue hambar aja, nggak ada feel-nya."
Syahla mengangguk-anggukkan kepalanya lagi. Benar sih, beberapa komentar pembaca banyak yang memprotes kalau adegan romantis yang ia tulis itu kurang intim. Tapi, menulis berdasarkan pengalaman pribadi? Syahla menyentuh tangan laki-laki saja tidak pernah, jadi bagaimana caranya?
"Kalau Lo nggak punya pacar, Lo bisa nyari referensi dari film-film romantis. Kalau Lo kesulitan milih, ntar Gue akan kirim daftar judulnya ke Lo. Gimana?"
"Boleh Kak," Syahla kembali menganggukkan kepalanya.
Mereka kemudian kembali melanjutkan obrolan selama tiga puluh menit. Setelah selesai, Dian segera pamit karena ia masih ada pekerjaan di kantor.
"Oke, see you next time ya La!" Dian melambaikan tangannya sebelum masuk ke dalam mobil yang ia bawa.
"Iya Kak, hati-hati." Balas Syahla. Ia menatap kepergian Dian sambil menghela napas panjang.
"Adegan romantis ya.." gumamnya sambil berjalan kembali ke kampus.
...----------------...
Pulang kuliah, Syahla langsung duduk di depan televisi yang berada di tengah ruangan. Ia kembali melihat daftar judul film romantis yang dikirim Dian. Ia kemudian memilih salah satu dari daftar yang paling atas.
"Oke, mulai," Syahla membuka bungkus snack dan mulai memakannya sebagai teman menonton.
"Tumben nonton tivi," celetuk Ustadz Amar yang baru keluar dari kamar. Ia membuka kulkas dan mengambil sebotol minuman soda. Setelah itu, ia ikut duduk di samping Syahla.
Dalam lima belas menit, mereka berdua terdiam menikmati tontonan itu. Barulah di menit selanjutnya, Syahla mulai merasa ada yang aneh.
Pemeran utama pria yang membuka pakaian pemeran utama wanita membuat Syahla serta merta menutup matanya. Tidak sampai disitu, kedua pemeran itu tampak melakukan adegan tidak senonoh dan mulai mengeluarkan suara-suara aneh.
"Eh, eh, apa nih? Matiin, matiin!" Syahla berseru panik dan langsung meraih remote televisi. Tapi karena terlalu gugup, Syahla bukannya menekan tombol on-off tapi malah memencet tombol volume. Akhirnya televisi itu malah menampilkan adegan dewasa dari film tersebut dengan suara maksimal.
Karena panik, Syahla langsung berlari menuju stopkontak dan mencabut kabel televisi. Layar kotak itu pun seketika menjadi hitam legam.
Di atas sofa, Ustadz Amar duduk dengan wajah shock. Beberapa saat berlalu, dan pasangan suami istri itu hanya bisa saling bertatapan dalam diam.
"Saya cuma disuruh sama editor Media Kata buat nonton film ini, katanya bisa menambah referensi untuk cerita saya. Tapi saya beneran nggak tahu kalau isinya seperti ini!"
Ustadz Amar memalingkan wajahnya malu dan berdiri dari duduknya. "Iya.."
"Beneran! Ini bukan saya yang mau! Om Suami bisa tanya sendiri! Namanya Dian, umurnya 23 tahun! Dia editor di Media Kata dan tadi kita ketemu di Kafe! Terus dia bilang novel saya kurang romantis, jadi saya disuruh praktek sama pacar, tapi karena saya nggak punya pacar, saya disuruh nonton film aja!" Syahla menjelaskan dengan cepat.
"Iya, iya. Saya percaya. Kalaupun bukan disuruh sama editor kamu juga nggak papa kok, lagian kan kamu sudah dewasa, sudah boleh nonton yang begituan."
Muka Syahla memerah mendengar kata 'begituan' dari suaminya. "Saya berani bersumpah! Ini bukan keinginan saya!"
Melihat Ustadz Amar terlihat tidak mempercayainya, Syahla berlari dan mencegat Ustadz Amar. "Beneran, Om Sua—"
Kata-kata Syahla tertelan di kerongkongan karena kakinya tersandung ujung karpet yang tergulung. Segera saja, tubuh Syahla limbung ke depan dan menimpa badan sang suami.
BRUK!
"Aduh.." Syahla mengelus jidatnya yang berbenturan dengan Ustadz Amar. "Sakit.."
Saat rasa sakitnya mereda, Syahla membuka mata dan terkejut dengan posisi tubuh mereka berdua. Ustadz Amar terbaring di lantai dengan tangan kanannya berada pada pinggul Syahla, sementara Syahla duduk tepat di atas perut Ustadz Amar.
Menyadari itu, Syahla buru-buru beranjak dari duduknya. "Ma-maaf!"
Ustadz Amar bangkit dari posisi tidurnya dan mengusap kepala bagian belakangnya yang mencium lantai. Selama beberapa saat, hanya deru napas mereka berdua yang memenuhi ruangan itu.
"Apa aku tidak memenuhi syarat?" Tanya Ustadz Amar memecah keheningan mereka.
Syahla mengernyitkan dahinya. "Syarat apa?"
"Tadi kan kamu bilang editor menyuruh kamu mempraktikkan adegan romantis dengan pacar. Tapi kamu nggak bisa melakukannya karena tidak punya pacar. Jadi, kalau sama suami apa tidak boleh?"
"Hah?"
apalagi suaminya lebih tua